Minggu, Agustus 30, 2009

Dan Toch Maar, Grote Zeeman


Judul: DAN TOCH MAR, Apa boleh buat, maju terus!

Sub Judul: Ingatan dan Pengalaman ADELBORST INDONESIA 1949 – 1957

Penulis: Sukono, Eddy Tumengkol, R.Sunardi Hamid, H.E. Kawulusan, O. Amin Singgih.

Terbitan: Agustus 2009

Penerbit: Penerbit Buku Kompas


Sebagaimana tertera pada sub judul, buku ini berkisah tentang suka duka para taruna Koninklijk Instituut voor de Marine (KIM) asal Indonesia, promosi tahun 1950 sampai 1953. Mulai dari kisah masa pendaftaran, seleksi dan pemberangkatan ke Belanda. Bagaimana para taruna muda harus memendam rasa kebencian karena berhadapan dengan “musuh” perang, sampai akhirnya timbul rasa saling menghormati. Setelah selesai menempuh pendidikan di KIM, mereka dihadapkan dengan kondisi politik yang “meminggirkan” kiprah mereka. Apapun kondisinya, mereka tetap tegar dan tabah menerima kondisi tersebut. Dan Toch Maar.


Buku ini terdiri dari tujuh bagian, dimana bagian I sampai IV merupakan berbagai cerita, pengalaman serta pengamatan para penulis selama mengikuti masa pembentukan perwira di KIM dari promosi 1950 sampai dengan promosi 1953. Bagian V adalah pengalaman masa bakti para lulusan KIM di TNI-AL. Bagian VI dan VII adalah berbagai tulisan tentang renungan serta refleksi pengalaman selama dan pasca penugasan selama di TNI-AL.


Proses menjadi perwira di KIM tidak disebut “pendidikan perwira” (officiersopleiding) tetapi “pembentukan perwira” (officiersvorming), dimana para Adelborst mendapat pengajaran ilmu, latihan praktek, serta pembentukan watak perwira. Hasil akhir yang diharapkan adalah seorang pemimpin yang cakap dan bijak; penguasaan ilmu dan kemampuan untuk aplikasi lapangan; serta beradab dan terhormat sebagai perwira. Istilah yang tepat untuk penggambaran pembentukan perwira ini adalah “An Officer and a gentleman”.


Akibat kondisi politik, para alumni KIM dipinggirkan. Mereka harus berhadapan dengan para “ALRI Gunung”, istilah yang digunakan untuk para perwira, yang sebagian besar adalah para pejuang kemerdekaan yang lebih banyak berjuang di daratan ketimbang di laut. Di samping itu, sebagian besar para perwira “ALRI Gunung” tidak didukung oleh pendidikan maritim dan kemampuan teknis yang memadai. Konfrontasi dengan RI dengan Belanda, secara tidak langsung mempengaruhi karir para alumni KIM di TNI-AL. Disinggung pula tentang “kudeta” pimpinan ALRI tahun 1959 dan Gerakan Perwira Progresif Revolusioner (GPPR). Kedua gerakan ini, yang dimotori oleh beberapa alumni KIM, pada akhirnya mempengaruhi “keberadaan” para alumni KIM di TNI-AL di kemudian hari. GPPR pada pertengahan tahun 1965, membuat ALRI seperti macan ompong, karena hampir 150 perwira terlatih “dipaksa” keluar dari dinasnya. Perwira-perwira yang tersisa, hanya sedikit sekali yang memenuhi kualifikasi. Peristiwa ini tidak disiarkan secara resmi, karena kondisi politik dimana Indonesia sedang berkonfrontasi dengan Malaysia dan dikhawatirkan isu ini bakal dimanfaatkan untuk melemahkan kekuatan perang Indonesia.


Yang cukup menarik adalah pembahasan mengenai Visi Maritim. Pada KIM, ini adalah sebuah mata pelajaran yang tidak menentukan untuk kenaikan kelas, namun sangat menggugah sanubari dan cara pandang kita atas dunia kelautan. Kolonialis Belanda berhasil mengubah “mindset” bangsa Indonesia, dari paradigma “Land Oriented” menjadi “Archipelagic/Maritime Oriented”. Jika kita berhasil merubah paradigma ini, bukan mustahil Indonesia akan menjadi penjelmaan kerajaan Sriwijaya atau kerajaan Majapahit versi millennium ke-3. Dua syarat yang harus dipenuhi untuk diwujudkan adalah: (1) pengembangan dan pembangunan unsur inti kemaritiman (pelayaran niaga, perikanan, industri maritim/perkapalan, pengeboran lepas pantai, pariwisata bahari), dan (2) kebijakan pendukung pengembangan industri maritim/perkapalan.


