Jumat, Maret 27, 2009

COAST GUARD - ISCG

Dengan disahkan UU no. 17/2008, maka pemerintah diamanatkan untuk membentuk suatu satuan Penjaga Laut dan Pantai Republik Indonesia (PALAPA-RI) atau dalam bahasa Inggris disebut Indonesia Sea and Coast Guard (ISCG). Instansi ini akan berdiri sendiri dan bertanggung jawab langsung pada presiden.
Pentingnya pembentukan ISCG adalah untuk menjaga potensi kekayaan laut Indonesia. Perlu diketahui bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan laut teritori terluas (3,2 juta km persegi), dengan jumlah pulau terbanyak (17.508 pulau), dengan panjang garis pantai terpanjang kelima di dunia (sepanjang 95.108 km). Hal ini ditambah lagi dengan perairan ZEE dengan luas 2,9 juta km persegi. Kondisi geografi Indonesia yang terletak di dua benua (Asia dan Australia) serta dua samudera (Samudera India dan Samudera Pasifik), mempunyai nilai strategis baik ekonomi maupun militer.
Untuk memperkuat ISCG ini disamping telah memiliki payung hukum, perlu adanya aturan teknis serta pemangkasan kewenangan penegakan hukum institusi-institusi yang selama ini ‘bermain’ di hukum laut. Tanpa adanya pemangkasan tersebut, maka ISCG akan tumpul. Disamping itu, untuk penegakan hukum di laut perlu didukung dengan alutsista serta sarana dan prasarana yang menunjang.
Persiapan
Dephub, selaku Koordinator pembentukan institusi ISCG, menargetkan institusi akan berdiri pada pertengahan tahun 2009, meskipun dalam UU no. 17/2008 diamanatkan paling lambat dibentuk 3 tahun setelah ditetapkan UU tersebut. Selain itu, untuk kebutuhan SDM organisasi baru ini, Diklat Dephub sudah menyiapkan ratusan tenaga pengamanan laut dan pantai. Kebanyakan tenaga pengamanan ini berasal dari KPLP, Polairud, TNI-AL dan lain-lain. Untuk itu, tenaga pengamanan laut dan pantai ini akan dilatih oleh tenaga ahli dari AS dan Jepang. Kebutuhan SDM di masa depan akan dipasok dari Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) Marunda, yang akan membuka jurusan Sea and Coast Guard. Nantinya jurusan ini merupakan embrio pembentukan Akademi Laut dan Penjaga Pantai. Jika mengacu pada pengadaan SDM USCG, maka untuk jenjang perwira dapat bersumber dari Akademi laut dan Penjaga Pantai, sementara untuk jenjang bintara, dapat meniru TNI dengan membuka SECABA.
Untuk sarana, kapal patrol yang dimiliki Indonesia masih sangat sedikit. Untuk itu, perlu segera pemenuhan alutsista serta sarana penunjang tugas.
Usulan
Dalam membentuk ISCG yang tangguh dan handal di masa depan, penulis mengusulkan sebagai berikut:
>Dari berbagai penyatuan instansi yang selama ini memiliki kewenangan hukum di laut, maka ada 6 tugas pokok ISCG: Penegakan hukum di laut (Maritime Law Enforcement), kepabeanan (Customs), bantuan navigasi dan keselamatan pelayaran, perlindungan penangkapan ikan (fishery protection), SAR laut, menjadi kekuatan ‘pengganda’ (multiplier force) bagi AL.
>ISCG diharapkan menjadi ‘ujung tombak’ dari custom, imigrasi, DKP, Dephub, dan Basarnas, untuk ‘penyelidikan’ tahap awal. Untuk ‘penyelidikan’ tahap lanjut diserahkan kepada masing-masing instansi terkait.
>ISCG sebaiknya berdiri secara otonom dan bertanggung jawab langsung pada Presiden RI. Hal ini dimaksudkan agar instansi ini independen dalam tugas. Di samping itu pula, dengan independen dari instansi lain, maka diharapkan dapat segera melengkapi alutsista serta sarana dan prasarana penunjang tugas.
>Bakorkamla sebaiknya dileburkan dalam ISCG ini, sehingga tugas-tugas yang selama ini telah dilakukan selama ini dapat terus dilanjutkan oleh ISCG.
Welcome ISCG…

Salam…

COAST GUARD - JCG

Japan Coastal Guard (JCG) adalah salah satu satuan ‘coast guard’ yang tangguh. Beberapa waktu lalu, ketika kita mendengar kabar beberapa pelaut asal Indonesia ‘hilang’ di perairan Jepang, JCG turun tangan berusaha mencari para pelaut Indonesia tersebut. Berada di bawah Kementerian Tanah, Infrastruktur dan Transportasi, didirikan semenjak tahun 1949 dan saat ini diperkirakan beranggotakan 12 ribu personel.
Tupoksi dan Organisasi
Tugas pokok organisasi JCG adalah :
Melakukan SAR
Survei Hidrografi dan Oseanografi.
Manajemen lalu lintas laut

JCG dipimpin oleh seorang Commandant serta dibantu oleh 2 wakil Commandant. Satu layer di bawahnya dibantu oleh 5 direktur jenderal yang mengepalai departemen. Masing-masing direktur jenderal dibantu oleh beberapa direktur sesuai dengan bidang penugasannya. Selain juga ada inspektur jenderal, yang setara dengan direktur jenderal.
JCG dibagi atas 5 departemen: Administrasi, Equipment & Technology, Guard & Rescue, Hydrographic & Oceanographic dan Maritime Traffic Management. Selain itu didukung oleh ‘Japan Coast Guard Academy’, yang berlokasi di Kure, Hiroshima. Akademi ini bertugas untuk mendidik calon perwira JCG. Organisasi ini juga didukung oleh 2 unit pasukan khusus: Special Security Team dan Special Rescue Team.
Tugas JCG cukup berat karena bersinggungan dengan beberapa wilayah ‘panas’, yang dapat memancing ‘perang’. Beberapa wilayah ‘panas’ yang diawasi oleh JCG adalah perbatasan dengan Korea Utara, perbatasan dengan Cina, dan Laut Cina Selatan.
JCG membagi wilayah pengawasannya menjadi sebelas region:

Region 1 bermarkas di Otaru
Region 2 bermarkas di Shiogama
Region 3 bermarkas di Yokohama
Region 4 bermarkas di Nagoya
Region 5 bermarkas di Kobe
Region 6 bermarkas di Hiroshima
Region 7 bermarkas di Kitakyushu
Region 8 bermarkas di Maiduru
Region 9 bermarkas di Niigata
Region 10 bermarkas di Kagoshima
Region 11 bermarkas di Naha

Salam…

COAST GUARD – USCG

United States Coast Guard adalah satuan coast guard ‘tertua’ di dunia. Berdiri pada 4 Agustus 1790, saat ini berada dibawah Departemen Keamanan Dalam Negeri (Department of Homeland Security). Apabila dalam kondisi diperlukan, USCG dapat langsung di-bko-kan di bawah Departemen AL atas perintah Presiden. Tugas aktifnya berperan sebagai penegak hukum di laut (baik domestic maupun perairan internasional) serta berperan sebagai badan regulator federal. Motto USCG: ‘Semper Paratus’ yang berarti selalu siap (always ready). Julukan ‘formal’ untuk setiap anggota USCG adalah ‘Coast Guardsman’. Panggilan ‘non-formal’ adalah ‘Coastie’.
Tupoksi
Tugas pokok organisasi USCG adalah:
>Menjaga keselamatan pelayaran (Maritime safety) termasuk SAR
>Maritime Mobility
>Menjaga keamanan laut (Maritime Security)
>Menjaga pertahanan nasional (National Defense)
>Perlindungan tas sumber daya alam (Protection of natural resources)

Tugas pokok ini kemudian dijabarkan dalam 11 misi utama:
>Penjagaan pelabuhan, jalur laut dan pantai (Port, Waterway and Coastal Security/PWCS)
>Counter Drug Law Enforcement
>Migrant Interdiction
>Penegakan hukum atas penangkapan ikan oleh pihak asing (foreign fisheries)
>Perlindungan atas penangkapan ikan domestik (domestic fisheries)
>Keselamatan laut (Maritime Safety)
>Perlindungan lingkungan laut (Maritime Environment Protection)
>Ice Operation
>Bantuan Navigasi
>Siaga pertahanan (Defense Readiness)
>Maritime Environmental Response (MER)

Berdasarkan data dari Wikipedia, per Oktober 2006, USCG beranggotakan 46 ribu ‘dinas aktif’, 8 ribu ‘reserve’, 7 ribu petugas sipil dan 30 ribu Auxiliarist.
Untuk tugas SAR, merupakan tugas USCG paling ‘tua’. Bersama USAF, mengelola Rescue Coordination Center, yang bertanggung jawab dalam SAR. USCG bertanggung jawab untuk SAR laut, sementara USAF bertanggung jawab untuk operasi darat.
Dalam rangka pelaksanaan tugas menjaga lingkungan laut, maka USCG membentuk National Response Center (NRC). Badan ini bertanggung jawab dalam melindungi lingkungan laut di wilayah AS beserta teritorinya.
USCG termasuk dalam angkatan bersenjata AS, dimana bila dibutuhkan dapat langsung diberdayakan. Pada Oktober 2007, USCG bersama US Navy dan US Marine Corp menerapkan strategi pertahanan laut bersama yang disebut: ‘A Cooperative Strategy for 21st Century Seapower’. Dengan strategi ini, ketiga matra ini bekerja sama secara kolektif dalam pertahanan laut AS.
Personel
Personel USCG dikategorikan dalam 2 kelompok: kelompok perwira dan kelompok bintara. Kelompok perwira berasal dari 4 sumber: US Coast Guard Academy (USCGA), Officer Candidate School (OCS), Direct Commission Officer Program (DCOP), dan College Student Pre-commissioning Initiative (CSPI).
USCGA berlokasi di Sungai Thames di New London, Connecticut. Setiap tahunnya, hanya menerima 225 taruna. Setelah lulus dari USCGA, dilantik dengan pangkat Ensign (O-1 setara Letda di TNI) dengan ikatan dinas aktif selama 5 tahun. Sekitar 70% lulusannya bertugas pada kapal USCG, sekitar 10% ditugaskan menjadi penerbang USCG dan sisanya bertugas sebagai tenaga administratif.
Program OCS adalah program pendidikan bagi bintara untuk menjadi perwira. Tidak semua bintara dapat menempuh jenjang ini, ada kriteria khusus untuk dapat menempuhnya. Lulusan dari OCS diberi pangkat Ensign (O-1 setara Letda di TNI) atau Lieutenant Junior Grade (O-2 setara Lettu di TNI) atau Lieutenant (O-3 setara Kapten di TNI). Untuk pemberian pangkat O-2 atau O-3 tergantung pada kemampuan ‘istimewa’ yang dimiliki.
Program DCO ditujukan pada seseorang yang memiliki keahlian ‘khusus’, yang tidak dimiliki oleh USCG, seperti: ahli hukum, dokter, insinyur, intelijen, pilot tempur yang berasal dari matra tempur dalam lingkup angkatan bersenjata AS.
Program CSPI adalah program beasiswa untuk mahasiswa tingkat akhir, yang nantinya akan menjadi perwira USCG. Para mahasiswa yang masuk dalam program ini diberi pengetahuan tentang kepemimpinan, manajemen, penegakan hukum, pelatihan navigasi dan ilmu kelautan.
Untuk kategori bintara dibagi atas 2 kelompok: bintara tinggi (Chief Warrant Officer atau CWO) dan bintara ‘biasa’. Untuk menjadi bintara tinggi adalah dipilih dari bintara berpangkat E-6 sampai dengan E-9, dengan pengalaman minimum 8 tahun serta memiliki kemampuan ‘khusus’. CWO yang berprestasi dapat dipromosikan ke jenjang perwira dan dapat langsung diberi pangkat Lieutenant (O-3E), setelah bertugas aktif lebih dari empat tahun.
Untuk bintara ‘biasa’, jenjang karir dimulai dari masuk ‘boot camp’ dengan menjalankan ‘basic training’ di ‘Coast Guard Training Center’, Cape May, New Jersey. Boot camp dijalani selama 8 minggu. Setelah lulus, akan mengikuti pelatihan lanjutan (‘A’ School) sesuai dengan kecabangan (rating) berdasarkan minat dan bakatnya. Apabila telah mencapai pangkat E-7, diwajibkan untuk mengikuti ‘Chief Petty Officer Academy’ di Petaluma, California.
Kendala USCG
USCG juga tidak lepas dari berbagai kendala yang dihadapi dalam penugasannya, antara lain:
Lemah dalam pemantauan area (lack of coverage), luasnya wilayah AS menyebabkan beberapa area tidak terpantau dengan baik.
Kurangnya personel dalam pemenuhan tugas untuk menjaga wilayah perairan AS.
Kapal-kapal yang telah ‘berumur’, dimana USCG tidak dapat optimal dalam pelaksanaan tugasnya.
Kurangnya latihan untuk peningkatan kemampuan ‘perang’ dari USCG.

