Minggu, Agustus 30, 2009

Dan Toch Maar, Grote Zeeman


Judul: DAN TOCH MAR, Apa boleh buat, maju terus!

Sub Judul: Ingatan dan Pengalaman ADELBORST INDONESIA 1949 – 1957

Penulis: Sukono, Eddy Tumengkol, R.Sunardi Hamid, H.E. Kawulusan, O. Amin Singgih.

Terbitan: Agustus 2009

Penerbit: Penerbit Buku Kompas


Sebagaimana tertera pada sub judul, buku ini berkisah tentang suka duka para taruna Koninklijk Instituut voor de Marine (KIM) asal Indonesia, promosi tahun 1950 sampai 1953. Mulai dari kisah masa pendaftaran, seleksi dan pemberangkatan ke Belanda. Bagaimana para taruna muda harus memendam rasa kebencian karena berhadapan dengan “musuh” perang, sampai akhirnya timbul rasa saling menghormati. Setelah selesai menempuh pendidikan di KIM, mereka dihadapkan dengan kondisi politik yang “meminggirkan” kiprah mereka. Apapun kondisinya, mereka tetap tegar dan tabah menerima kondisi tersebut. Dan Toch Maar.


Buku ini terdiri dari tujuh bagian, dimana bagian I sampai IV merupakan berbagai cerita, pengalaman serta pengamatan para penulis selama mengikuti masa pembentukan perwira di KIM dari promosi 1950 sampai dengan promosi 1953. Bagian V adalah pengalaman masa bakti para lulusan KIM di TNI-AL. Bagian VI dan VII adalah berbagai tulisan tentang renungan serta refleksi pengalaman selama dan pasca penugasan selama di TNI-AL.


Proses menjadi perwira di KIM tidak disebut “pendidikan perwira” (officiersopleiding) tetapi “pembentukan perwira” (officiersvorming), dimana para Adelborst mendapat pengajaran ilmu, latihan praktek, serta pembentukan watak perwira. Hasil akhir yang diharapkan adalah seorang pemimpin yang cakap dan bijak; penguasaan ilmu dan kemampuan untuk aplikasi lapangan; serta beradab dan terhormat sebagai perwira. Istilah yang tepat untuk penggambaran pembentukan perwira ini adalah “An Officer and a gentleman”.


Akibat kondisi politik, para alumni KIM dipinggirkan. Mereka harus berhadapan dengan para “ALRI Gunung”, istilah yang digunakan untuk para perwira, yang sebagian besar adalah para pejuang kemerdekaan yang lebih banyak berjuang di daratan ketimbang di laut. Di samping itu, sebagian besar para perwira “ALRI Gunung” tidak didukung oleh pendidikan maritim dan kemampuan teknis yang memadai. Konfrontasi dengan RI dengan Belanda, secara tidak langsung mempengaruhi karir para alumni KIM di TNI-AL. Disinggung pula tentang “kudeta” pimpinan ALRI tahun 1959 dan Gerakan Perwira Progresif Revolusioner (GPPR). Kedua gerakan ini, yang dimotori oleh beberapa alumni KIM, pada akhirnya mempengaruhi “keberadaan” para alumni KIM di TNI-AL di kemudian hari. GPPR pada pertengahan tahun 1965, membuat ALRI seperti macan ompong, karena hampir 150 perwira terlatih “dipaksa” keluar dari dinasnya. Perwira-perwira yang tersisa, hanya sedikit sekali yang memenuhi kualifikasi. Peristiwa ini tidak disiarkan secara resmi, karena kondisi politik dimana Indonesia sedang berkonfrontasi dengan Malaysia dan dikhawatirkan isu ini bakal dimanfaatkan untuk melemahkan kekuatan perang Indonesia.


Yang cukup menarik adalah pembahasan mengenai Visi Maritim. Pada KIM, ini adalah sebuah mata pelajaran yang tidak menentukan untuk kenaikan kelas, namun sangat menggugah sanubari dan cara pandang kita atas dunia kelautan. Kolonialis Belanda berhasil mengubah “mindset” bangsa Indonesia, dari paradigma “Land Oriented” menjadi “Archipelagic/Maritime Oriented”. Jika kita berhasil merubah paradigma ini, bukan mustahil Indonesia akan menjadi penjelmaan kerajaan Sriwijaya atau kerajaan Majapahit versi millennium ke-3. Dua syarat yang harus dipenuhi untuk diwujudkan adalah: (1) pengembangan dan pembangunan unsur inti kemaritiman (pelayaran niaga, perikanan, industri maritim/perkapalan, pengeboran lepas pantai, pariwisata bahari), dan (2) kebijakan pendukung pengembangan industri maritim/perkapalan.


Para alumni KIM memberikan sumbangsih besar pada pembentukan TNI-AL saat ini. Beberapa kontribusi para alumni KIM yang menonjol adalah keberadaan Dinas Penerbangan TNI- AL (DISPENERBAL) serta Komando Pasukan Katak (KOPASKA). DISPENERBAL dirintis oleh alumni KIM 1953, yang mendapat pendidikan di Pangkalan Udara AL (Marine Vliegkamp) di Valkenburg sebagai awak navigator udara (Waarnemer) serta mendapat pendidikan penerbang militer pada AU Inggris (Royal Air Force).


Urip Santoso, alumni KIM 1953, adalah salah satu peletak dasar “pembangunan” satuan elit TNI-AL, KOPASKA. Urip, yang sebelum menjadi Adelborst KIM adalah seorang perwira TNI-AD berpangkat Kapten, dikirim belajar pada unit demolisi bawah laut (Underwater Demolition Team = UDT) US Navy. UDT US Navy adalah cikal bakal US Navy SEAL. Sekembalinya dari pelatihan tersebut, Ia bersama Letkol OP Koesno, ditugaskan untuk membentuk Komando Pasukan Katak.


Akibat dari peristiwa GPPR tahun 1965, hanya sedikit dari alumni KIM yang meniti dan mengakhiri karir di TNI-AL. Alumni KIM yang menonjol antara lain: Laksdya (purn) Teddy Asikin (promosi KIM 1951); pernah menjadi Deputi KSAL, dan Letjen Mar (purn) Kahpi Soeriadiredja (promosi KIM 1952); pernah menjadi Danjen Korps Marinir, Danjen AKABRI serta Pangkowilhan IV (Maluku-Irian).


… Officer on the deck, ten hut….



Salam...