Para alumni KIM memberikan sumbangsih besar pada pembentukan TNI-AL saat ini. Beberapa kontribusi para alumni KIM yang menonjol adalah keberadaan Dinas Penerbangan TNI- AL (DISPENERBAL) serta Komando Pasukan Katak (KOPASKA). DISPENERBAL dirintis oleh alumni KIM 1953, yang mendapat pendidikan di Pangkalan Udara AL (Marine Vliegkamp) di Valkenburg sebagai awak navigator udara (Waarnemer) serta mendapat pendidikan penerbang militer pada AU Inggris (Royal Air Force).


Urip Santoso, alumni KIM 1953, adalah salah satu peletak dasar “pembangunan” satuan elit TNI-AL, KOPASKA. Urip, yang sebelum menjadi Adelborst KIM adalah seorang perwira TNI-AD berpangkat Kapten, dikirim belajar pada unit demolisi bawah laut (Underwater Demolition Team = UDT) US Navy. UDT US Navy adalah cikal bakal US Navy SEAL. Sekembalinya dari pelatihan tersebut, Ia bersama Letkol OP Koesno, ditugaskan untuk membentuk Komando Pasukan Katak.


Akibat dari peristiwa GPPR tahun 1965, hanya sedikit dari alumni KIM yang meniti dan mengakhiri karir di TNI-AL. Alumni KIM yang menonjol antara lain: Laksdya (purn) Teddy Asikin (promosi KIM 1951); pernah menjadi Deputi KSAL, dan Letjen Mar (purn) Kahpi Soeriadiredja (promosi KIM 1952); pernah menjadi Danjen Korps Marinir, Danjen AKABRI serta Pangkowilhan IV (Maluku-Irian).


… Officer on the deck, ten hut….



Salam...

Kamis, Juni 11, 2009

AMBALAT CONFLICT - THE EXPLORERS

Panasnya situasi Ambalat antara Indonesia dengan Malaysia, ditengarai adanya dorongan dari korporasi-korporasi yang sudah sangat berhasrat untuk menghasilkan jutaan dollar dari eksplorasi blok Ambalat. Ada baiknya kita mengenal para explorer Blok Ambalat.

Royal Dutch Shell plc
Berdiri: 1907
HQ: Den Hague
Industri: Minyak dan gas
Profit 2008: USD 26 Trilliun
Website: www.shell.com

Forbes Global 2000 di tahun 2009 ini menempatkan Shell di posisi kedua pada urutan perusahaan besar kelas dunia dengan beroperasi di lebih dari 140 negara di seluruh dunia.
Cikal bakal perusahaan ini justru berasal dari Indonesia, dimana pada tahun 1890 didirikan untuk melakukan eksplorasi minyak bumi di Hindia Belanda. Pada tahun 1907, bergabung dengan Shell Transport and Trading, sebuah perusahaan berbendera Inggris, dengan nama “Royal Dutch Petroleum Company” (dalam bahasa Belanda: Koninklijke Nederlandsche Petroleum Maatschappij).

Ekspansi pertamanya ketika mengambil alih Mexican Petroleum Company pada tahun 1921. Pada tahun 1935, bekerja sama dengan British Petroleum, membentuk Shell-Mex-BP Ltd dan berfokus pada pasar di Inggris.

Kapitalisme menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keuntungan. Beberapa tindakan tidak terpuji dilakukan Shell untuk mendapatkan keuntungan (1):

Pada masa pemerintahan Nazi di Jerman, Shell bekerja sama dengan Deutsche Gasoline, mempekerjakan tenaga kerja paksa dengan perlindungan pasukan SS – Nazi di Wina dan Hamburg.

Pada awal kemerdekaan Rhodesia (Kini Zimbabwe), PBB mengenakan embargo pada negara baru tersebut. Shell secara resmi juga ikut mendukung embargo tersebut. Akan tetapi, secara diam-diam melakukan suplai ke Rhodesia.

Shell Italiana, anak perusahaan Shell di Italia, bermain mata dengan para politisi Italia. Anak perusahaan itu akhirnya bangkrut dan dijual ke Eni, perusahaan minyak negara milik Italia.

Di Irlandia, Shell memaksa penduduk lokal untuk keluar dari perkampungan mereka karena akan dilewati pipa kilang minyak.

Pada tahun 2000, ketika itu Irak terkena embargo, Shell secara diam-diam mengangkut minyak Irak dengan nilai kontrak USD 2 juta.