Salam…

COAST GUARD: BAKORKAMLA

Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) atau dalam bahasa Inggris adalah Indonesia Maritime Security Coordinating Board (IMSCB) adalah badan yang dibentuk kembali setelah pada tahun 1972 sempat dibentuk badan yang sama namun vakum. Mulai tahun 2003, Menko Polkam membentuk Kelompok Kerja Perencanaan Pembangunan Keamanan dan Penegakan Hukum di Laut. Selain itu diadakan serangkaian seminar dan rapat koordinasi lintas sektoral untuk pemantapan suatu badan penegakan hukum di laut. Pada tanggal 29 Desember 2005, melalui Peraturan Pemerintah no 81 tahun 2005 dibentuklah kembali Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla). Bakorkamla ini beranggotakan 12 instansi: Dephan, TNI-AL, TNI-AU, Polri, BIN, Kejakgung, Depkumham, DKP, Dephub, Depkeu, Depdagri dan Deplu.
Dengan visi terwujudnya upaya penciptaan keamanan, keselamatan dan pengakan hukum dalam wilayah perairan Indonesia secara terpadu, Bakorkamla mempunyai misi (1):
Merumuskan dan menetapkan kebijakan umum di bidang keamanan laut
Mengkoordinasikan pelaksanaan kegiatan dan operasi keamanan laut di wilayah perairan Indonesia.
Merumuskan dan menetapkan penyelenggaraan dukungan teknis dan administrasi di bidang keamanan laut.
Membantu peningkatan kapasitas kelembagaan di bidang keamanan laut
Mendorong peningkatan peran serta masyarakat di bidang keamanan laut.
Kritikan
Pembentukan Bakorkamla tahun 1972, yang dibentuk berdasarkan Skep bersama Menhankam/Pangab, Menkeu, Menkeh dan Jakgung tahun 1972, sepertinya tidak menjadi pelajaran bagi pemerintah. Bakorkamla hanya berfungsi sebagai badan koordinasi semata dan tidak menghilangkan kewenangan instansi di bawahnya dalam penegakan hukum di laut. Fungsi inilah yang menyebabkan kegagalan dalam pelaksanaan tugas serta tumpang tindih dalam pelaksanaan di lapangan. Secara operasional, Bakorkamla bentukan tahun 1972 dengan Bakorkamla bentukan tahun 2005 tidak berbeda jauh, karena mengandalkan pada instansi yang sudah eksis pada Bakorkamla bentukan tahun 1972.
Selain itu, ‘ego’ masing-masing instansi menyebabkan lemahnya kerja sama serta menimbulkan biaya tinggi bagi perusahaan pelayaran.
Selain itu, ada gelagat instansi-instansi ‘darat’ mencoba untuk melebarkan kewenangannya ke wilayah laut. Hal ini aneh, karena secara yuridis seharusnya rezim hukum di darat tidak sama dengan hukum laut. Perlu dipahami bahwa rezim hukum di laut menganut pada ‘bendera’ kapal yang mendeklarasikan suatu negara.
Pembentukan Bakorkamla ini juga menjadi kendala bagi pembentukan Penjaga Laut dan Pantai (Palapa), yang diharapkan nantinya mempunyai kekuatan ‘tunggal’ dalam penegakan hukum di laut.
Belajar dari Malaysia
Malaysia rupanya belajar dari kegagalan Bakorkamla bentukan tahun 1972. Pada tahun 2005, dibentuklah Maritime Enforcement Agency, yang menjadikan badan ini penegak hukum ‘tunggal’ di laut. Badan ini merupakan suatu badan pemerintahan yang bertanggung jawab langsung ke PM Malaysia. Pendirian badan ini juga sekaligus menghilangkan ‘wewenang hukum’ 11 instansi yang selama ini mempunyai wewenang di laut. Badan ini dapat dijadikan kekuatan cadangan AL Malaysia (TLDM) bila diperlukan. ‘Coast Guard’ Malaysia ini juga dilengkapi dengan ‘pasukan khusus’ yang disebut ‘STAR’, yang sebagian direkrut dari AL dan AU Malaysia.
Keluarnya UU no 17/2008 diharapkan menjadi tonggak awal berdirinya ‘coast guard’ Indonesia. Sebagaimana diamanatkan oleh UU tersebut, maka akan dibentuk Penjaga Laut dan Pantai Republik Indonesia (PALAPA-RI) atau dalam bahasa Inggris: Indonesia Sea and Coast Guard (ISCG). Diharapkan pada tahun 2009 ini telah terbentuk ISCG dan mulai efektif beroperasi pada tahun 2010.

Salam…

COAST GUARD: ‘LAW ENFORCEMENT AT THE SEA’

‘Coast Guard’ adalah terminologi yang digunakan untuk satuan penjaga pantai di beberapa negara, namun memiliki keragaman dalam penugasannya. Pada umumnya ‘Coast Guard’ bertugas sebagai penyelamat insiden di pantai/laut (maritime/sea rescue), penegakan hukum laut, menjaga batas negara dan lain-lain. Di beberapa negara, pada masa perang, Coast Guard ditugaskan untuk menjaga pertahanan pangkalan, intelijen dan patrol laut. Keragaman ini dapat juga dilihat dari fungsi organisasi. Beberapa negara memasukkan ‘coast guard’ sebagai bagian dari organisasi militer, sebagian lagi memasukkannya sebagai organisasi ‘sipil’, bahkan beberapa negara lain merupakan organisasi swasta. Untuk keperluan tugas, semua organisasi ‘coast guard’ memiliki kapal laut dan pesawat terbang, termasuk helicopter dan seaplane.
Tipe dan Peran
Berbagai tipe dan peran ‘coast guard’ dari beberapa negara, memperlihatkan keragaman organisasi ini:
Badan Pemerintah: di Bangladesh, Prancis, India, Pakistan dan Italia, berdiri sebagai suatu badan pemerintah yang bertugas menjaga wilayah laut dan pantai.
Kombinasi fungsi penegak hukum dan militer: Islandia, AS, dan Taiwan, merupakan suatu badan yang berfungsi sebagai penegak hukum dan pada masa perang, dapat digunakan sebagai pasukan militer.
Fungsi sebagai penegak hukum: Malaysia, Singapura dan Philipina menjadi ‘coast guard’ sebagai penegak hukum di laut.
Kombinasi penegak hukum dengan badan sipil: Jerman mendirikan ‘coast guard’ yang merupakan gabungan dari petugas sipil dari berbagai organisasi maritime dengan kepolisian Jerman.
Organisasi sipil: Kanada, Selandia Baru, dan Inggris menjadikan ‘coast guard’ sebagai organisasi sipil dan mitra dari penegak hukum. Para anggotanya berasal dari kalangan sipil yang memiliki perhatian dengan masalah kelautan.
Pentingnya Coast Guard
Sebuah ilustrasi menarik bagaimana hasil rata-rata per hari yang dihasilkan oleh USCG. Data ini dicuplik dari military.com dan beberapa hasil yang dicapai sebagai berikut:
Menyelesaikan 109 kasus SAR.
Melindungi property senilai USD 2,791,841
Berhasil menggagalkan 169 pound Marijuana dan 306 pound Kokain senilai USD 9,589,000
Berhasil mencegah masuknya 14 imigran illegal
Salam…

Minggu, Maret 22, 2009

PERJALANAN SEORANG SINTONG PANJAITAN



JUDUL: Sintong Panjaitan - Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando
PENULIS: Hendro Subroto
TERBIT: Maret 2009
Cetakan: keempat – Maret 2009
PENERBIT: Penerbit Buku Kompas
Halaman: 522 + xxx







Selama dua minggu, penulis menyatroni sebuah toko buku besar di bilangan Matraman, Jakarta untuk mencari buku ini dan akhirnya tadi malam (21/3), berhasil mendapatkannya. Buku ini sudah mendapatkan ekspose yang luar biasa semenjak hari pertama terbit. Bahkan pada launching buku ini, beberapa stasiun TV meliput secara langsung acaranya. Apa sich yang membuat buku ini heboh?
Unofficial biography
Seperti yang ditegaskan oleh Pak Hendro Subroto, penulis buku ini, buku ini bukan merupakan otobiografi maupun biografi dari Letjen (Purn) Sintong Panjaitan. Hendro Subroto adalah wartawan ‘perang’ kawakan yang sangat dekat dengan ABRI/TNI. Sebagai jurnalis TVRI, beliau terjun langsung meliput ke kawasan ‘perang’. Beberapa peristiwa ‘penting’ ia liput secara langsung: konfrontasi dengan Malaysia di Serawak, operasi penumpasan DI/TII di Sulseltra, termasuk meliput langsung tewasnya Kahar Muzakar, pengangkatan jenazah para jenderal di Lubang Buaya pada G30S, juga meliput operasi penumpasannya di Jateng, operasi jelang Pepera Irian, operasi Seroja di Tim-Tim. Liputan ‘perang’ di luar negeri yang pernah dilakukan adalah perang Vietnam, perang Kamboja, perang perbatasan Vietnam – Cina, perang sipil di Sudan Selatan tahun 1986, dan perang teluk tahun 1991. Dari pertemuan selama meliput ‘perang’ di dalam negeri inilah, Hendro Subroto mengenal Sintong Panjaitan.
Lahir pada tanggal 4 September 1940 di Tarutung dengan nama Sintong Hamonangan Panjaitan. Ia anak ketujuh dari sebelas bersaudara. Semula ia tertarik untuk mengabdi menjadi prajurit AURI. Ketertarikan pada AURI, karena ia tertarik akan ‘kehebatan’ pesawat Tjotjor Merah (P-51 Mustang) AU Belanda pada perang kemerdekaan. Selepas SMA, ia mendaftar ke AAU dan dinyatakan diterima dengan syarat harus operasi amandel. Setelah operasi, ternyata panggilan masuk pendidikan tidak muncul. Sebenarnya ia sudah dipanggil kembali, namun surat panggilan tersebut disembunyikan oleh ibunya. Sambil menunggu panggilan dari AURI, Sintong mengikuti tes masuk Akademi Militer Nasional (AMN) dan diterima sebagai taruna pada tahun 1960. Ia lulus dengan urutan 38 dari 117 taruna pada tahun 1963.
Kemudian mengikuti sekolah dasar kecabangan infanteri dan selanjutnya ditempatkan sebagai perwira pertama di Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD). Sambil menunggu untuk ikut sekolah para komando, sebagai syarat kualifikasi anggota RPKAD, ia ‘dimagangkan’ menjadi danton pada Yonif 321, Brigif 13, Kodam Siliwangi. Bersama Yonif 321 ini, ia terjun dalam penumpasan DI/TII di Sulseltra dengan sandi ‘operasi kilat’. Pada Februari 1965, ia masuk sekolah para komando dan lulus enam bulan kemudian. Nyaris diterjunkan ke Sarawak untuk memandu sukarelawan, namun keburu terjadi G30S.
Pada awal penumpasan G30S, Sintong terlibat aktif. Ia bersama anggota peletonnya, berhasil merebut Gedung RRI Pusat, pengamanan pangkalan Halim Perdanakusuma, dan menemukan ‘kuburan’ korban penculikan di Lubang Buaya. Kemudian ditugaskan ke daerah Jateng untuk menumpas G30S serta para petinggi PKI yang kabur ke daerah ini. Daerah Jateng merupakan basis PKI ‘terkuat’ karena hampir semua pejabat militer ‘level atas’ di daerah ini berhasil dibina oleh PKI.
Pada awal tahun 1967, Sintong ditugaskan ke Irian Jaya dalam rangka Pepera. Penugasan di daerah ini dijalani sampai dengan awal tahun 1970. Pada akhir tahun 1972, ditugaskan di Kalbar dalam rangka penumpasan PGRS/PARAKU. Ikut serta dalam perencanaan operasi linud dalam rangka ‘merebut’ kota Dili pada Desember 1975, namun karena suatu hal tidak dapat ikut serta. Meskipun diawal integrasi Tim-Tim tidak ikut dalam operasi Seroja, karena mengikuti Seskoad, namun ia termasuk ‘akrab’ dengan daerah Tim-Tim.
Sukses dalam operasi pembebasan sandera ‘Woyla’, membawanya menjadi Komandan Grup 3/Sandiyudha di Kariango, Makassar. Pada saat reorganisasi ABRI pada tahun 1985, ia ditugaskan komandan jenderal pasukan elit AD. Dengan berat hati, ia melakukan ‘perampingan’ dan merubah Kopasandha menjadi Kopassus. Sukses dengan reorganisasi Kopassus, ia menjadi Danpussenif dan ditugaskan untuk melakukan pembenahan organisasi. Pembenahan organisasi Pussenif berjalan sukses dan Ia dipromosikan menjadi Pangdam IX/Udayana, posisi komando terakhir yang dijabatnya dalam lingkup TNI, sebelum terjungkal akibat peristiwa 12 November 1991.
Mei 1998
Kerusuhan Mei 1998 mendapat perhatian khusus dari Sintong Panjaitan. Pada bab ini, ia menceritakan bagaimana keterlibatan serta peristiwa sebelum dan sesudah peralihan kekuasaan. Sebagai penasehat ‘militer’ Habibie, sebuah fungsi yang telah dijalaninya semenjak tahun 1994, ia banyak memberi masukan pada Habibie pada saat-saat peralihan. Ia yang mengusulkan pada Habibie, agar dapat memberikan pernyataan guna menenangkan masyarakat akibat kerusuhan 13 dan 14 Mei 1998.
Ia mempertanyakan sikap Jenderal Wiranto, yang saat itu menjadi Menhankam/Pangab, yang ‘meninggalkan’ Jakarta untuk menjadi inspektur upacara serah terima Pasukan Pemukul Reaksi Cepat (PPRC) di Malang pada tanggal 14 Mei 1998. Kepergian ke Malang diikuti oleh hampir petinggi ABRI. Sampai saat ini, tidak ada kejelasan mengapa hampir semua petinggi militer malah terkesan ‘cuek’ atas kerusuhan yang terjadi. Wiranto pun sering kali menghindar dan apabila terpaksa menanggapi masalah ini, terkesan ‘melempar’ tanggung jawab pada Pangdam Jaya.
Sintong mempertanyakan mengapa Inpres no. 16/1998 tentang pembentukan Komando Operasi Kewaspadaan dan Keselamatan Nasional (KOPKKN), sejenis Kopkamtib pada awal era orba, tidak dijalankan oleh Wiranto. Sintong berpendapat seharusnya Wiranto mundur dari jabatannya karena menolak menjalankan perintah dari Presiden selaku panglima tertinggi. Bagi Sintong, disiplin prajurit tidak dilaksanakan oleh Wiranto karena menolak perintah atasan dan sudah sepatutnya mundur.
Sintong juga mempertanyakan peran Prabowo pada masa peralihan tersebut. Mengapa ia tidak berusaha keras untuk membela Soeharto, yang notabene mertuanya? Padahal Ia punya ‘kekuatan’ untuk dapat tampil membela mertuanya. Akan tetapi justru, ia bergabung dengan ‘gerakan reformasi’, yang membuatnya dimusuhi oleh keluarga Cendana. Prabowo, melalui ‘antek’-nya: Mayjen Kivlan Zein (Kas Kostrad waktu itu) dan Mayjen Muchdi PR (Danjen Kopassus), merekayasa surat dari Jenderal Besar AH Nasution agar dijadikan KSAD. Prabowo mengetahui bahwa Habibie sangat hormat pada Pak Nas. Sintong mempertanyakan peran Mayjen Muchdi PR yang menurutnya janggal. Mengapa Danjen Kopassus mau menerima perintah dari Pangkostrad (Prabowo), padahal Kopassus dan Kostrad berkedudukan sejajar?
Sintong juga memberikan klarifikasi tentang pergantian jabatan Prabowo, dari Pangkostrad menjadi Dansesko ABRI. Putusan pergantian tersebut diputuskan oleh Habibie dan disampaikan langsung ke Wiranto. Klarifikasi ini dirasa perlu karena seolah-olah merupakan tindakan balas dendam Sintong karena pemecatan sebagai Pangdam Udayana akibat peristiwa 12 November 1991. Menurut Sintong, Mabes ABRI belum pernah menyampaikan laporan resmi tentang peristiwa 12 November 1991, namun Presiden sudah memberikan ‘hukuman’ terlebih dahulu. Dasar ‘hukuman’ tersebut berdasarkan laporan dari Prabowo dan Letkol Sjafrie Sjamsoeddin. Sjafrie Sjamsoedin, pada peristiwa 12 November 1991, menjabat sebagai Wadan Satgas Intel Kolakops Tim-Tim. Anehnya, Sjafrie berhasil lolos dari ‘hukuman’, sementara atasannya, Kolonel Binsar Aruan (Dan Satgas Intel Kolakops Tim-Tim) justru dicopot. Seharusnya Sjafrie juga ikut bertanggung jawab atas peristiwa tersebut.
Sintong mengeluhkan ‘sikap buruk’ Prabowo yang tidak sopan terhadap presiden. Prabowo datang menghadap Presiden dengan senjata lengkap pada tanggal 22 Mei sore hari. Sintong khawatir terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Oleh karena itu, ia melucuti senjata Prabowo. Selain itu, sikap Prabowo ‘menawar’ jabatan KSAD, tidak mencerminkan sikap seorang prajurit. Oleh karena itu, ia memastikan Prabowo dicopot dari jabatannya paling lambat sebelum matahari tenggelam. Jabatan Pangkostrad kemudian dikuasakan pada Mayjen Johny Lumintang, yang mencatat ‘rekor’ memegang jabatan tersebut ‘hanya’ enam jam!!
12 November 1991 versi Sintong
Sintong Panjaitan mulai menjabat Pangdam IX/Udayana sejak 12 Agustus 1988, dimana Tim-Tim merupakan salah satu daerah yang menjadi tanggung jawabnya. Pada awal masa jabatannya, ia mengubah sifat operasi militer di Tim-Tim dari operasi tempur ke operasi territorial, yang lebih murah. Peralihan sifat operasi militer ini membawa hasil keamanan yang kondusif, sekaligus menjadi awal malapetaka 12 November 1991. Pada tahun 1990, Tim-Tim dinyatakan wilayah ‘terbuka’ sama dengan wilayah lainnya. Keterbukaan ini dimanfaatkan oleh Parlemen Portugal untuk berkunjung ke Tim-Tim. Kunjungan ini direncanakan sekitar bulan Oktober - November1991.
Kunjungan tersebut akhirnya batal karena sikap ‘arogan’ Parlemen Portugis, yang tidak menghormati Indonesia serta Portugis ‘mengundang’ wartawan Internasional untuk bergabung dalam delegasi. Tidak sepantasnya Portugis berlaku seperti itu. Kunjungan ini akhirnya batal karena tidak mencapai titik temu dengan pihak Portugis.
Kunjungan delegasi Portugis sebenarnya akan dimanfaatkan oleh para pendukung kemerdekaan untuk unjuk gigi, namun niatan ini gagal. Pada tanggal 28 Oktober 1991, terjadi perkelahian antara pendukung pro-integrasi dengan pendukung kemerdekaan yang menyebabkan tewasnya pendukung dari kedua belah pihak. Prosesi penguburan pendukung kemerdekaan pada tanggal 12 November 1991 itulah pemicu terjadinya peristiwa Dili tersebut. Pada saat peristiwa tersebut, Sintong sedang mengikuti rapat di Akmil, Magelang dan keesokan harinya langsung terbang ke Dili dan mengambil alih komando militer yang ada.
Pemerintah membentuk Komis Penyelidik Nasional (KPN) untuk menyelidiki masalah ini. Sementara Mabes ABRI membentuk Dewan Kehormatan MIliter (DKM) sebagai counterpart. Pada tanggal 13 Januari 1992, KSAD mencopot 6 petinggi yang dianggap bertanggung jawab, termasuk Sintong Panjaitan.
Sintong mempertanyakan kinerja serta rekomendasi yang ternyata tidak pernah dilaporkan ke Presiden. Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, Presiden ‘bertindak’ terlebih dahulu berdasarkan laporan Prabowo dan Sjafrie Sjamsoeddin.
Coup d’etat Maret 1983
Tidak seperti Jenderal M. Jusuf yang berusaha menutupi peristiwa ini, Sintong Panjaitan justru malah membukanya. Jika pada buku biografi Jenderal Jusuf, hanya disebut tindakan seorang ‘perwira muda’ yang melemparkan isu adanya upaya kudeta oleh Benny Moerdani dkk, maka pada bukunya, Sintong menunjuk ‘hidung’. Secara terbuka, Ia menunjuk Prabowo sebagai pelempar isu tersebut.
Prabowo berniat menculik Benny Moerdani dkk yang diisukan akan melakukan kudeta. Asumsi Prabowo adalah Benny Moerdani ‘memasukkan’ senjata canggih ke Indonesia. Padahal persenjataan tersebut akan disalurkan ke pejuang Mujahidin Afganistan. Senjata-senjata tersebut merupakan ‘bantuan’ Indonesia, yang dibeli dari Israel dan Taiwan. ‘Bantuan’ ini juga sebelumnya telah diberikan pada pemerintah Kamboja untuk memerangi Khmer Merah serta Laos. Sintong memandang cara Prabowo mirip dengan cara Letkol Untung para Jenderal korban G30S. Tuduhan tersebut tidak terbukti.
Dampak dari peristiwa ini adalah Prabowo seolah ‘dendam’ pada semua orang yang tidak berpihak kepadanya, termasuk Sintong.
Penculikan Mahasiswa 1998
Menanggapi masalah penculikan mahasiswa tahun 1998, Sintong sangat menyayangkan tindakan yang ambil oleh Prabowo. Ia boleh mengambil tindakan apabila dirasa mengancam keamanan, namun harus dilaporkan pada atasan dalam hal ini KSAD dan Pangab. Prabowo tidak pernah melaporkan tindakan ini, sebagaimana pengakuannya pada Dewan Kehormatan Perwira (DKP).
Tim penculik yang bersandi ‘mawar’ berasal dari detasemen 81. Sebagai pendiri detasemen 81, Sintong merasa terpukul akan kenyataan ini. Ia merasa Prabowo ‘mengorbankan’ Mayor Bambang Kristiono selaku pimpinan tim mawar. Pada persidangan di mahkamah militer, tidak pernah terungkap siapa dalang yang memerintahkan tim mawar ini. Ia tahu persis, bahwa tidak mungkin tim mawar bertindak tanpa ada komando dari atas.
Satu hal menarik dari penulis, beberapa korban penculikan tim mawar ini malah bergabung dan menjadi caleg dari partai-nya Prabowo: Gerindra. Ah.. di dalam politik, tidak ada ‘musuh’ atau ‘teman’ sejati… yang ada kepentingan pragmatis…. Wahai bung-bung korban penculikan, dimana ‘air liur’ cacianmu dulu? Apakah kau telan lagi air liur itu?...

Salam…

PAMTAS: SIPADAN – LIGITAN

Mahkamah Internasional (International Court of Justice atau ICJ) pada tanggal 17 Desember 2002 memutuskan Malaysia adalah pemilik sah Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Dari 18 juri, 17 juri menyatakan pulau-pulau tersebut dimiliki Malaysia, sementara 1 juri menyatakan pulau-pulau tersebut milik Indonesia. Keputusan ini tentu menjadi tamparan keras kita akan ketidak seriusan dalam mengurusi daerah perbatasan. Menurut press release ICJ, dalam persidangan-persidangan yang dilakukan, para juri menolak menggunakan materi hukum yang disampaikan oleh kedua negara. Kaidah pembuktian yang digunakan adalah ‘continuous presence, effective occupation, maintenance and ecology preservation’. Dengan penggunaan materi tersebut, dapat dimengerti mengapa para juri memenangkan Malaysia. Faktanya, Malaysia telah membangun beberapa prasarana pariwisata di pulau-pulau tersebut. Inilah bukti ketidak seriusan Indonesia dalam mengelolanya (1).
Proses Sengketa
Kasus Sipadan-Ligitan ini muncul pada tahun 1969, dimana tim teknis landas kontinen kedua negara membicarakan batas dasar laut kedua negara. Pada peta Malaysia, pada waktu itu, kedua pulau tersebut tertera sebagai bagian wilayah Indonesia. Konyolnya, pada lampiran Perpu no. 4/1960 yang menjadi pedoman tim teknis Indonesia, kedua pulau tersebut tidak tertera. Dengan temuan tersebut, Indonesia merasa berkepentingan untuk mengukuhkan Sipadan-Ligitan. Malaysia, yang menyadari kelalaian Indonesia, langsung mengklaim dua pulau tersebut dengan sejumlah alasan, dalil hukum dan fakta. Karena tidak menemui titik temu, maka kedua pulau tersebut diberi status quo. Pada tahun 1989, kedua pulau ini kembali dibicarakan oleh kedua pimpinan negara: Presiden Soeharto dan PM Mahatir Muhamad.
Pada tahun 1992, kedua negara sepakat menyelesaikan masalah ini secara bilateral yang diawali dengan pertemuan pejabat tinggi kedua negara. Hasil pertemuan pejabat tinggi menyepakati dibentuknya Komisi Bersama (Joint Commission atau JC) dan Kelompok Kerja (Joint Working Group atau JWG). Serangkaian pertemuan JC dan JWG tidak membawa hasil. Pada tahun 1997, disepakati bahwa sengketa ini dibawa ke ICJ. ICJ resmi bersidang sejak 2 November 1998. Kedua negara memiliki kewajiban untuk menyampaikan posisi nya melalui ‘Written Pleading’ kepada ICJ pada tanggal 2 November 1999, diikuti dengan ‘Counter Memorial’ pada tanggal 2 Agustus 2000 dan ‘reply’ pada tangal 2 Maret 2001. Proses selanjutnya adalah ‘Oral Hearing’ dari kedua negara bersengketa pada tanggal 3 sampai dengan 12 Juni 2002. Untuk menghadapi dan menyiapkan materi tersebut, Indonesia membentuk satgas khusus yang terdir dari beberapa institusi: Deplu, Depdagri, Dephan, Mabes TNI, Departemen ESDM, Dishidros TNI AL, Bupati Nunukan, beberapa pakar kelautan dan hukum laut internasional. Dirjen Pol Deplu dan Dubes RI di Belanda ditunjuk sebagai LO di ICJ serta menunjuk Tim Penasehat Hukum Internasional. Total anggaran untuk melakukan persidangan ini adalah Rp 16 M (1).
Lesson Learn
Ketika Indonesia memutuskan jajak pendapat di Tim-Tim, banyak kalangan memperkirakan hasilnya seri antara pro-integrasi dengan pro-kemerdekaan. Namun kenyataan berkehendak lain, sebanyak kurang lebih 76,5 % penduduk Tim-Tim lebih memilih merdeka. Demikian pula dengan kasus Sipadan-Ligitan, banyak pengamat memperkirakan Indonesia menang tipis, atau paling tidak Pulau Sipadan menjadi milik Indonesia. Namun kenyataannya berkata lain, Indonesia kalah telak. Dari dua kasus ini, diduga ada pihak ‘ketiga’ yang bermain dan merugikan Indonesia.
Materi ‘continuous presence, effective occupation, maintenance and ecology preservation’ memberikan citra ‘buruk’ Indonesia dalam mengelola kawasan terluarnya. Apalagi dengan tidak adanya keseriusan dalam pengelolaan daerah perbatasan.
Beberapa pulau yang berapa di perbatasan Indonesia ‘diminati’ oleh beberapa negara tetangga. Pulau Nipah ‘diminati’ oleh Singapura. Pulau Rondo ‘diminati’ oleh India, Pulau Miangas sudah mulai dicoba diklaim oleh Philippina. Negara-negara tersebut besar kemungkinan menggunakan materi ’continuous presence & effective occupation’ yang sukses diterapkan oleh Malaysia, untuk dapat ‘merampok’ pulau-pulau tersebut dari Indonesia.
Antisipasi
Pembangunan infrastruktur menjadi agenda utama dalam pembenahan daerah perbatasan. Perlu segera dikeluarkan PP sebagai bentuk aplikasi dari UU no. 43/2008 agar dapat segera dirancang konsep pemberdayaan daerah perbatasan. Posisi penduduk harus dijadikan subyek pembangunan. Pembangunan infrastruktur juga harus ditunjang dengan pembangunan IPOLEKSOSBUD HANKAM.
Perlu pemetaan berkala sebagai bagian dari penegasan batas wilayah negara. Hal ini perlu untuk menjaga pertahanan serta pembangunan yang berkesinambungan. Perlu pelibatan aktif Bakosurtanal, Dittopad dan Janhidros-AL, yang selama ini menjadi ujung tombak pemetaan kawasan nasional.
Pendirian markas dan pangkalan pertahanan TNI pada wilayah sepanjang perbatasan, dimana hal ini menjadi bukti eksistensi Indonesia.
Pemberian subsidi serta kebijakan ekonomi khusus untuk masyarakat, termasuk aparat yang bertugas pada wilayah perbatasan. Dengan adanya subsidi ini, paling tidak dapat menggerakkan perekonomian masyarakat setempat.

Salam…

PAMTAS: ‘TUKANG PETA’