Di Nigeria, gerakan damai menentang kerusakan lingkungan di Ogoni, kawasan Delta Niger, berujung dengan dieksekusinya pimpinan gerakan tersebut, Ken Saro-Wiwa. Diduga, Shell terlibat dalam upaya eksekusi tersebut

Blok Ambalat, Shell mendapatkan ijin dari pemerintah Indonesia untuk melakukan survei geologi di blok Ambalat. Setelah mendapatkan hasil survei tersebut, Shell justru mengajak Petronas untuk menggarap blok Ambalat dan mendorong Malaysia untuk klaim atas kawasan tersebut (2)


Chevron Corporation
Berdiri: 1879
HQ: San Ramon, California
Industri: Minyak, gas dan pertambangan
Profit 2008: USD 24 Trilliun
Website: www.chevron.com

Chevron adalah perusahaan energy terbesar ke empat di dunia dan beroperasi di lebih 180 negara di seluruh dunia. Seperti perusahaan minyak lainnya, Chevron merupakan perusahaan hasil merger dari beberapa perusahaan minyak di AS. Jika dilihat dari “akar”-nya, ada tiga perusahaan yang menjadi “akar” perusahaan Chevron: Pacific Coast Oil Company (berdiri tahun 1879), Texas Fuel Oil Company (Texaco) (berdiri pada tahun 1901) dan Standard Oil of California (SoCal) ( berdiri tahun 1911). SoCal mendapat konsesi ekplorasi di Saudi Arabia dan kemudian membentuk Arabian American Oil Company (ARAMCO) di tahun 1944. Aramco sendiri akhirnya menjadi milik sepenuhnya pemerintah Saudi di tahun 1988.

Pada tahun 1984, SoCal membuat kehebohan dengan melakukan merger dengan Gulf Oil. Upaya merger itu merupakan upaya merger terbesar pada saat itu. Setelah merger, SoCal berubah nama menjadi Chevron Corporation.

Pada tahun 2001, Chevron mengakuisisi Texaco. Proses akuisisi juga dilakukan pada Unocal di tahun 2005, yang menjadi Chevron sebagai penghasil energy geothermal terbesar di dunia.

Konsesi eksplorasi di kawasan Ambalat Timur di dapat dari pemerintah Indonesia di tahun 2004, dimana konsesi tersebut berlaku sampai dengan tahun 2010. Namun karena sengketa dengan Malaysia, maka proses eksplorasi belum dapat dilakukan.


Eni S.p.A
Berdiri: 1953
HQ: Roma, Italia
Industri: Minyak dan gas
Profit 2008: USD 16 Trilliun
Website: www.eni.it


Eni merupakan BUMN Italia yang beroperasi di lebih 70 negara di seluruh dunia. Perusahaan ini merupakan perusahaan dengan kapitalisasi terbesar di Italia. Dahulu adalah anak perusahaan dari AGIP, namun pada tahun 2003, Eni justru mencaplok AGIP dan menjadikannya sebagai Refininf and Marketing Division untuk brand “AGIP”.

Awalnya melakukan eksplorasi di dalam negeri. Pada awal tahun 1960-an mulai melakukan ekspansi ke luar negeri yakni di Mesir dan Iran. Pada awal tahun 1970-an, Eni mulai mengeksplorasi gas dan menjadi pendapatannya yang lain di luar minyak bumi. Saat ini, Eni berfokus pada 3 bidang: Eksplorasi dan Produksi, produsen gas, dan engineering & construction. Beberapa anak perusahaan Eni yang cukup terdengar adalah Saipem (kontraktor minyak dan gas) dan AGI (kantor berita).

Di Ambalat, Eni mendapat konsesi dari pemerintah Indonesia sejak tahun 1998. Akan tetapi konflik antara Indonesia dan Malaysia membuat proses eksplorasi menjadi tertunda (3)


Salam…

AMBALAT CONFLICT - ORIGIN DISPUTE

Konflik Ambalat merupakan konflik “lama” akibat saling klaim daerah perbatasan antara Indonesia dan Malaysia, semenjak Malaysia melakukan klaim sepihak di tahun 1979. Konflik ini semakin meningkat dengan dipicunya “kemenangan” klaim atas pulau Sipadan – Ligitan di Mahkamah Internasional di bulan Desember 2002. Korporasi Internasional yang mendapat konsesi untuk “mengelola” kawasan Ambalat dari dua negara, diduga juga turut memanas-manasi situasi ini, dengan harapan dapat segera mengeruk keuntungan. Bagaimana tidak menguntungkan, menurut satu penelitian, satu mine point mengandung 764 juta barrel minyak dan 1,4 milyar kaki kubik gas. Sementara masih ada delapan lagi dengan kandungan yang kurang lebih sama (1).