Ada tiga lembaga di Indonesia yang bertugas melakukan survey dan pemetaan wilayah nasional. Berikut profil lembaga-lembaga tersebut:
BAKOSURTANAL
Kegiatan survei dan pemetaan dilakukan resmi oleh pemerintah Indonesia sejak adanya PP no.71/1951 tentang pembentukan Dewan dan Direktorium Pengukuran dan Penggambaran Peta. Hal ini diperkuat dengan Keppres no. 263/1965 tentang pembentukan Dewan Survei dan Pemetaan Nasional (DESURTANAL) dan Komando Survei dan Pemetaan Nasional (KOSURTANAL). DESURTANAL bertugas melakukan pemetaan dengan inventarisasi sumber-sumber daya alam, sementara KOSURTANAL berfungsi sebagai pengkoordinasi kegiatan pemetaan nasional. Karena kebutuhan mendesak untuk penyusunan atlas nasional, maka dibentuk Badan Atlas Nasional dengan keputusan Presidium Kabinet Kerja no: Aa/D/37/1964.
Meletusnya G30S membuat pemerintah mengabaikan proyek atlas nasional. Selain itu juga, DESURTANAL dan KOSURTANAL ‘mati suri’. Setelah peralihan pemerintahan, pada tanggal 17 Oktober 1969, melalui Keppres no. 83/1969 dibentuk Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL). Dengan terbentuknya badan ini, dua badan lain melebur di dalamnya.
Melalui Keppres no 87/1998, dinyatakan bahwa Bakosurtanal adalah Lembaga Pemerintah non-departemen yang bertanggung jawab kepada Presiden, serta dalam kesehariannya berkoordinasi dengan Menristek.
DITTOPAD
Cikal bakal Direktorat Topografi TNI AD (DITTOPAD) adalah kantor ‘Sokuryo Kyoku’ milik tentara Jepang yang diambil alih oleh para pemuda pada tanggal 28 September 1945 dan kemudian menjadi salah satu badan di Kementrian Kehakiman. Pada tanggal 26 April 1946, badan ini diserahkan pada Kementrian Pertahanan. Tanggal ini selanjutnya menjadi hari jadi Topografi TNI AD.
Kembalinya Belanda, yang membonceng Inggris pada masa perang kemerdekaan, juga mendirikan dinas topografi (Top Dienst KNIL) di Jakarta. Seiring dengan pengakuan kedaulatan Indonesia tahun 1950, Inspektorat Topografi milik Indonesia digabungkan dengan Dinas Topografi KNIL (Top Dienst KNIL)
Bekerja sama dengan Australia, DITTOPAD melakukan pemetaan wilayah di Kalbar, Sumatera, Irian Jaya, Maluku dan pulau-pulau di sebelah barat dan timur Sumatera. Sejak 1989, DITTOPAD telah mampu melaksanakan pemetaan secara mandiri dan telah 78% wilayah nasional telah dipetakan.
Tugas utama DITTOPAD adalah membina dan menyelenggarakan penyediaan dan penyajian informasi geografi/medan dalam bentuk peta topografi data dan analisis medan sebagai pendukung tugas TNI AD.
Satu hal yang perlu disimak, ayah tiri Barack Obama: Lolo Soetoro, pernah menjadi perwira DITTOPAD dan mendapat beasiswa untuk meraih Master di Hawaii University. Ketika menempuh pendidikan Master inilah bertemu dengan Ann Dunham, ibu kandung Obama, yang juga menempuh pendidikan di tempat yang sama.
JANHIDROSAL
Jawatan Hidro-Osenografi TNI AL (JANHIDROSAL) adalah salah satu kotama fungsional di TNI AL yang memiliki tanggung jawab terhadap pemetaan navigasi laut Indonesia, dan merupakan satu-satunya institusi yang memiliki tanggung jawab tersebut. Jawatan ini pertama kali dibentuk tahun 1961 untuk dapat melakukan pemetaan laut untuk keperluan militer dan sipil. Dengan semboyan Jala Citra Praja Yodha – Petakan Laut Nusantara untuk kejayaan, menjadikan institusi ini diakui secara internasional. Organisasi Hidro-Oseanografi Internasional (International Hydrographic Organization atau IHO) dan Organisasi Maritim Internasional (International Maritime Organization atau IMO) hanya mengakui peta navigasi laut Indonesia yang dibuat oleh JANHIDROSAL.
Sebagai negara kepulauan, seharusnya JANHIDROS memiliki banyak awak untuk dapat memetakan wilayah Indonesia. Namun kenyataannya, kondisi anggaran TNI tidak dapat memenuhi bagaimana idealnya sebuah institusi hidro-oseanografi. Di samping itu, perlu dibangun budaya organisasi kelas dunia, karena JANHIDROSAL merupakan institusi yang diakui di tingkat dunia.
Hasil survey pemetaan navigasi laut ini banyak digunakan oleh berbagai institusi, khususnya pemerintahan. Pihak militer yang berkepentingan dengan peta navigasi laut ini adalah Dephan, Mabes TNI, TNI AD dan TNI AL. Peta ‘militer’ yang dihasilkan: peta peperangan laut, peta layer untuk kapal selam, peta operasi gabungan, peta pendaratan amfibi, peta ruang pertahanan dan lain sebagainya.
Terkait dengan Sea Lines of Communications (SLOCs), Jawatan ini menyediakan peta laut dan publikasi nautis, yang wajib dimiliki kapal yang berlayar di wilayah Indonesia. JANHIDROSAL sedang menyelesaikan peta navigasi elektronik yang meliputi 3 Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI). Penyelesaian peta navigasi elektronik wilayah Indonesia harus segera diselesaikan karena IMO telah mencanangkan penggunaan ‘Electronic Navigational Chart’ (peta navigasi elektronik) per tanggal 1 Juli 2010.
Deplu merupakan pengguna peta dari JANHIDROSAL demi kepentingan diplomasi perbatasan. Peta yang dibuat, diakui keabsahannya oleh PBB. Depdagri menggunakan peta JANHIDROSAL untuk penetapan batas wilayah administrative pemerintahan. DKP dan Kementrian KLH menggunakan peta navigasi laut untuk ‘maritime security and marine environmental protection’. BPPT menggunakan peta navigasi untuk kepentingan riset dan pengembangan teknologi kelautan.

Salam…

PAMTAS: UU NO 48/2008

UU ini lahir karena adanya keinginan untuk menegakkan hukum secara tegas atas kedaulatan wilayah sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945. Pengaturan wilayah negara yang dimaksud oleh UU no.48/2008 adalah wilayah daratan atau kontinen, perairan pedalaman, perairan kepulauan, laut territorial beserta dasar laut dan tanah di dalamnya, serta ruang udara yang berada di atas, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
UU ini mengatur tentang wilayah yurisdiksi, dimana wilayah tersebut merupakan wilayah di luar wilayah negara yang terdiri atas ZEE, landas kontinen dan zona tambahan, dimana negara memiliki hak kedaulatan dan kewenangan sesuai hukum internasional.
ZEE Indonesia adalah area di luar dan berdampingan dengan laut territorial Indonesia dengan batas terluar 200 mil laut dari garis pangkal dari lebar laut territorial diukur.
Landas kontinen Indonesia meliputi dasar laut dan tanah di bawahnya dari area di bawah permukaan laut yang terletak di luar laut territorial, sepanjang kelanjutan alamiah wilayah daratan hingga pinggiran luar tepi kontinen, atau hingga suatu jarak 200 mil laut dari garis pangkal dari lebar laut territorial diukur, dalam hal pinggiran luar tepi kontinen tidak mencapai jarak tersebut, hingga paling jauh 350 mil laut sampai dengan jarak 100 mil laut dari garis kedalaman 2500 m.
Zona tambahan Indonesia adalah zona yang lebarnya tidak lebih 24 mil laut yang diukut dari garis pangkal dari lebar laut territorial diukur.
Batas wilayah negara diatur juga dalam UU ini. Yang dimaksud batas wilayah negara adalah pemisah kedaulatan suatu negara yang didasarkan atas hukum internasional. Untuk mengelola kawasan perbatasan, dibentuklah suatu badan pengelola tingkat nasional dan daerah. Badan ini bertanggung jawab kepada Presiden atau Kepala Daerah setempat. Badan ini bertanggung jawab atas konsep serta administratif pembangunan kawasan tersebut.
Perlu diatur perjanjian perbatasan darat dan laut dengan negara-negara tetangga. Untuk batas wilayah darat, Indonesia harus mengatur perjanjian perbatasan dengan Malaysia, Papua Nugini dan Timor Leste. Untuk perbatasan wilayah laut, Indonesia harus mengadakan perjanjian kesepakatan dengan Malaysia, Papua Nugini, Singapura dan Timor Leste.
Pelibatan masyarakat dalam menjaga dan membangun kawasan perbatasan juga disinggung dalam UU ini.

Salam…

PAMTAS: TERAS INDONESIA

Daerah perbatasan Indonesia selama ini kurang mendapat perhatian lebih dari pemerintah. Hal ini diakibatkan pandangan sentralistik pembangunan, sejak jaman orla sampai jaman pemerintah era reformasi saat ini. Daerah perbatasan dianggap sebagai daerah ‘halaman belakang’ (backyard) Indonesia, sehingga tidak heran bahwa pembangunan di daerah-daerah perbatasan sangat tertinggal.
Peristiwa ‘hilang’-nya Sipadan-Ligitan merupakan tamparan keras bagi kita bahwa kita harus mulai memperhatikan daerah-daerah perbatasan. Kita harus belajar dari pengalaman ini dan mulai menjadikan daerah perbatasan sebagai ‘teras’.
Kesenjangan di Daerah Perbatasan
Kurangnya perhatian dari pemerintah atas daerah perbatasan menyebabkan adanya kesenjangan ekonomi yang semakin tajam dengan negara tetangga. Hal ini terjadi pada daerah-daerah yang berbatasan dengan Malaysia, Filipina dan Singapura. Sebagai contoh adalah perbatasan Indonesia dengan Malaysia. Di sepanjang daerah kontinental perbatasan dengan Malaysia, dapat dilihat perbedaan mencolok antara masyarakat yang tinggal di daerah perbatasan. Akses serta infrastruktur yang bagus, yang disediakan Malaysia, sangat kontras dengan akses serta infrastruktur yang dibangun oleh Indonesia. Malaysia menyadari potensi ekonomi di beberapa daerah perbatasannya sangat tinggi, terutama untuk sektor minyak dan gas. Oleh karena itu, perlu adanya pertahanan yang kuat untuk menjaga aset bangsa. Pembentukan Askar Wataniah serta Maritime Enforcement Agency (MEA) merupakan bentuk ‘keseriusan’ Malaysia dalam menjaga daerah perbatasan. Askar Wataniah merekrut warga perbatasan untuk menjadi tentara penjaga perbatasan. Secara diam-diam banyak juga WNI yang bergabung dengan pasukan ini. MEA merupakan pasukan ‘coast guard’ yang baru dibentuk sekitar tahun 2007 untuk memperkuat pertahanan di laut Malaysia.
Kesenjangan ekonomi serta terbatasnya ‘kekuatan’ Indonesia dalam menjaga perbatasan, membuat semakin marak illegal fishing, illegal logging, illegal labor serta berbagai penyelundupan lainya. Daerah Nunukan, Tahuna, Batam, dan Dumai merupakan daerah-daerah yang ‘terkenal’ sebagai daerah rawan penyeleundupan. Hal ini sudah barang tentu hilangnya potensi devisa Indonesia.
Keterbatasan infrastruktur dan sarana wilayah merupakan poin penting yang selama ini terlupakan, sehingga relatif terisolir dan diberi status ‘daerah tertinggal’.
Tidak Serius
Pemerintah Indonesia tidak serius menggarap masalah daerah perbatasan. Setelah lebih setengah abad baru mengeluarkan Keppres no. 44/1994 tentang Badan Pengendalian Pembangunan Kawasan Perbatasan, yang diketuai oleh Menhankam. Tahun 1997 dikeluarkan Peraturan Pemerintah no. 47/1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), yang menetapkan kawasan-kawasan andalan termasuk diantaranya adalah daerah perbatasan.
Kedua aturan tersebut mandul. Keppres no. 44/1994 tidak menghasilkan sesuatu apapun bagi pembangunan kawasan perbatasan, bahkan tidak memiliki konsep sama sekali. Ditengarai penerbitan Keppres tersebut justru digunakan sebagai ‘legalisir’ kelompok-kelompok tertentu untuk mengeksploitasi sumber daya alam di daerah perbatasan. PP no. 47/1997 hanya sebatas PP semata dan tidak ada tindak lanjut dengan aturan-aturan yang lebih operasional. PP ini seolah tenggelam dengan gegap gempita reformasi yang terjadi pada tahun tersebut.
Bentuk ketidak seriusan pemerintah adalah tidak adanya koordinasi antar instansi dalam penanganan daerah perbatasan. Hampir semua instansi merasa mempunyai wewenang dan tanggung jawab mengelola daerah perbatasan.
Setelah 10 tahun lebih tidak ada kejelasan aturan dalam penanganan daerah perbatasan, keluarlah UU no. 43/2008 tentang Wilayah Negara. UU tersebut pada intinya mengatur batas-batas Indonesia dengan negara lain, pembentukan lembaga nasional dan daerah yang mengatur masalah kebijakan serta adminstratif masalah wilayah negara serta peran serta masyarakat dalam pengembangan kawasan perbatasan. UU ini lahir ditengah gegap gempita pemilu serta ‘kejar setoran’ DPR untuk memenuhi target Prolegnas 2008. UU ini juga masih mengatur garis besarnya saja. Perlu ada tindak lanjut untuk membuat juknis agar dapat dilaksanakan. Penulis khawatir, dengan adanya pemilu berkepanjangan ini akan membuat pemerintah lupa untuk membuat PP sebagai bentuk juknis dari UU tersebut.

Salam…

Rabu, Maret 18, 2009

PIRACY IN THE STRAIT OF MALACCA

Kasus bajak laut di Selat Malaka merupakan kasus yang sukar diberantas. Meskipun telah mengerah kekuatan AL dari 3 negara untuk mengawasi selat sepanjang 900 km (setara dengan 550 mil), tetap saja kasus-kasus pembajakan terjadi. Selat ini ‘mengundang’ bajak laut karena merupakan jalur perdagangan ‘paling sibuk’. Selat Malaka merupakan satu rangkaian penting dalam jalur perdagangan modern, di samping Terusan Suez, pelabuhan-pelabuhan minyak di Teluk Persia, pelabuhan Singapura, Hong Kong, Taiwan, Pusan dan Tokyo. Dengan banyaknya pulau-pulau kecil serta hilir sungai, menjadi Selat Malaka merupakan lokasi ideal untuk bersembunyi dan menyergap kapal dagang.
Dilihat dari sejarah, kasus pembajakan di Selat Malaka bukan sebagai ‘way of life’ akan tetapi sebagai alat politik. Pada abad 14, seorang pangeran asal Kerajaan Sriwijaya: Parameswara dengan bantuan Suku Orang Laut berhasil menguasai Semenanjung Malaka berikut dengan Selatnya dan mendirikan Kesultanan Malaka. Kesultanan ini memainkan peran penting dari abad 15 sampai dengan abad 19 di kawasan Asia Tenggara. Para penjajah dari Eropa: Portugis, Belanda dan Inggris, berusaha untuk mendekati pihak kesultanan dan mencoba mengambil untung dari kedekatan dengan sultan. Dengan adanya ‘jalur rempah-rempah’ (Spicy Road) dan ‘jalur sutra’ (Silk Road) membuat kondisi pembajakan di laut semakin marak.
Pada tahun 1830, kawasan Asia Tenggara dikuasai oleh Inggris dan Belanda. Kedua negara tersebut sepakat untuk memberantas bajak laut serta membuat garis demarkasi yang membatasi kedua daerah koloni. Perjanjian tersebut dikenal dengan nama: Anglo-Dutch Treaty. Garis demarkasi ini masih dipakai oleh Indonesia dan Malaysia sebagai batas kedua negara tersebut.
Now
International Maritime Bureau (IMB) mencatat bahwa kejahatan bajak laut di Selat Malaka merupakan kejahatan laut yang menonjol dengan memberikan kontribusi 40% (110 kasus) dari total kejahatan bajak laut dunia di tahun 2004. Dari 40% tersebut, kawasan Indonesia memberikan ‘kontribusi’ terbanyak terjadinya pembajakan dengan 93 kasus, sementara Malaysia dengan 9 kasus dan Singapura dengan 8 kasus. Menurut IMB, mayoritas bajak laut merupakan WNI. Hal ini terjadi karena AL Indonesia ‘lemah’ dalam menjaga wilayahnya, mengingat lemah dalam persenjataan.
IMB membagi bajak laut ‘modern’ dalam tiga kelompok: kelompok bajak laut yang mencari keuntungan. Kelompok bajak laut yang terkait dengan sindikat kriminal dan kelompok bajak laut ‘terrorist’ yang memiliki motivasi politik tertentu. Kelompok bajak laut yang mencari keuntungan, biasanya mencari target yang mudah dengan cara merampok kapal dan mengambil harta benda ABK. Kelompok bajak laut yang terkait dengan sindikat kriminal, biasanya melakukan operasi dengan penuh perencanaan serta didukung dengan kemampuan, koordinasi serta dana yang kuat. Kelompok ini biasanya mencuri kargo dan menyandera ABK untuk ditukar dengan ransum makanan. Kelompok bajak laut ‘terrorist’ melakukan upaya serupa dengan kelompok ‘kriminal’, namun tujuan membajak kapal lebih pada upaya mencari dana untuk kegiatan ‘terrorist’-nya.
Pada tahun 2004, tiga negara: Indonesia, Malaysia dan Singapura melakukan kerja sama patrol AL di Selat Malaka. Tujuan patrol ini adalah untuk mencegah dan mengurangi kasus bajak laut. Untuk ke depan, Singapura berniat untuk mengundang ‘kekuatan’ internasional untuk membantu dalam pengamanan kawasan ini. Ide ini ditentang oleh Indonesia dan Malaysia.
Pada tahun 2006, AL dan ‘coast guard’ India memberikan bantuan pengamanan dengan memberikan bantuan ‘kekuatan’ kapal perang serta membangun pangkalan UAV di kepulauan Andaman dan Nicobar.