HIStory

Block Ambalat dengan luas sekitar 25.700 KM persegi dahulu tidak dilirik oleh kedua negara. Pada perjanjian tapal batas antara Indonesia dan Malaysia pada tahun 1969, justru kedua negara tidak memasukkan daerah tersebut pada peta masing-masing negara. Akhirnya diputuskan bahwa perbatasan tersebut mengacu pada perjanjian pada masa kolonial antara Inggris dan Belanda.
Malaysia kemudian menyadari potensi yang ada pada kawasan tersebut dan membuat klaim sepihak pada tahun 1979 dengan menerbitkan peta wilayah. Penerbitan peta tersebut diprotes oleh Indonesia, karena klaim Malaysia atas wilayah Sipadan-Ligitan dan blok Ambalat. Kasus Sipadan-Ligitan, yang berhasil dimenangkan oleh Malaysia di Mahkamah Internasional, memicu keyakinan Malaysia untuk mengklaim blok Ambalat. Padahal menurut konsensus Internasional serta dokumen peninggalan Belanda, Indonesia adalah yang berhak memiliki daerah tersebut (2). Tidak seperti pada kasus Sipadan-Ligitan, dimana Malaysia penuh percaya diri membawa kasus ini ke Mahkamah Internasional, pada kasus ini, Malaysia tidak percaya diri dan berusaha untuk mengulur waktu. Upaya ini dilakukan karena bukti-bukti yang dimiliki oleh Malaysia lemah serta apabila dihadapkan pada consensus internasional untuk penetapan wilayah, maka Malaysia akan kalah. Indonesia tidak bisa membawa kasus ini ke Mahkamah Internasional, karena sesuai dengan aturan, kasus yang dapat dibawa ke Mahkamah Internasional harus diajukan oleh pihak-pihak yang bersengketa. Malaysia berusaha untuk mengulur waktu dan lebih memilih jalan perundingan dengan Indonesia.

Korporasi internasional yang mendapat konsesi dari masing-masing negara juga mendorong ‘panas’nya situasi di Ambalat. Perusahaan Minyak dan Gas, Shell, diduga menjadi pemicu awal memanasnya situasi di Ambalat. Pada awalnya, Shell mendapatkan ijin untuk melakukan survei dari pemerintah Indonesia. Namun setelah ijin survei berakhir, Shell justru membuka data surveinya kepada pemerintah Malaysia. Sungguh suatu tindakan yang tidak terpuji (3)

Future

Kehilangan Sipadan-Ligitan membuka mata Indonesia dan lebih memperhatikan daerah-daerah perbatasan yang selama ini termarjinalkan. Harus ada political will untuk membenahi daerah-daerah perbatasan. Pemerintah harus segera mengeluarkan PP sebagai juknis implementasi UU no 43/2008 tentang Wilayah Negara. Sehingga penduduk di wilayah perbatasan tidak tergoda untuk “menyebrang” ke negara lain untuk mendapatkan kesejahteraan lebih baik lagi seperti kasus Askar Wataniah yang sempat menghebohkan Indonesia beberapa waktu lalu. (lihat pembahasan Askar Wataniah pada blog ini)

Pemberdayaan daerah juga dapat dilakukan dengan pembentukan provinsi Kalimantan Utara. Seperti kita ketahui, luas provinsi Kalimantan Timur yang sama dengan 1,5 kali luas pulau Jawa dan Madura, mengalami kesulitan dalam monitoring daerah yang sangat luas. Akibatnya terjadi ketidak seimbangan distribusi pembangunan terutama di daerah-daerah perbatasan. Secara administrasi pemerintahan, sudah ada 5 kabupaten/kota yang siap bergabung dengan propinsi Kaltara ini. mereka adalah pemkab Bulungan, pemkab Berau, pemkab Malinau, pemkab Nunukan, dan pemkot Tarakan.

Penguatan kekuatan militer di daerah-daerah perbatasan. Saat ini penugasan satuan militer lebih banyak bersifat temporary sehingga pendekatan territorial kurang. Oleh karena itu, sebaiknya dibangun fort, lanal dan lanud permanen. Dengan adanya posisi permanen, diharapkan pendekatan territorial akan semakin meningkat. Hal ini juga merupakan implementasi UU no 3/2002 tentang Pertahanan Negara serta UU no 34/2004 tentang TNI. Percepatan pembentukan Penjaga Laut dan Pantai (PALAPA) atau Indonesia Sea and Coast Guard, yang merupakan aplikasi UU no 17/2008, sebagai kekuatan tambahan AL (lihat pembahasan ISCG pada bagian lain di blog ini).

Belajar dari kasus Sipadan-Ligitan, perlu peningkatan sinergi antar lembaga baik daerah maupun pusat, sehingga mempunyai pemikiran serta tindakan yang sama dalam menghadapi kasus Ambalat ini.

Pemerintah harus lebih berhati-hati dalam melakukan kerja sama dengan korporasi internasional. Selama ini kontrak karya yang dibuat, lebih banyak menguntungkan korporasi internasional dan mengabaikan kepentingan nasional. Mengacu pada pasal 33 ayat 3 UUD 1945, seharusnya kekayaan alam Indonesia dipergunakan sebaik-baiknya untuk kepentingan masyarakat Indonesia.


Salam…

Sabtu, April 11, 2009

WHERE ARE YOU KAMERAD SJAM?

Peristiwa G30S merupakan suatu peristiwa kontroversi yang masih penuh kabut. Mulai dari perdebatan apakah peristiwa ini sebuah ‘gerakan’ atau hanyalah ‘aksi’, mengapa G30S gagal dengan mudah, padahal PKI mengklaim memiliki kekuatan massa sekitar tiga setengah juta orang, apa peran Biro Chusus PKI dalam peristiwa ini, mengapa Jenderal Soeharto tidak termasuk target operasi G30S dan lain sebagainya. Banyak ahli sejarah yang ‘frustasi’ dengan peristiwa ini. Sebagian perdebatan yang telah diungkapkan sebelumnya, merupakan perdebatan-perdebatan ‘seru’ yang tidak kunjung berakhir. Para pelaku sejarah pun banyak yang tidak mau membuka kisah sebenarnya dari peristiwa ini, hingga akhir hayat mereka. Entah karena ‘takut’ kepada rezim Orba atau karena alasan-alasan lainnya.

Penulis tertarik untuk menggali kisah Sjam Kamaruzzaman alias Djimin alias Sjamsudin alias Ali Mochtar alias Ali Sastra alias Karman. Mengapa Sjam? Tokoh ini disebut-sebut sebagai ‘otak’ sekaligus ‘korlap’ dalam G30S ini. Ia menjadi tokoh ‘kunci’ untuk membuka apa yang sebenarnya terjadi pada G30S, yang ‘hanya’ beraksi beberapa jam saja. Dan yang menjadi isu penting adalah hubungannya dengan Soeharto serta para perwira ABRI lainnya, yang terseret atau dikait-kaitkan dengan peristiwa ini.

Syam Kamaruzzaman adalah ‘spy-master’ handal yang disebut-sebut ‘master-mind’ dari peristiwa 30 September 1965. Ia merupakan sosok kontroversial bagi semua pihak yang terkait dengan peristiwa ini. Bagi sebagian kalangan ‘elit’ PKI, keberadaan serta perannya atas peristiwa ini banyak baru mengetahui setelah ia diadili di Mahmilub dan menjadi saksi bagi ‘elit’ PKI lainnya. Bagi pihak militer maupun pemerintah, Syam merupakan ‘aset’ berharga dalam membasmi (dan juga melenyapkan) para anggota PKI. Ia mampu berperan layaknya putri Syahrazad dalam kisah 1001 malam, dimana Syam mampu ‘bercerita’ sehingga mampu menunda eksekusi matinya selama 18 tahun. Setelah pemerintah memberitakan bahwa Syam dieksekusi tepat tanggal 30 September 1986, masih banyak orang yang tidak percaya bahwa ia telah dieksekusi. Ketidak percayaan banyak orang akan dieksekusinya Syam, mengingat ‘jasa’-nya dalam pembasmian PKI serta dugaan adanya ‘hubungan khusus’ dengan Soeharto. Oleh karena itu, bagi sebagaian orang ia dianggap sebagai ‘double agent’.

Tulisan ini merupakan ‘jahitan’ penulis atas beberapa sumber bacaan. Sangat dimungkinkan apabila terjadi ‘kecelakaan’ dalam penulisan akibat dari interpretasi penulis. Oleh karena itu, apabila ada koreksi atas tulisan ini, penulis mengucapkan terima kasih. Penulis juga menyarankan untuk membaca buku-buku referensi lain tentang Sjam Kamaruzzaman, sehingga dapat ‘melihat’ bagaimana sosoknya serta perannya dalam peristiwa G30S ini.

Who are you, Kamerad Sjam?
Lahir dengan nama Sjamsul Qamar Mubaidah. Ia lahir di Tuban, Jawa Timur pada 30 April 1924. R. Achmad Moebaedah, ayah Sjam, terbilang orang berada yang menyebabkan Sjam mendapat pendidikan di sekolah Belanda. Sjam dikenal sebagai anak yang sulit diatur, gemar menyendiri, namun pintar mengaji. Pendidikannya di sekolah Belanda terputus karena masuknya penjajah Jepang pada tahun 1942. Pada tahun 1943, ia masuk Sekolah Dagang di Yogya. Ia hanya sampai kelas dua karena keburu pecah perang kemerdekaan. Pada saat bersekolah di Yogya inilah, ia berkenalan dengan dunia politik dengan ikut perkumpulan pemuda Pathuk. Di sinilah, ia berkenalan dengan Soeharto.