Salam…

PIRACY: IN MODERN AGE

Pada jaman modern ini, istilah ‘piracy’ dibedakan atas dua medium: ‘seaborne piracy’ untuk pembajakan di laut dan ‘airborne piracy’ untuk pembajakan pasawat udara. Istilah ini digunakan untuk membedakan jenis pembajakan serta tindakan yang diambil untuk mengatasinya.
Seaborne piracy atau pembajakan di laut telah menjadi isu internasional. Diperkirakan setiap tahunnya 13 sampai 16 Milyar Dollar AS hilang akibat pembajakan di laut. Adapun kawasan pembajakan di laut yang angker pada saat ini adalah Samudera India, sekitar pesisir pantai Somalia, Selat Malaka dan Perairan Singapura. Selat Malaka dan Perairan Singapura memiliki nilai penting dan dijaga oleh banyak negara timur jauh, selain Indonesia, Malaysia dan Singapura, sebagai penjaga utama. Diperkirakan lebih 50 ribu kapal dagang melewati Selat Malaka.
Aspek Hukum
Bajak laut menjadi catatan tersendiri dalam perkembangan hukum internasional. Tindakan kejahatan bajak laut diusahakan menjadi konsep universal yang diterima oleh semua negara dan menjadi sebuah kejahatan kemanusiaan (hostis humani generis).
Kebanyakan kejahatan bajak laut terjadi di luar teritori suatu negara, sehingga menyulitkan dilakukan penerapan hukum suatu negara. Hanya negara asal kapal bajak laut tersebut yang dapat memberikan hukuman atas tindakan kriminal yang telah dilakukan (extra territorium jus dicenti impune no paretur)
Hukum Laut internasional atau The United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) merupakan hukum laut pengganti dari konsep ‘Freedom of the Sea’ yang diberlakukan semenjak abad 17. Di awal abad 20, beberapa negara berkepentingan untuk memperluas klaim wilayah negaranya. Beberapa isu terkait dengan klaim ini adalah perlindungan atas sumber daya mineral, melindungi nelayan dan melindungi dari polusi, baik polusi air, laut dan udara. Pasca Perang Dunia II, banyak negara berlomba-lomba memproteksi wilyahnya. AS memperluas kontrol atas sumber daya alam selain wilayah kontinental. Antara tahun 1946 sampai 1950, Argentina, Chile, Peru dan Ecuador mengklaim hak atas 200 mil laut. Beberapa negara lain mengklaim hak atas 12 mil laut wilayahnya.
Pada tahun 1967, 25 negara masih menggunakan batas 3 mil laut dari garis pantai sebagai batas wilayah negaranya. 66 negara menggunakan batas 12 mil laut sebagai batas negara dan 8 negara menggunakan batas 200 mil laut sebagai batas negara. Indonesia melalui UU no 43 tahun 2008 menggunakan batas 200 mil laut sebagai klaim atas wilayah Indonesia (1).
Menurut UNCLOS tahun 1982 artikel 101, ‘maritime piracy’ didefinisikan sebagai:
Tindakan illegal dengan kekerasan atau menahan atau tindakan merusak, yang dilakukan oleh ABK atau penumpang dari sebuah kapal laut atau pesawat terbang ‘swasta’, dan dilakukan:
-Pada laut lepas, baik terhadap kapal laut maupun pesawat terbang, atau terhadap orang dan property yang ada pada kapal laut ataupun pesawat terbang.
-Melawan sebuah kapal laut, pesawat terbang dan property pada suatu tempat di luar wilayah hukum suatu negara.
Melakukan tindakan partisipasi dalam suatu operasi (militer) atas suatu kapal atau sebuah pesawat, yang menyebabkan terjadinya sebuah tindakan pembajakan.
Tindakan apapun yang sejenis dengan apa yang telah disebutkan pada point sebelumnya.
Kehidupan Bajak Laut
Dalam beberapa cerita klasik, digambarkan bajak laut sebagai pemberontak, cerdas secara tim dan tidak birokratif. Selalu digambarkan dengan bendera Jolly Roger yang terkenal dan dikibarkan ketika akan melakukan pembajakan.
Pada kenyataannya, para bajak laut hidup dalam kemiskinan dan mati muda. Meskipun demikian, mereka mengembangkan sistem demokrasi secara terbatas. Kapten kapal dan kepala logistik (Quartermaster) dipilih dari ABK yang ada. kapten kapal merupakan orang yang jago ‘tempur’ dan dapat dipercaya. Kepala logistik, pada saat tidak ada ‘pertempuran’, dapat dianggap sebagai pemimpin kapal kedua setelah kapten kapal.
Hasil jarahan sebagai bajak laut kebanyakan adalah makanan, air, miras, senjata, atau pakaian. Hal lain yang mereka curi adalah barang rumahan seperti sabun. Tidak seperti dalam cerita klasik, mereka tidak pernah menguburkan hasil jarahannya.
Para bajak laut mengembangkan sistem hierarki pada sistem pembagian hasil jarahan. 50% dari hasil jarahan dikuasai oleh kapten kapal. Sisanya dibagi untuk ABK ‘first mate’, ‘ship master’ (navigator, tukang kayu, boatswain dan penembak), dan ‘plank owner’ (para pemilik saham kapal bajakan).
Para bajak laut beroperasi di negara-negara berkembang, dimana hanya memiliki kekuatan AL yang lemah dan berdekatan dengan jalur perdagangan. Pada akhir Perang Dingin, organisasi bajak laut semakin berkembang, karena keterbatasan anggaran AL serta meningkatnya perdagangan. Bajak laut modern sering kali terhubung dengan sindikat kriminal dan beroperasi dalam kelompok-kelompok ‘kecil’. Bajak laut terdiri ‘tim penyerang’ (4 sampai 10 bajak laut) dan ‘tim pendukung’ (sekitar 70 bajak laut)
In the Next
Seperti telah diungkapkan sebelumnya, pembajakan di laut telah menghilangkan sekitar 13 sampai 16 Milyar Dollar AS per tahun. Pantai sekitar Somalia menjadi salah satu ‘hot spot’ yang sudah sangat mengkhawatirkan dan mengganggu jalur perdagangan yang melewati area tersebut.
Contoh kasus yang masih hangat adalah pembajakan MV Faina yang terjadi pada tanggal 25 September 2008. Kapal roro yang mengangkut persenjataan untuk Pemerintah Kenya, diserang oleh sekitar 50 bajak laut Somalia. Para pembajak ini menyebut dirinya ‘Central Regional Coast Guard’, membajak kapal tersebut dan meminta uang tebusan. Setelah 5 bulan disandera, kapal tersebut dibebaskan pada tanggal 5 Februari 2009 dengan tebusan sebesar 3,2 Juta Dollar AS. Pada pembajakan ini, terlihat pembajak sudah menggunakan peralatan dan senjata modern seperti hand-phone satelit, speedboat, assault rifles, shotgun, pistol, mounted machine gun, RPG dan grenade launcher.
Untuk mengatasi masalah bajak laut di wilayah pantai Somalia, dibentuk Combined Task Force 150 (CTF-150). CTF-150 merupakan koalisi multinasional satgas AL dari beberapa negara dengan basis di Djibouti. Negara-negara yang turut berpartisipasi dalam satgas ini: AS, Inggris, Kanada, Denmark, Perancis, Jerman, Pakistan, Australia, Italia, Belanda, Selandia Baru, Portugal, Spanyol dan Turki. Bagi AS, operasi ini merupakan bagian dari Operation Enduring Freedom – Horn of Africa (OEF-HOA). Sementara Uni Eropa melakukan koordinasi antar negara anggotanya untuk tergabung dalam satgas ‘Operation Atalanta’.
Di Selat Malaka, International Maritime Bureau (IMB) melaporkan semakin meningkatnya serangan bajak laut yang terjadi. Menurut catatan, dari 251 kejadian, 70 kejadian terjadi di perairan Indonesia. Kapal tanker minyak dan gas menjadi sasaran paling popular dengan 67 kali serangan. Dengan semakin meningkatnya serangan bajak laut di Selat Malaka, diduga negara-negara yang memiliki kepentingan dengan Selat Malaka seperti Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Australia dan Cina, telah mengirimkan ‘tim bayangan’ untuk mengawal kapal-kapal dagang mereka. Apalagi sebagian dari negara tersebut memiliki doktrin pertahanan 1000 mil laut. Krisis ekonomi yang terjadi saat ini akan mendorong semakin maraknya kasus bajak laut di Selat Malaka. Apabila tidak dapat diatasi oleh AL dari tiga negara: Indonesia, Malaysia dan Singapura, bukan mustahil akan mengundang negara-negara yang selama ini hanya mengirimkan ‘tim bayangan’, mengirimkan kekuatan tempurnya ke Selat Malaka.

Salam…

PIRACY: CORSAIR

Corsair adalah privateer Perancis yang berasal dari pelabuhan St Malo dan berlokasi di pantai utara semenanjung Brittany. Para corsair mendapat reputasi sebagai ‘swashbuckler’, yaitu jago pedang yang tangguh, suka membuat rebut (noisy) dan sombong (boastful), membuat istilah corsair merupakan kata lain yang lebih romantik atau flamboyan untuk kata privateer atau pirate. Bajak laut dari Afrika Utara sering kali disebut ‘Turkish Corsair’.
Istilah ‘Corsair’ berasal dari surat tugas dari Raja Perancis: ‘Lettre de Course’ (‘racing letter’ berarti surat penugasan ‘berkompetisi’). Race atau la course, merupakan bentuk efimis dari upaya ‘menghancurkan’ atau ‘membajak’ kapal dagang lain. Corsair diperintahkan untuk menyerang kapal-kapal dari negara-negara ‘musuh’ Perancis serta memberi pajak pada Perancis. Apabila tidak memberikan pajak, maka kapal tersebut dapat diserang, meskipun dari negara ‘netral’.
Para Corsair dimanfaatkan oleh kementerian AL Perancis untuk mendapatkan uang. Aktifitas Corsair ini melemahkan musuh-musuh Perancis. Salah satu negara yang menderita adalah Inggris, dimana mengalami kerugian besar dari tahun 1688 sampai 1717.
Hubungan antara Corsair dengan negara tergantung pada siap pemimpin armada Corsair tersebut. Kelihaian pemimpin armada Corsair menentukan seberapa besar ‘pendapatan’ dari hasil pembajakan. Semakin lama, Perancis semakin mendikte dan mengontrol ‘pendapatan’ para Corsair. Akibatnya jumlah Corsair semakin lama semakin berkurang dan secara resmi dinyatakan dilarang pada pertemuan di Paris tahun 1856, yang dihadiri oleh negara-negara ‘super power’ pada waktu itu: Austria, Inggris, Rusia, Prussia, Perancis, Portugis, Swedia, Denmark, Belanda, dan Swiss.
Menurut catatan sejarah, kegiatan pembajakan para Corsair ini telah dimulai semenjak abad pertengahan. Tujuan mereka adalah untuk pemenuhi kebutuhan ekonomi yang sulit pada waktu itu. Catatan Jean de Chatillon, seorang pendeta di St Malo di tahun 1144, menyebutkan bahwa St Malo merupakan daerah ‘tak bertuan’ dan banyak dihuni oleh para pencuri dan penjahat. Motto mereka ‘Neither Breton, nor French, but from Saint Malo am I’. Kota Saint Malo berkembang menjadi pelabuhan komersial yang penuh aktifitas perdagangan.

Salam…

PIRACY: BUCCANEER

Kata Buccaneer berasal dari bahasa Arawak ‘Buccan’, yang berarti wadah kayu tempat pengasapan daging. Istilah ini berasal dari kebiasaan pelaut yang ada di kawasan Karibia, dimana mereka membawa daging asap sebagai makanan dalam pelayarannya. Kata tersebut kemudian diartikan dalam bahasa Perancis: ‘boucan’ dan julukan untuk pemburu daging untuk diasapkan di daerah Hispaniola (Sekarang Haiti dan Republik Dominika) adalah ‘boucanier’. Istilah tersebut dialih bahasakan ke bahasa Inggris: ‘buccaneer’. Istilah ‘buccaneer’ kemudian meluas dan menjadi sinonim untuk ‘pirate’.
Yang menjadi pembeda dengan ‘pirate’ adalah memiliki armada kapal besar dan hanya beroperasi di kawasan Karibia saja. Mereka lebih fokus penyerangan pada koloni-koloni dan kapal-kapal dagang Spanyol, Perancis dan Belanda.
Budaya Buccaneer
Selama seratus tahun sebelumn revolusi Perancis, kapal-kapal buccaneer berlayar secara bebas, setara dan penuh persaudaraan di bawah satu aturan, meskipun hanya berlaku untuk ABK kulit putih. Pada kapal buccaneer, nakhoda dipilih dari ABK yang ada. ABK yang menentukan jalur perjalanan dan kapal apa saja yang akan diserang.
Hasil ‘rampok’ dibagi atas 5 atau 6 bagian. ABK biasanya tidak memiliki sistem penggajian regular, yang diistilahkan ‘no purchase, no pay’. Para buccaneer memiliki ‘esprit de corps’ yang kuat. Bagi yang terluka pada ‘pertempuran’, disediakan semacam asuransi yang dapat membantu mereka untuk sembuh.
Terkadang mereka membebaskan budak kulit putih, apabila ditemukan pada kapal yang diserang dan menjual kembali budak kulit berwarna.
Buccaneer dari daerah Tortuga, suatu daerah di Karibia, ‘hidup’ dengan pasangan sejenis, dimana hubungan ini disebut ‘matelotage’ dan orang-orang yang menjalin hubungan ‘matelotage’ disebut ‘matelots’. Matelot berbagi tempat tidur, property, makanan dan hal-hal lain.
Aksi
Buccaneer biasanya menggunakan kapal kecil untuk menyerang orang-orang Spanyol. Penyerangan biasanya dilakukan pada malam hari. Buccaneer memiliki kemampuan menembak jitu dan mampu menembak cepat. Buccaneer memiliki reputasi sebagai ‘cruel pirates’ dengan membunuh secara kejam ‘korban’, meskipun ‘korban’ sudah lemah atau terluka.
Ketika buccaneer menyerang kota, mereka tidak melakukan secara frontal seperti AL pada umumnya. Mereka melakukan penyerangan secara diam-diam, dan melakukan serangan mendadak dan cepat.