Setiap kali pertemuan, lelaki berambut keriting, berkulit gelap dan bertubuh gempal lebih banyak dia memperhatikan. Dari banyak sumber, Sjam tukang berkelahi sehingga ada codetan di pipi dekat mata kanannya. Pria dengan tinggi badan sekitar 170 sentimeter senang sekali memakai baju dril. Pembawaannya sederhana serta mudah bergaul.

Sebagaimana para pemuda lainnya, ia juga ikut dalam pertempuran kemerdekaan. Ia bertempur di daerah Mrangge, Ambarawa dan Magelang antara 1946 sampai 1947. Pada awal tahun 1948, hijrah ke Jakarta dan menjadi pegawai Kantor Penerangan Jawa Barat, meski berkantor di Jakarta. Syam bersama beberapa kawan ikut aksi gerilya malam, dengan melempar granat ke markas pasukan sekutu di kawasan Senen, Jakarta Pusat kini. Entah bagaimana, Sjam juga bersentuhan dengan organisasi buruh kereta api, yang bermarkas di kawasan Senen. Ia turut mendirikan Serikat Buruh Mobil dan Serikat Buruh Kendaraan Bermotor. Pada tahun 1949, Sjam juga ikut mendirikan Serikat Buruh Kapal dan Pelabuhan, dimana jumlah anggotanya sempat mencapai 13 ribu orang. Ketika terbentuk Badan Pusat Sementara Serikat-Serikat Buruh, yang merupakan gabungan serikat buruh pada masa itu, Sjam menjadi Wakil Ketua. Organisasi ini kemudian bubar dan sebagian anggotanya mendirikan Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) yang berafiliasi ke PKI. Sjam menjadi pengurus SOBSI hingga tahun 1957 dan selanjutnya menjadi asisten pribadi DN Aidit.

Sjam yang merekayasa bahwa Aidit tidak terlibat peristiwa Madiun tahun 1948 karena pergi ke Vietnam. Ia berhasil membuat seolah-olah Aidit baru datang ke Indonesia dari Vietnam, padahal sebenarnya Aidit bersembunyi di Jakarta. Pada masa persembunyian di Jakarta inilah, Aidit menawari Sjam untuk masuk PKI.

Setelah mundur dari SOBSI pada tahun 1957, Aidit menugasinya mengurus dokumentasi yang berhubungan dengan ideologi Marxisme-Leninisme. Pada tahun 1960, ia direkrut menjadi anggota Departemen Organisasi PKI, dimana departemen ini ‘menggarap’ anggota dari militer. Karena kinerja departemen ini tidak optimal, maka Aidit membentuk Biro Chusus (BC) pada tahun 1964 dengan Sjam sebagai ketua. Keberadaan BC ini dipantau langsung oleh Aidit, namun adanya BC ini tidak pernah dilaporkan dalam sidang-sidang politbiro PKI. Oleh karena itu, wajar bila tidak banyak kalangan ‘elit’ PKI mengetahui adanya BC ini. Karena sifatnya yang dirahasiakan, maka anggota BC yang direkrut sangat sedikit namun mampu membuat jaringan ‘merah’ di kalangan tentara. Para anggota BC memiliki kartu tanda anggota ABRI, sehingga mereka dengan mudah masuk ke kalangan tentara.

Double agent?
Sosoknya yang misterius serta perlakuan istimewa yang diterimanya di dalam penjara, menimbulkan dugaan bahwa ia adalah agen intel yang disusupkan ke PKI. Siapa yang menyusupkannya? Inilah pertanyaan sulit, karena sampai ‘akhir hayat’-nya, Sjam ‘dilindungi’ oleh pemerintah Orba dan seolah pertanyaan ini dibiarkan menggantung tanpa ada penjelasan lebih jauh.

Pertanyaan siapa yang menyusupkannya ke PKI dapat diduga sebagai berikut:

Soeharto dkk: Soeharto telah mengenal Sjam sejak awal perang kemerdekaan tahun 1945, dimana Sjam bersama kelompok Pemuda Pathuk membantu Soeharto pada peristiwa 3 Juli 1946. Dari beberapa sumber disebutkan bahwa Sjam adalah perwira intel berpangkat Lettu di Batalyon 10 Yogya, yang dikomandani Letkol Soeharto; Kecurigaan lain adalah ditengah kebingungan serta kesimpang siuran berita di kalangan ABRI pada waktu itu, mengapa Soeharto bisa ‘sigap’ dan ‘tahu’ langkah-langkah apa yang perlu diambil sehingga praktis selepas isya tanggal 1 Oktober 1965, G30S ‘tidak berfungsi’.

DN Aidit: pembentukan BC adalah upaya ‘diam-diam’ untuk pembentukan sayap militer PKI, namun tidak dilaporkan secara resmi pada politbiro. Sudisman, Sekjen PKI, dalam sidang mahmilub bahkan menyebutkan bahwa BC sebagai PKI ‘Illegal’. Pembentukan sayap militer ini mengacu pada pengalaman partai komunis di banyak negara, dimana merupakan kekuatan esensial. Karena usulan PKI membentuk ‘angkatan kelima’ ditolak oleh TNI-AD, maka dilakukan penetrasi ke kalangan ABRI. Aidit mengemukakan teori bahwa dengan 30 persen tentara, maka PKI dapat melakukan kudeta. Konon teori ini banyak dipersoalkan oleh para ‘elit’ PKI, karena tidak sesuai dengan Marxisme.

Aidit terburu nafsu untuk segera melakukan revolusi dan mewujudkan impian Marx dan Lenin, yaitu masyarakat tanpa kelas. Akan tetapi ‘revolusi’ melalui pemilu dirasa tidak mungkin karena Soekarno dan Demokrasi Terpimpinnya tidak membukakan kesempatan tersebut. Selain itu belajar dari sejarah negara lain, partai komunis tidak pernah memenangkan pemilu. Oleh karena itu, pembentukan BC dan ditugaskan melakukan penetrasi ke kalangan ABRI, diharapkan dapat mewujudkan ‘revolusi’ PKI. Sjam, yang telah dibina secara khusus oleh Aidit sejak tahun 1957, ditunjuk mengepalai BC.

Pihak Barat: berusaha mencegah Indonesia menjadi ‘negara komunis’ karena Indonesia memiliki nilai strategis di Asia Tenggara. Dikhawatirkan apabila Indonesia menjadi komunis, maka akan menular ke negara-negara lain di Asia Tenggara. Keterkaitan dengan Sjam adalah Sjam pernaha mendapatkan pelatihan ‘khusus’ dari Partai Sosialis Indonesia (PSI). Seperti diketahui, PSI (dan juga Masumi) menjadi ‘sponsor’ gerakan PRRI/PERMESTA, yang didukung oleh pihak Barat. Indikasi lain adalah para perwira ‘utama’ yang terlibat G30S, memiliki latar belakang pendidikan Barat. Letkol Untung dan Brigjen Supardjo, pernah mendapat pelatihan militer di AS.

AS dan negara-negara sekutunya sangat ketat dalam menerima ‘siswa’ dari Indonesia. Mereka melakukan ‘screening’ terhadap calon siswa yang diajukan. Apabila ketahui berlatar belakang ‘merah’, maka calon siswa tersebut pasti ditolak.

Did he die?
Banyak orang meragukan kematian Sjam, meskipun pemerintah mengumumkan bahwa Sjam telah dieksekusi pada tanggal 30 September 1986. Ia diisukan tinggal di luar negeri setelah ‘dieksekusi’ (1).

Setelah gagalnya G30S, Sjam melarikan diri ke Bandung pada tanggal 8 Oktober 1965. Ia tertangkap pada tanggal 9 Maret 1967, di daerah Cimahi dan semenjak 27 Mei 1967 ditahan di RTM Budi Utomo. Menurut beberapa bekas tahanan politik yang pernah bersama Sjam, ia bertindak layaknya seorang bos. Sjam sangat leluasa mondar-mandir dalam RTM dan mengenal banyak petugas militer seperti berada di lingkungannya sendiri. Ia banyak di-‘pinjam’ untuk mengidentifikasi tahanan politik agar mendapatkan ‘klasifikasi’ yang tepat.

Sjam dijatuhi hukuman mati oleh Mahmilub pada tanggal 9 Maret 1968. Seperti yang telah diceritakan sebelumnya, ia memainkan peran putrid Syahrazad dalam kisah 1001 malam, sehingga mampu menunda eksekusi matinya hingga 18 tahun. Pada tanggal 27 September 1986, ia dijemput oleh perwira bagian penelitian kriminal, Edy B.Sutomo (NRP: 27410) (2)(3). Jika benar data NRP yang dimaksud, maka nama perwira tersebut seharusnya adalah Edy Budi Utomo. Berdasarkan penelusuran penulis, pada saat diterbitkan tulisan ini, beliau berpangkat Brigjen dan menjadi Kaposwil BIN di NTB (4). Jika data ini benar semua, hal ini merupakan langkah awal untuk mengetahui ‘keberadaan’ tokoh misterius ini. Sjam dibawa ke RTM Cimanggis dan berada di sana selama dua hari. Tengah malam tanggal 30 September 1986, ia bersama dua rekan lainnya dibawa ke Tanjung Priok, kemudian diangkut ke sebuah pulau di Kepulauan Seribu dan dieksekusi pada pukul 3 dinihari tanggal 30 September 1986.