Salam…

PIRACY: PRIVATEER

Privateer adalah kapal ‘swasta’ yang diberi kewenangan sebagai ‘kapal perang’ oleh suatu negara dan bertindak atas nama negara untuk menyerang kapal lain. Privateering adalah bentuk dukungan ‘swasta’ dalam peperangan dengan bangsa lain. Namun terkadang terjadi kerancuan, dimana tidak bisa dibedakan antara tindakan privateering dengan bajak laut, ketika menyerang kapal dagang pada saat damai atau kapal tersebut dari negara ‘netral’.
Privateer merupakan suatu bagian dari ‘Naval Warfare’ yang terjadi pada abad 16 sampai 19, dimana hampir semua negara yang memiliki kekuatan AL memberikan ‘pengakuan’ atas kapal-kapal ‘swasta’ tersebut. Ini merupakan kerja sama simbiosis mutualis, dimana negara dapat bantuan untuk melakukan penyerangan atas kapal-kapal dagang negara lain, sementara kapal-kapal privateer ini mendapatkan harta rampasan dari kapal dagang yang dibajaknya.
Aksi
Inggris pada akhir abad 16, merupakan inisiator awal pengguna privateering. Pada masa itu, kapal-kapal dagang Inggris berlayar ke kawasan Karibia untuk menjual budak dari Afrika Barat. Pemerintah koloni Spanyol melarang penjualan manusia tersebut dan sempat menangkap kapal milik Sir Francis Drake dan Sir John Hawkins. Pemerintah Inggris marah atas penangkapan kapal tersebut, namun tidak dapat berbuat banyak karena kekuatan Inggris di laut pada masa itu ‘lemah’. Muncul ide untuk menggunakan kapal-kapal swasta sebagai ‘kapal perang’ dan mereka berhak menyerang kapal-kapal negara ‘musuh’ Inggris dan bertindak atas nama pemerintah Inggris. Ide ini cukup sukses dan membuat Inggris dapat ‘berkompetisi’ dengan Spanyol dan sedikit demi sedikit mengurangi pengaruh Spanyol di benua Amerika.
Pada Perang Anglo-Dutch Pertama, Privateer Inggris menyerang dan menangkap 1000 kapal privateer Belanda. Spanyol membantu Belanda dengan menyerang kapal-kapal privateer Inggris. Aksi saling serang antar Inggris dan Belanda dengan menggunakan privateer, terjadi juga pada Perang Anglo-Dutch kedua dan ketiga.
Inggris mulai tidak menggunakan kekuatan privateer semenjak pertengahan abad 19, dimana kekuatan AL Inggris sudah sangat kuat dan ditakuti oleh negara lain. Antara tahun 1785 sampai dengan tahun 1823, telah dibuat beberapa perjanjian unilateral maupun bilateral untuk mengurangi bajak laut, termasuk privateer.
Negara ‘kuat’ yang terakhir menggunakan privateer adalah Prusia pada Perang Franco-Prusia tahun 1870.

Salam…

PIRACY: IN THE BEGINNING

Kasus – kasus pembajakan sudah berlangsung lama, semenjak manusia menggunakan laut sebagai jalur perdagangan. Dari sejarah tercatat pada sekitar abad 13 SM, Sea Peoples menguasai daerah Aegian dan Mediterania. Dalam cerita klasik, Kaum Illyrians, Tyrrhenians dan Thracians dikenal sebagai kaum bajak laut. Pada abad 1 SM, tercatat bajak laut menguasai Pantai Anatolian dan mengancam perdagangan kerajaan Romawi.
Pada awal tahun 258 M, Kelompok Gothic-Herulic menyerang kota-kota di sepanjang Laut Hitam dan Laut Marmara. Pada tahun 264 M, Kelompok Gothic berhasil mencapai Galatia, Cappadocia, Cyprus dan Pulau Kreta.
Abad Pertengahan sampai Abad 19
Pada abad pertengahan bangsa Viking terkenal sebagai bangsa bajak laut. Mereka menyerang hampir semua daerah di kawasan Eropa Barat. Bangsa Viking juga menyerang daerah Utara Afrika dan Italia. Penjelahan mereka sampai ke Laut Baltik, sungai-sungai di kawasan Eropa Timur sampai ke Laut Hitam.
Sementara itu, Bajak Laut Arab menguasai laut Mediterania sekitar akhir abad 9 M. mereka menguasai daerah sampai daerah Selatan Perancis dan Utara Italia. Pada tahun 846, Bajak Laut Arab menyerang Roma dan menghancurkan Vatikan. Pada tahun 911, Uskup Narbonne tidak dapat pulang ke Perancis karena Kaum Bajak Laut Arab memblokade jalur pegunungan Alpen, yang merupakan jalur ke Perancis dari Italia. Kaum Bajak Laut Arab mengontrol kekuasaannya dari kepulauan Balearic, gugusan kepulauan di selatan Spanyol sekarang, mulai abad 10 M. Dari tahun 824 sampai 961, mereka menyerang pulau Kreta sebagai upaya menguasai seluruh kawasan laut Mediterania.
Bangsa Slav menyerang dan menguasai semenanjung Balkan pada abad 5 dan 6 M. mereka juga melakukan penyerangan pada daerah-daerah sekita Laut Adriatik. Pada tahun 642, mereka menyerang daerah Italia Selatan (kota Benevento).
AL Kota Venesia melakukan upaya penaklukan para bajak laut di kawasan Laut Adriatik dari tahun 827 sampai dengan 882. Mereka berhasil ‘menaklukan’ para bajak laut bangsa Slav dengan cara membaptis mereka ke agama Kristen. Sempat memberontak pada tahun 834 sampai 835, namun berhasil ditumpas. Secara sporadic, mereka masih melakukan perlawanan. Pada tahun 870, mereka menculik Uskup Constantinople.
Setelah Kaum Bajak Laut Arab menyerang daerah pesisir Laut Adriatik sekitar tahun 872, Bangsa Slav memperkuat kekuatan lautnya. Hal ini menyebabkan konflik baru berlangsung hingga sekitar abad 10 sampai 11 M.
Pada tahun 937, suku Irlandia bersama suku Skotlandia, Viking, suku Pict dan suku Wales menginvasi Inggris. Pada saat bersamaan, Viking memperkuat kekuasaannya di wilayah Eropa Barat dan berhasil mengusir Bangsa Slav. Bangsa Slav berhasil diusir dari Laut Baltik pada tahun 1168, dimana ditaklukan oleh Suku Rani dari Denmark. Sampai dengan tahun 1440, kawasan di Laut Utara dan Baltik tidak aman karena dikuasai bajak laut.
Di kawasan samudera India, sejak abad 14 dikuasai oleh Kesultanan Bahmani dan Kerajaan Vijayanagara. Kedua kerajaan tersebut berada di kawasan Deccan, sebelah selatan India. Mereka memegang peran penting dalam jalur perdagangan dari Persia dan Afrika. Hal ini mengundang bajak laut dari kawasan barat India untuk mengganggu jalur perdagangan tersebut.
Selama abad 16 dan 17, sering kali Bajak Laut asal Eropa menyerang kapal-kapal dari Mughal, terutama yang akan melakukan perjalanan haji ke Mekah. Situasi ini memanas ketika Portugis menyerang kapal dari Mughal ‘Rahimi’.
Pada abad 18, kerajaan Maratha menguasai kawasan laut antara Mumbai sampai dengan Goa. Dibawah pimpinan Privateer Maratha Kanhoji Angre, mereka berhasil menyerang kapal Inggris milik East India Company dan diharuskan membayar pajak bila berlayar melewati daerah tersebut.
Pada abad 19, kawasan pantai selatan Teluk Persia dijuluki ‘Pantai Bajak Laut’ (Pirate Coast) karena bajak lautnya terkenal ganas. Pada tahun 1819, Inggris melakukan ekspedisi untuk membasmi para bajak laut di kota Ras al-Khaimah.
Di kawasan Timur Jauh, sejak abad 13, Suku Wokou yang berbasis di Jepang, menguasai perairan di kawasan Asia Timur selama lebih dari 300 tahun.
Di kawasan Asia Tenggara, para pelaut Mongol dari suku Kanton dan Hokkian, yang sebelumnya ikut dalam upaya penaklukan pulau Jawa, deserter dan menjadi bajak laut. Mereka menguasai jalur perdagangan laut Sumatera dan Jawa. Mereka eksis karena merekrut orang Sumatera dan Jawa untuk menjadi anak buah mereka. Puncak keemasan armada bajak laut Cina adalah pada jaman dinasti Qing di awal abad 19. Dengan meningkatnya perdagangan Cina, khususnya di Fujian dan Guangdong, mendorong semakin kuatnya bajak laut Cina. Pada tahun 1802, dibentuk konfederasi bajak laut yang dipimpin oleh captain Zheng Yi dan istrinya Zheng Yi Sao. Pada tahun 1804, konfederasi tersebut beranggotakan 10 ribu bajak laut dan sangat menakutkan AL Dinasti Qing.
Di Nusantara, pelaut Bugis terkenal sebagai bajak laut yang menguasai daerah hingga Singapura ( ke arah barat) dan Philippina (ke arah utara). Suku Orang Laut merupakan penguasa selat Malaka dan perairan sekitar Singapura. Suku Melayu dan Dayak Laut menguasai jalur antara Singapura dan Hong Kong.
Di kawasan utara benua Afrika, bajak laut menguasai kota-kota pelabuhan seperti Tunis, Tripoli, Algiers, Sale dan beberapa pelabuhan di Maroko. Beberapa desa di pinggiran pantai dan kota di Italia, Spanyol dan kepulauan Mediterania seringkali diserang oleh bajak laut dari Afrika Utara. Sekitar tahun 1600, mereka berhasil melewati samudera Atlantik dan mendarat di Islandia. Menurut sejarah, 1 sampai 1,25 juta orang Eropa ditangkap oleh Bajak Laut ini dan dijual sebagai budak di kawasan Afrika Utara dan Kerajaan Ottoman. Penjualan budak ini berlangsung antara abad 16 sampai dengan abad 19. Beberapa bajak laut terkenal: Hayreddin dan kakaknya Barbarossa (Redbeard), Turgut Reis alias Dragut, Kurtoglu atau Curtogoli, Kemal Reis, Salih Reis, dan Koca Murat Reis.
Di kawasan Karibia, era keemasan bajak laut berlangsung dari sekitar tahun 1560 sampai pertengahan 1720-an. Puncak keemasan terjadi sekitar tahun 1700 sampai dengan 1730-an. Banyak bajak laut datang ke kawasan Karibia setelah Perang ‘Spanish Succession’, perang menentang penggabungan kerajaan Perancis dan Spanyol oleh beberapa negara Eropa. Selain itu, para Buccaneer yang datang pada pertengahan abad 17 ke kawasan tersebut menambah semarak dunia bajak laut. Kawasan Karibia merupakan ajang konflik perebutan kekuasaan antar negara Eropa yang memiliki daerah koloni di sana. Beberapa negara yang memiliki kolni di kawasan Karibia: Inggris, Spanyol, Belanda, Portugis dan Perancis. Kelompok bajak laut yang beroperasi di kawasan tersebut kebanyak berasal dari Inggris, Belanda, dan Perancis. Karena penguasa koloni terbesar di kawasan Karibia adalah Spanyol, maka kapal-kapal dagang Spanyol paling banyak diserang oleh para pembajak.

Salam…

Jumat, Maret 06, 2009

MERCENARY: THE INVICIBLE MAN – 4

Timothy Simon Spicer atau dikenal dengan nama Tim Spicer adalah salah satu ‘pemain’ tangguh dalam bisnis PMC. Ia pernah berkiprah di AD Inggris pada kesatuan Scots Guards, dengan pangkat terakhir letkol. Spicer pernah terlibat dalam perang Malvinas tahun 1982, bertugas di Irlandia Utara dan Bosnia.
Lahir tahun 1952 di kota Aldershot, Inggris. Spicer mengikuti jejak ayahnya masuk ke AD Inggris dengan memasuki Sandhurst dan bergabung dengan Scots Guards. Pernah mencoba untuk melamar menjadi prajurit SAS, namun gagal pada tahap awal.
Spicer menjadi sosok kontroversial ketika bertugas di Irlandia Utara pada tahun 1992. Pasukan Scots Guards yang dipimpinnya terlibat kasus penembakan seorang remaja simpatisan Tentara Perlawanan Irlandia Utara (IRA), Peter McBride. McBride diketahui tidak bersenjata dan tidak melakukan tindakan mengancam pada saat penembakan. Penembakan ini membuat murka para pentolan IRA dan menjadi pasukan Scots Guards sebagai sasaran tembak. Untuk menghindari pembalasan dari IRA, maka otoritas militer Inggris menarik pasukan Spicer dari penugasannya di Irlandia Utara.
Membangun bisnis
Pada tahun 1994, Spicer keluar dari dinas ketentaraan dan terjun ke bisnis PMC. Ia mendirikan Sandline International, dan menawarkan jasa pelatihan militer, bantuan operasional tempur (kelengkapan dan pengadaan senjata serta bantuan militer terbatas), pengumpulan data intel, dan jasa kehumasan untuk pemerintah dan korporasi.
Sandline membuat sensasi pada tahun 1997. Mendapatkan sub-kontrak dari Executive Outcomes (EO) untuk membantu Pemerintah Papua Nugini (PNG) memerangi kelompok pemberontak di Pulau Bougenville. Ternyata yang disebut pemberontak itu adalah pemilik perusahaan pertambangan Panguna Cooper Mines (PCM), Francis Ona, serta karyawan perusahaan tersebut. Mereka adalah penduduk asli pulau tersebut. Alasan Pemerintah PNG untuk memerangi PCM karena terbujuk rayuan ‘gombal’ perusahaan tambang Australia, CRA. CRA, melalui tangan pemerintah PNG, telah berusaha memerangi PCM sejak tahun 1987 namun gagal. Akhirnya pemerintah PNG memberikan kontrak membasmi pemberontak pada EO, yang kemudian di-sub-kontrak ke Sandline. Bantuan operasi militer ini gagal, karena adanya kecemburuan sosial atas kesejahteraan antara tentara PNG dengan para mercenary. Ketidak puasan ini mendorong adanya pemberontakan tentara PNG atas pemerintahnya. Atas pengaruh pemerintah Inggris, pasukan Sandline berhasil dipulangkan dari PNG.
Sensai lain yang dibuat adalah skandal penjualan senjata ke Sierra Leone pada tahun 1998. Pada saat itu, Sierra Leone terkena embargo senjata dari PBB. Presiden terguling Sierra Leone, Ahmad Kabbah, melalui banker India, Rakesh Saxena, membuat kontrak untuk pengadaan senjata serta pelatihan milisi guna menggulingkan Presiden hasil kudeta, Mayor Johnny Paul. Imbalan pengadaan dan pelatihan ini adalah konsesi pertambangan berlian dan mineral senilai 10 juta dolar AS. Skandal ini terbongkar dan membuat malu pemerintah Inggris, karena Pemerintah Inggris, melalui British FCO, mengetahui kegiatan Spicer dan Sandline namun menutup mata atas kegiatan tersebut. Akibatnya, pemerintah Inggris dituduh turut campur dalam upaya penggulingan pemerintahan Sierra Leone hasil kudeta.
Di akhir tahun 1999, Spicer meninggalkan Sandline dan membentuk perusahaan baru ‘Crisis and Risk Management Ltd’ (CRM). Sandline sendiri akhirnya membubarkan diri pada tahun 2004. Pada tahun 2001, CRM berubah nama menjadi ‘Strategic Consulting International’ dan juga membentuk ‘Trident Maritime’, sebuah PMC yang memiliki spesialisasi pada anti pembajakan laut.
Pada tahun 2003, ia mendirikan ‘Aegis Defense Service’ dan duduk sebagai CEO. Aegis ini diperkuat oleh para mantan petinggi militer Inggris seperti Marsekal Lord Inge dan Jenderal Sir Roger Wheeler, keduanya mantan pangab Inggris. Pada tahun 2004, Aegis mendapat kontrak dari pemerintah AS senilai 293 milyar dolar AS selama tiga tahun, untuk berbagai ‘tenaga lepas’ jasa pengamanan yang diberikan, termasuk jasa pengumpulan data intel untuk AD AS. Total ‘tenaga lepas’ Aegis di Irak adalah 900 operator dengan berbagai tugas.
Tahun 2005, ia mendapatkan penghargaan dari PBB atas keterlibatan dalam pelaksanaan pemili di Irak.
Ia memiliki ambisi pengembangan proyek ‘rahasia’ di Rusia dan Cina.

Salam…

MERCENARY: THE INVICIBLE MAN – 3

Nama Letkol Eeben Barlow tidak dapat dianggap sebelah mata di industri ‘pertahanan’ ini. Ia pernah menjadi Wadanyon Recon Wing 32, yang merupakan pasukan elit pada masa apartheid – South African Defense Force (SADF). Pernah aktif di satuan intel militer Civil Cooperation Bureau (CCB) (semacam satuan Sandi Yudha-nya Kopassus).
Lahir di Zambia, Barlow kecil mulai menempuh pendidikan di Francistown, Botswana. Ia pindah ke Afrika Selatan pada pertengahan tahun 60-an. Setelah lolos matrikulasi pada tahun 1972, Barlow bergabung dengan SADF dan menjadi perwira korps zeni. Ia menjadi danki zeni pada Yonif 53 dan Yonif 54 di kawasan operasi Afrika Barat Daya. Barlow kemudian direkrut pasukan khusus SADF dan bergabung dengan Yon 32 di Angola. Penugasan Yon 32 di Angola ini adalah upaya dukungan atas kelompok pemberontak UNITA. Kelompok pemberontak ini juga didanai oleh AS. Keberhasilannya dalam penugasa di Angola, mengantarnya masuk ke satgas intel militer CCB.
Pada pertengahan tahun 80-an, sebagian besar penduduk Afrika Selatan menjadi pengungsi di negara-negara sekitar: Botswana, Mozambik, Swaziland, Malawi, Zimbabwe dan Zambia. Banyak di antara para pengungsi menerima tawaran pelatihan militer di Uni Sovyet. Perekrutan oleh Uni Sovyet ini dipantau secara intensif oleh Pemerintah Kulit Putih Afrika Selatan. Sebagai anggota satuan intel militer, Barlow mendapatkan tugas untuk melakukan infiltasi dan penetrasi elemen subversif. Dengan kegiatan ini, ia mendapatkan data intel tentang aktivitas para pengungsi yang direkrut Uni Sovyet serta rencana-rencananya.
Pada tahun 1989, Barlow mendirikan ‘Executive Outcomes’ (EO). Proyek awal EO adalah memberikan pelatihan militer pada pasukan khusus SADF, terutama pada operasi sandi yudha dan pengumpulan data intel. Ia juga mendapatkan kontrak untuk melatih satuan pengamanan ‘Debswana’ yang merupakan bagian dari perusahaan tambang berlian ‘De Beers’, untuk melakukan infiltrasi dan penetrasi perdagangan gelap berlian.
Pada tahun 1993, EO dikontrak untuk melakukan pengamanan untuk perusahaan ‘Ranger Oil’ di wilayah utara Angola. EO terbukti mampu ‘menundukkan’ kelompok pemberontak UNITA, yang justru sebelumnya sempat dibantu oleh Barlow. Keberhasilan ini berbuah kontrak untuk membantu pelatihan serta bertindak sebagai penasehat militer bagi Angkatan Bersenjata Angola (FAA). Berkat Barlow dan pasukan EO, FAA dapat menghancurkan kelompok pemberontak UNITA.
Kiprah lain Barlow dan EO adalah ‘membantu’ pemerintah Sierra Leone membasmi kelompok pemberontak ‘RUF’, membantu Kopassus dalam insiden Mapenduma, Irian Jaya tahun 1996 (baca ulasan ini pada bagian lain dalam rangkaian seri tulisan ‘mercenary’). Kiprahnya untuk ‘membantu’ Pemerintah Afrika Selatan, membuat Barlow disegani.

Salam…

MERCENARY: THE INVICIBLE MAN – 2

Archibald David Stirling atau dikenal sebagai David Stirling, merupakan Bapak Pasukan Khusus Dunia, dimana ia merintis British Special Air Service yang menjadi model bagi pendirian pasukan khusus di seluruh dunia. Lahir dari sebuah keluarga ningrat, ia mendapat pendidikan yang sangat baik (ia lulusan Trinity College, Cambridge). Figur atletis dan sangat jangkung (tinggi 1,98 m) sangat mendukung penampilannya sebagai seorang tentara.
Striling menjadi perwira pada kesatuan Scots Guards pasca kelulusan dari universitas, dimana ia dilantik pada tahun 1937. Pada tahun 1940, bergabung dengan pasukan komando no.8 dibawah pimpinan Letkol Robert Laycock. Keikut sertaan dalam pasukan inilah yang membuat ia mencetuskan ide pasukan khusus. Ide pasukan khususnya adalah sebuah pasukan ‘kecil’ yang dilatih secara khusus, yang mampu menghancurkan musuh dengan efek kerusakan besar dan mempunyai unsur ‘kejutan’ kepada musuh.
Ide tentang pasukan khusus ia lontarkan melalui atasan, namun tidak mendapatkan respon. Tidak puas dengan hal tersebut, Stirling berusaha untuk menemui Komandan tertinggi pasukannya di Kairo, Mesir saat ini, untuk mengemukakan ide tersebut. Ia berhasil menemui Deputi Komandan Timur Tengah: Jenderal Ritchi dan menjelaskan rencananya tersebut. Jenderal Ritchi terkesan dengan rencana tersebut, kemudian ia merekomendasikan kepada Komandan Timur Tengah: Jenderal Claude Auchinleck. Oleh Jenderal Auchinleck, Stirling diberikan tugas untuk membentuk unit pasukan khusus dengan nama ‘L Detachment, Special Air Service Brigade’.
Setelah mencoba beberapa eksperimen, tim ‘eksperimen’-nya ‘Long Range Desert Group’ (LRDG) sukses merebut beberapa posisi musuh. Meskipun sukses, Stirling sempat tertangkap oleh pasukan Jerman pada Januari 1943. Ia berhasil kabur dari tahanan Jerman. Selama 15 bulan sebelum Stirling ditangkap Jerman, SAS berhasil menghancurkan lebih dari 250 pesawat tempur, lokasi logistik, jalan, merusak jalur komunikasi kereta api, serta merusak ratusan kendaraan musuh.
Khawatir Inggris akan kehilangan ‘pengaruh’ setelah Perang Dunia II, Striling mengkoordinasikan penjualan senjata serta bantuan militer ke negara lain, seperti Saudi Arabia. ‘usaha’ ini dinamai ‘Watchguard International Ltd’. Ia diduga terlibat dalam upaya penggulingan Kolonel Gaddafi dari tampuk pimpinan Libya yang gagal di tahun 1970/71. Ia juga pendiri dari KAS International, sebuah ‘private military company’.
Stirling kemudian mendapat gelar bangsawan di tahun 1990, dimana di tahun itu juga ia meninggal.

Salam…

MERCENARY: THE INVICIBLE MAN – 1

Erik D Prince atau biasa disebut Erik Prince adalah CEO dan Blackwater Worldwide, dimana private military company ini mendapatkan proyek ‘terbesar’ untuk jasa pengamanan dari AS di Irak sejak tahun 2003.
Erik Prince lahir dari keluarga kaya, dimana ayahnya adalah pemilik usaha spare-part mobil, pada tanggal 6 Juni 1969 di Michigan. Kakak iparnya adalah Dick DeVos, salah satu penerus MLM kelas dunia Amway. Pada usia 17 tahun, ia mendapatkan lisensi pilot serta lulus dari SMA. Ia meneruskan pendidikan ke Akademi Angkatan Laut AS (USNA), namun hanya dilakoni selama tiga semester saja. Prince meneruskan pendidikan dan lulus dari Hillsdale College di tahun 1992. Selama kuliah di Hillsdale, ia sempat menjadi tenaga sukarela pemadam kebakaran dan menjadi sopir pada kantor Sheriff setempat.
Ia sempat magang di Gedung Putih selama pemerintahan George Bush Senior. Magang dengan Senator Republik asal California: Dana Rohrabacker. Sempat menjadi tenaga sukarela untuk kampanye calon presiden: Pat Buchanan.
Setelah lulus, Prince mendapat kesempatan untuk kembali ke AL AS. Ia lulus masuk Setukpa AL AS (OCS). Dari situ, Prince mendapatkan kesempatan untuk menjadi personel pasukan elit AL AS: US Navy SEALs. Selama menjadi anggota Seals, ia mendapat penugasan ke Haiti, Timur-Tengah, kawasan Mediterania termasuk Bosnia.
Ketika ayahnya meninggal di tahun 1995, Prince memutuskan berhenti dari AL AS. Bersama keluarganya, Ia menjual perusahaan yang selama ini dikelola oleh Ayahnya sebesar USD 1,3 Triliun. Ia kemudian pindah ke daerah Pantai Virginia dan memodali pendirian Blackwater Worldwide di tahun 1997. Ia membeli tanah seluas 6000 ha di Great Dismal Swamp, North Carolina dan membangun sebuah sekolah pasukan khusus berikut dengan fasilitas penunjang latihan pembentukan pasukan khusus. Kedekatan dengan keluarga Bush, ditengarai sebagai ‘kunci sukses’ dalam mendapatkan berbagai kontrak ‘jasa pengamanan’ di Irak.
Pada tanggal 13 Februari 2009, Blackwater berganti nama menjadi Xe Worldwide. Nama ‘Xe’ merefleksikan perubahan fokus kerja perusahaan dari bisnis jasa pengamanan. Perubahan besar juga terjadi pada susunan direksi Xe. Prince mengumumkan pengunduran dirinya sebagai CEO per 2 Maret 2009. Meskipun tidak lagi terlibat dalam operasional sehari-hari, Prince akan menjadi ketua dewan komisaris. Pimpinan direksi akan diserahkan pada Joseph Yorio, yang sebelumnya adalah Wakil Presiden Direktur DHL. Tampaknya jabatan ini diserahkan pada orang yang mengerti akan bisnis PMC. Joseph Yorio adalah mantan perwira pasukan khusus AD AS. Untuk jabatan baru Chief Operating Officer dan Executive Vice President diserahkan pada ‘orang dalam’: Danielle Esposito. Seorang wanita berusia 32 tahun yang mengembangkan karirnya selama sepuluh tahun di lingkungan Xe (1)
Xe Worldwide saat ini adalah salah satu PMC yang mendapatkan kontrak terbesar dari Deplu AS. Dari 987 kontraktor yang dimiliki oleh Xe, 744 diantaranya adalah warga negara AS. Dari pendapatan perusahaan, 90 persen didapat dari kontrak dengan pemerintah. Kontrak dari pemerintah itu, dua per tiga di antaranya berdasarkan penunjukan langsung.
Dengan kebijakan dari Presiden Obama, dimana secara perlahan-lahan menarik pasukan dari Irak serta memberikan kekuasaan keamanan dalam negeri kepada pemerintah Irak. Pemerintah Irak telah menolak aplikasi Blackwater (pada waktu itu) untuk mendapatkan lisensi operasi di bulan Januari 2009. Pemerintah Irak mengumumkan bahwa Blackwater harus keluar dari Irak, apabila komite bersama Irak-AS telah menyelesaikan draft juklak dan juknis tentang keberadaan PMC. Pemerintah Irak menolak memperpanjang ijin Blackwater, karena citranya yang buruk di mata masyarakat Irak. Pada tanggal 31 Januari 2009, Deplu AS menyatakan mereka tidak memperpanjang kontrak dengan Blackwater. Diduga, penolakan pemerintah Irak untuk memberikan lisensi serta tidak mendapatkan kontrak dari Deplu AS, yang memicu perubahan nama dari Blackwater ke Xe.

Salam…

MERCENARY: THE BIG PLAYER – 3

DynCorp International awalnya adalah dua perusahaan yang dibentuk pada tahun 1946: California Eastern Airways, berfokus pada bisnis angkutan udara dan Land-Air Inc, berfokus pada pemeliharaan pesawat. Pada tahun 1948, California Eastern Airways bangkut dan asetnya diambil alih oleh Air-Land Inc. Saat ini bermarkas di Falls Church, Virginia dan Fort Worth, Texas.
Dengan berbasiskan kekuatan udara, DynCorp merupakan salah satu PMC terbesar, dimana 96% pendapatannya (Total USD 2 Milyar) berasal dari pemerintah AS.
DynCorp dapat ditelusuri jejaknya bersama keberadaan militer AS dalam beberapa peperangan, seperti Bolivia, Bosnia, Somalia, Angola, Haiti, Colombia, Kosovo dan Kuwait. Di Afghanistan, DynCorp menyediakan pengawalan bagi Presiden Hamid Karzai. DynCorp juga memberikan pelatihan bagi polisi Afghanistan dan Irak.
Untuk ‘service’ bagi negara di luar AS, mereka memberikan pelatihan militer, perang anti-narkotika, transportasi udara, misi pengintaian, SAR, evakuasi medis udara, perawatan pesawat tempur
Armada
Armada yang dimiliki oleh DynCorp adalah helicopter tempur (UH-1H Iroquois, Bell 212 Huey dan T-65 thrush), sejumlah pesawat tempur, oil spill response vessels, flagship, Global Fleet Sales dan Bus.
Kontroversi
Pada awal tahun 1990, AS mengundang keterlibatan PMC untuk membantu Tentara Kolombia dalam memerangi kartel narkoba. DynCorp mendapatkan kontrak senilai USD 1,2 Juta tersebut dan ikut memerangi kartel tersebut. Namun keberadaanya di Kolombia banyak dikritik karena arogan dan sering sekali bertempur jika dibandingkan dengan Tentara Kolombia.
Di Irak, DynCorp terlibat dalam ‘korupsi’ dan kontak senjata yang tak perlu. Audit pemerintah AS atas berbagai proyek yang dikerjakan DynCorp menunjukkan ketidak becusan DynCorp, seperti pembangunan kolam renang ukuran olimpiade pada markas polisi Irak dan pelatihan militer bagi Polisi Irak. Melakukan kontak senjata dan membunuh seorang supir taksi yang tidak bersenjata.
3 operator DynCorp terbunuh di Jalur Gaza dalam tugas pengawalan diplomat AS.
Pada perang Bosnia, beberapa oknum operator DynCorp terlibat dalam perdagangan manusia serta perdagangan seks. Kasus ini mendorong Dephan AS untuk membuat proposal pelarangan keterlibatan PMC dalam perdagangan manusia untuk pelacuran dan perbudakan.