Kecurigaan lain adalah menurut dokumen-dokumen CIA yang telah dibuka untuk umum, tercatat tiga orang yang bernama ‘Sjam’ yang ditahan oleh pihak Angkatan Darat. Apakah yang dieksekusi itu ‘Sjam’ Kamaruzzaman atau ‘Sjam’ yang lain?

So, Where Are You Kamerad Sjam?

Salam…

Jumat, Maret 27, 2009

COAST GUARD - ISCG

Dengan disahkan UU no. 17/2008, maka pemerintah diamanatkan untuk membentuk suatu satuan Penjaga Laut dan Pantai Republik Indonesia (PALAPA-RI) atau dalam bahasa Inggris disebut Indonesia Sea and Coast Guard (ISCG). Instansi ini akan berdiri sendiri dan bertanggung jawab langsung pada presiden.
Pentingnya pembentukan ISCG adalah untuk menjaga potensi kekayaan laut Indonesia. Perlu diketahui bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan laut teritori terluas (3,2 juta km persegi), dengan jumlah pulau terbanyak (17.508 pulau), dengan panjang garis pantai terpanjang kelima di dunia (sepanjang 95.108 km). Hal ini ditambah lagi dengan perairan ZEE dengan luas 2,9 juta km persegi. Kondisi geografi Indonesia yang terletak di dua benua (Asia dan Australia) serta dua samudera (Samudera India dan Samudera Pasifik), mempunyai nilai strategis baik ekonomi maupun militer.
Untuk memperkuat ISCG ini disamping telah memiliki payung hukum, perlu adanya aturan teknis serta pemangkasan kewenangan penegakan hukum institusi-institusi yang selama ini ‘bermain’ di hukum laut. Tanpa adanya pemangkasan tersebut, maka ISCG akan tumpul. Disamping itu, untuk penegakan hukum di laut perlu didukung dengan alutsista serta sarana dan prasarana yang menunjang.
Persiapan
Dephub, selaku Koordinator pembentukan institusi ISCG, menargetkan institusi akan berdiri pada pertengahan tahun 2009, meskipun dalam UU no. 17/2008 diamanatkan paling lambat dibentuk 3 tahun setelah ditetapkan UU tersebut. Selain itu, untuk kebutuhan SDM organisasi baru ini, Diklat Dephub sudah menyiapkan ratusan tenaga pengamanan laut dan pantai. Kebanyakan tenaga pengamanan ini berasal dari KPLP, Polairud, TNI-AL dan lain-lain. Untuk itu, tenaga pengamanan laut dan pantai ini akan dilatih oleh tenaga ahli dari AS dan Jepang. Kebutuhan SDM di masa depan akan dipasok dari Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) Marunda, yang akan membuka jurusan Sea and Coast Guard. Nantinya jurusan ini merupakan embrio pembentukan Akademi Laut dan Penjaga Pantai. Jika mengacu pada pengadaan SDM USCG, maka untuk jenjang perwira dapat bersumber dari Akademi laut dan Penjaga Pantai, sementara untuk jenjang bintara, dapat meniru TNI dengan membuka SECABA.
Untuk sarana, kapal patrol yang dimiliki Indonesia masih sangat sedikit. Untuk itu, perlu segera pemenuhan alutsista serta sarana penunjang tugas.
Usulan
Dalam membentuk ISCG yang tangguh dan handal di masa depan, penulis mengusulkan sebagai berikut:
>Dari berbagai penyatuan instansi yang selama ini memiliki kewenangan hukum di laut, maka ada 6 tugas pokok ISCG: Penegakan hukum di laut (Maritime Law Enforcement), kepabeanan (Customs), bantuan navigasi dan keselamatan pelayaran, perlindungan penangkapan ikan (fishery protection), SAR laut, menjadi kekuatan ‘pengganda’ (multiplier force) bagi AL.
>ISCG diharapkan menjadi ‘ujung tombak’ dari custom, imigrasi, DKP, Dephub, dan Basarnas, untuk ‘penyelidikan’ tahap awal. Untuk ‘penyelidikan’ tahap lanjut diserahkan kepada masing-masing instansi terkait.
>ISCG sebaiknya berdiri secara otonom dan bertanggung jawab langsung pada Presiden RI. Hal ini dimaksudkan agar instansi ini independen dalam tugas. Di samping itu pula, dengan independen dari instansi lain, maka diharapkan dapat segera melengkapi alutsista serta sarana dan prasarana penunjang tugas.
>Bakorkamla sebaiknya dileburkan dalam ISCG ini, sehingga tugas-tugas yang selama ini telah dilakukan selama ini dapat terus dilanjutkan oleh ISCG.
Welcome ISCG…

Salam…