Salam…

MERCENARY: THE BIG PLAYER – 2

Blackwater Worldwide atau sekarang dikenal sebagai Xe Worldwide adalah salah satu PMC yang tangguh. Didirikan pada tahun 1997 oleh para mantan anggota US Navy SEALs: Erik Prince dan Al Clark. Al Clark sendiri keluar dari Blackwater tahun 2000, dan mendirikan PMC sendiri: Special Tactical Systems.
Berlokasi di dekat Fort Bragg, Negara bagian North Carolina, AS, XE mengoperasikan sebuah fasilitas pelatihan taktik militer, yang diklaim sebagai tempat pelatihan militer terbesar di dunia. Setiap tahunnya, Xe melatih lebih dari 40.000 orang. Sebagian peserta latihan tersebut berasal dari militer AS, militer asing dan kepolisian.
Xe Worldwide saat ini merupakan salah satu PMC yang mendapat kontrak terbesar dari Deplu AS pasca invasi AS ke Irak. Lebih dari 90% pendapatannya didapat dari proyek pemerintah AS. Proyek pemerintah AS yang diberikan pada Xe, lebih banyak diberikan melaui penunjukan langsung. Hal ini terjadi karena kuatnya lobi ke pemerintahan Bush, dimana sang pemilik, Erik Prince telah merintis hubungan dengan Bush Senior dan terus dilanjutkan ke Bush Junior, ketika menjadi Presiden AS.
Perubahan fokus pemerintahan AS atas Irak dan penolakan pemerintahan Irak untuk memberikan lisensi operasi, diduga mendorong Xe melakukan perubahan besar-besaran. Dimulai dengan perubahan nama dari Blackwater Worldwide menjadi Xe Worldwide pada tanggal 13 Februari 2009, disusul dengan perubahan top manajemen. Sang pemilik, Erik Prince, meninggalkan kursi CEO dan menjadi ketua dewan komisaris. Gary Jackson, yang selama ini menjadi President Director juga keluar dari jajaran direksi. Kursi top manajemen Xe diberikan pada Joseph Yorio, mantan Vice President DHL, yang selanjutnya menjadi Presdir Xe dan Danielle Esposito, ‘orang dalam’ Xe yang telah berkarir lebih dari 10 tahun, yang selanjutnya menjadi Chief Operating Officer dan Executive Vice President. Penunjukan ini dipandang tepat, karena keduanya memiliki ‘sense of war’s business’. Joseph Yorio adalah mantan perwira pada pasukan khusus AD AS (USASF), yang juga mempunyai business skill yang teruji di DHL. Danielle Esposito, seorang wanita berusia 32 tahun dan merintis karir dari bawah di lingkungan Xe.
Kiprah di Irak
Pada tahun 2003, Blackwater memperoleh kontrak senilai USD 21 Juta melalui penunjukkan langsung pemerintah AS, untuk mengawal Ketua Otoritas Irak: Paul Bremer.
Pada tanggal 31 Maret 2004, 4 operator Blackwater diserang dan terbunuh di Fallujah. Kejadian ini merupakan salah satu pemicu pertempuran Fallujah pertama. Blackwater terkesan lepas tangan atas gugurnya 4 operator mereka.
Pada Bulan April 2004, menindak lanjut peristiwa gugur beberapa operator di Fallujah, tim kecil Blackwater bersama USMC menahan lebih dari 400 orang yang diduga terlibat dalam penyerangan tersebut.
Sejak Juni 2004, Blackwater menerima bayaran lebih dari USD 320 juta dari USD 1 milyar, yang merupakan budget Deplu AS untuk jasa pengamanan diplomat AS di wilayah konflik, termasuk Irak.
Pada tahun 2006, Blackwater memenangkan kontrak jasa pengamanan diplomat AS di Irak, dimana jumlah diplomat AS di Irak merupakan jumlah terbanyak diplomat AS yang ditugaskan pada suatu tempat.
Pada tanggal 16 September 2007, operator Blackwater membunuh 17 penduduk Irak, dimana 14 orang diantaranya ditembak tanpa sebab.
Pada November 2008, Deplu AS mengeluarkan ijin pada Blackwater untuk dapat mengapalkan ratusan senjata otomatis bernilai milyaran dollar ke Irak. Ijin ini diduga disalah gunakan dan banyak senjata tersebut ‘lari’ ke pasar gelap.
Fakta lain kiprah Blackwater di Irak adalah mereka merekrut kurang lebih 21 ribu mantan pasukan khusus, prajurit regular dan petugas penegak hukum untuk bertugas di Irak. Diungkapkan bahwa, para operator Blackwater yang mengawal Paul Bremer, Ketua Otoritas Irak, adalah berasal dari Bosnia, Filipinos, dan Chile. Antara tahun 2005 sampai September 2007, operator Blackwater terlibat dalam 195 insiden penembakan, diman 163 kasus didahului oleh penembakan operator Blackwater.
Kiprah lain
Blackwater ikut membantu dalam bencana Katrina. Mereka membantu menyediakan pesawat pengangkut, jasa pengamanan, angkutan logistik dan transportasi. Blackwater juga mem-BKO-kan 164 operatornya di bawah Departemen Keamanan Dalam Negeri (Department of Homeland Security). Sebagai tanda terima kasih, Blackwater mendapatkan ‘hadiah’ kontrak penunjukan langsung dalam pembangunan pasca badai Katrina. Penunjukan ini menuai protes dari masyarakat.
Blackwater merupakan satu dari lima perusahaan yang membantu penyediaan perlengkapan serta membantu operasional kantor Counter-Narcotics Technology Program, salah satu program yang diadakan oleh Dephan AS.
Tahun 2005, Blackwater dikontrak untuk melatih pasukan komando Azerbaijan: Naval Sea Commando. Mendapatkan kontrak dari Jepang untuk mengawal radar sistem: AN/TPY-2.

Salam…

MERCENARY: THE BIG PLAYER – 1

Aegis Defense Service adalah sebuah PMC berbasis di London, Inggris dan memiliki kantor perwakilan luar negeri di Afghanistan, Bahrain, Irak, Kenya, Nepal dan AS. Aegis memiliki spesialis pada ‘security and risk management solution’. Jasa tersebut dapat disesuaikan dengan kepentingan klien. Klien Aegis adalah pemerintah, badan internasional dan korporasi. Aegis terdaftar sebagai salah satu kontraktor aktif di PBB, salah satu penyedia jasa pengamanan untuk pemerintah AS dan penasehat keamanan pada Lloyds Joint War Risk Committee.
Pada tahun 2004, International Peace Operations Association, sebuah lembaga kumpulan PMC, meminta Aegis untuk menjadi anggota. Pengajuan aplikasi keanggotaan tersebut ditentang oleh pesaingnya yang berasal dari Inggris. Aegis merupakan pendiri British Association of Private Security Companies (BAPSC), yang merupakan pelobi untuk regulasi perusahaan jasa keamanan di Inggris. Juga menjadi anggota pada perkumpulan PMC di Irak, PSCAI.
Aegis membagi bisnisnya atas tiga divisi bisnis: Aegis Research and Intelligence (ARI), Aegis Technical Services (ATS) dan Aegis Security Operations (ASO). ARI memberikan jasa informasi geo-politik, laporan investigasi untuk korporasi, institusi dan pemerintah. ATS memiliki spesialisasi pada audit keamanan, pelatihan teknik pengamanan, pelacakan rekam jejak seseorang, memiliki kapabilitas pengintaian dan anti-pengintai serta penyediaan alat-alat keamanan. ASO memberikan jasa analisis antisipasi atas geo-politik, kejahatan keuangan, korupsi, teroris dan kejahatan terorganisasi.
Pada tahun 2005, Aegis memperkuat bisnisnya dengan mengakuisisi Rubicon International, sebuah perusahaan penyedia jasa keamanan untuk kalangan terbatas.
Keberadaan beberapa mantan petinggi militer yang duduk pada dewan komisaris dan Direksi, memperkuat lobi Aegis kepada pemerintah. Tidak heran, Aegis mendapatkan kontrak dari pemerintah Inggris maupun AS, akibat lobi yang dilakukan oleh para mantan petinggi militer tersebut.
Keberadaan di Irak
Aegis mendapatkan kontrak senilai USD 293 Juta selama tiga tahun dari Dephan AS untuk membantu pengamanan pada program rekonstruksi Irak.
Aegis juga membentuk badan amal untuk membiayai program pembangunan di sekitar area di luar ‘area resmi’ yang masuk pada program rekonstruksi.
Pada kontrak terpisah, Aegis menjalankan pengawasan atas program ‘Oil for Food’, pengamanan untuk pemilu Irak.

Salam…

MERCENARY: SANDLINE HELPED KOPASSUS

Pengantar Penulis:
Artikel ini cukup menarik, dimana membahas keterlibatan ‘mercenary’ dalam pembebasan sandera yang diculik oleh OPM. Kita dapat melihat mengapa para mercenary terlibat dan bagaimana hubungannya dengan pasukan ‘elit’ Indonesia. Artikel ini, paling tidak, memberikan gambaran bahwa para ‘mercenary’ asing sudah masuk ke lingkungan kita.

Salam…
===================================================
4 SANDLINE'S MERCENARIES HELPED KOPASSUS
Vol 6 No 1, January 2000
http://www.asiapac.org.fj/PJR/issues/next/2000kopassus.html
Mercenaries expelled from Papua New Guinea in 1997 had worked a year earlier in West Papua assisting Indonesia's notorious Kopassus special forces troops in an operation that caused many civilian deaths.
By PETER CRONAU
________________________________________
THE SOUTH AFRICAN mercenary group, Executive Outcomes, provided both training and operational advice to the Indonesian special forces Kopassus in a hostage rescue operation in West Papua (Irian Jaya) in 1996, the former chief executive officer has revealed. Nick van den Bergh informed me that he led a team of five "military advisers" who travelled to Indonesia to provide training in "special techniques" to Kopassus special forces troops. Van den Bergh says he reported directly to the Kopassus head, now-disgraced Indonesian Major-General Prabowo Subianto.
The five Executive Outcomes "consultants" also advised Prabowo's Kopassus troops on operational aspects of the execution of the May 1996 rescue operation. This assistance took place "in field" at an advance military base at Keneyam in West Papua.
In 1997, it was Van den Bergh who led the Executive Outcomes military team into Papua New Guinea, as sub-contractors under the prime contract of Tim Spicer’s Sandline International. This operation was to capture the Panguna gold mine operated by British/Australian mining giant Rio Tinto. The massive copper and gold mine in the Papua New Guinea island territory of Bougainville had been closed by the independence-minded Bougainville Revolutionary Army in 1989.
In West Papua in January 1996, guerilla soldiers of the OPM (Free Papua Movement), led by Kelly Kwalik, had kidnapped British, Dutch, German and Indonesian hostages to attract international publicity to their independence campaign. The kidnapping occurred in the highlands of West Papua where indigenous communities have been disrupted by the huge Freeport McMoran copper and gold mine which is partly owned by Rio Tinto, the owner of the Bougainville mine.
The Kopassus troops, trained and advised by Executive Outcomes, were responsible for a deadly helicopter assault on the West Papuan village of Geselema on May 9, 1996, in which many civilians were murdered and numerous others wounded. This was the start of an Indonesian retribution campaign aimed at capturing the OPM responsible and punishing the local civilian population. These actions over several months reportedly led to the deaths of hundreds of West Papuans displaced from their lands by the military operation.
One of the helicopters involved in the attack on Geselema was seen carrying Red Cross markings while carrying Kopassus troops and a number of white soldiers. This long rumoured presence of "white soldiers" on a white helicopter was confirmed in Mark Davis’ Four Corners programme on ABC TV first shown on 12 July 1999 in Australia. [See "Blood on the Cross", pp 10-32]
The widespread international outcry following the airing of the programme has resulted in the International Red Cross undertaking to look into the revelation. The hostages were freed a week after the Geselema attack when Indonesian regular soldiers stumbled into the hostage groups during an attack on the suspected hideout. Two hostages, both Indonesians, died in the operation, apparently at the hands of relatives of the villagers murdered in Geselema.
A report on the events, released in June 1999 by the Robert F Kennedy Center for Human Rights, details many cases of human rights abuses that followed the campaign. An NGO report released in late July 1999 in the West Papuan capital Jayapura also detailed eye-witness accounts of murderous attacks on Geselema and other villages.
There were other military elements present in West Papua for the planning and conducting of the operation in addition to the Executive Outcomes mercenary ‘advisers’. They included the British Defence Attache from Jakarta, ex-SAS Colonel Ivar Helberg, a three member team from the Hostage Negotiation Unit of New Scotland Yard, several personnel believed to be from the British SAS (Special Air Service), and representatives of the Dutch military forces. The operation used Israeli surveillance equipment supplied by the Singaporean Government.
The Kopassus special forces involved in the attacks had received specialized training in Australia from Australian SAS special forces. The training was ostensibly anti-terrorism training but the helicopter assault techniques and weapons practice provided are dual-use and very suitable for counter-insurgency operations as used against the indigenous West Papuans.
Kopassus’s General Prabowo later visited the SAS headquarters in Swanbourne, Perth, to provide a confidential briefing on the planning and conduct of the operation to the SAS troops.
The West Papuans have been fighting for their independence since 1969 when the UN handed the territory over to Indonesia following a sham vote by selected and intimidated local representatives. In the early 1960s, the Dutch colonial administration of Dutch West New Guinea had set up a Legislative Council, and adopted a flag and anthem, on the path to planned independence for the territory. This was cut short by an Indonesian military campaign led by Major General Suharto who was to later to become president.
Since the fall of President Suharto in 1998 following widespread public protest after the Indonesian economic collapse, there has been a resurgence of West Papuan nationalism. The company Executive Outcomes has provided mercenaries for security operations in several African nations often in return for a share in the mineral resources secured. Van den Bergh declined to reveal who was paying for the Executive Outcomes training and advice as he wished to preserve the identity of his client, but he added he was satisfied with the operation and had been paid for his services in cash.
The company Executive Outcomes closed down in 1998, but some of its principals are understood now to be engaged in providing security services to resource projects in several African countries.
The coming to light of the involvement of Executive Outcomes mercenaries in Indonesia is another chapter in the record of the inglorious support given by Western governments to the notorious Kopassus troops of Indonesia.