Kamis, Juni 11, 2009

AMBALAT CONFLICT - ORIGIN DISPUTE

Konflik Ambalat merupakan konflik “lama” akibat saling klaim daerah perbatasan antara Indonesia dan Malaysia, semenjak Malaysia melakukan klaim sepihak di tahun 1979. Konflik ini semakin meningkat dengan dipicunya “kemenangan” klaim atas pulau Sipadan – Ligitan di Mahkamah Internasional di bulan Desember 2002. Korporasi Internasional yang mendapat konsesi untuk “mengelola” kawasan Ambalat dari dua negara, diduga juga turut memanas-manasi situasi ini, dengan harapan dapat segera mengeruk keuntungan. Bagaimana tidak menguntungkan, menurut satu penelitian, satu mine point mengandung 764 juta barrel minyak dan 1,4 milyar kaki kubik gas. Sementara masih ada delapan lagi dengan kandungan yang kurang lebih sama (1).

HIStory

Block Ambalat dengan luas sekitar 25.700 KM persegi dahulu tidak dilirik oleh kedua negara. Pada perjanjian tapal batas antara Indonesia dan Malaysia pada tahun 1969, justru kedua negara tidak memasukkan daerah tersebut pada peta masing-masing negara. Akhirnya diputuskan bahwa perbatasan tersebut mengacu pada perjanjian pada masa kolonial antara Inggris dan Belanda.
Malaysia kemudian menyadari potensi yang ada pada kawasan tersebut dan membuat klaim sepihak pada tahun 1979 dengan menerbitkan peta wilayah. Penerbitan peta tersebut diprotes oleh Indonesia, karena klaim Malaysia atas wilayah Sipadan-Ligitan dan blok Ambalat. Kasus Sipadan-Ligitan, yang berhasil dimenangkan oleh Malaysia di Mahkamah Internasional, memicu keyakinan Malaysia untuk mengklaim blok Ambalat. Padahal menurut konsensus Internasional serta dokumen peninggalan Belanda, Indonesia adalah yang berhak memiliki daerah tersebut (2). Tidak seperti pada kasus Sipadan-Ligitan, dimana Malaysia penuh percaya diri membawa kasus ini ke Mahkamah Internasional, pada kasus ini, Malaysia tidak percaya diri dan berusaha untuk mengulur waktu. Upaya ini dilakukan karena bukti-bukti yang dimiliki oleh Malaysia lemah serta apabila dihadapkan pada consensus internasional untuk penetapan wilayah, maka Malaysia akan kalah. Indonesia tidak bisa membawa kasus ini ke Mahkamah Internasional, karena sesuai dengan aturan, kasus yang dapat dibawa ke Mahkamah Internasional harus diajukan oleh pihak-pihak yang bersengketa. Malaysia berusaha untuk mengulur waktu dan lebih memilih jalan perundingan dengan Indonesia.

Korporasi internasional yang mendapat konsesi dari masing-masing negara juga mendorong ‘panas’nya situasi di Ambalat. Perusahaan Minyak dan Gas, Shell, diduga menjadi pemicu awal memanasnya situasi di Ambalat. Pada awalnya, Shell mendapatkan ijin untuk melakukan survei dari pemerintah Indonesia. Namun setelah ijin survei berakhir, Shell justru membuka data surveinya kepada pemerintah Malaysia. Sungguh suatu tindakan yang tidak terpuji (3)

Future

Kehilangan Sipadan-Ligitan membuka mata Indonesia dan lebih memperhatikan daerah-daerah perbatasan yang selama ini termarjinalkan. Harus ada political will untuk membenahi daerah-daerah perbatasan. Pemerintah harus segera mengeluarkan PP sebagai juknis implementasi UU no 43/2008 tentang Wilayah Negara. Sehingga penduduk di wilayah perbatasan tidak tergoda untuk “menyebrang” ke negara lain untuk mendapatkan kesejahteraan lebih baik lagi seperti kasus Askar Wataniah yang sempat menghebohkan Indonesia beberapa waktu lalu. (lihat pembahasan Askar Wataniah pada blog ini)

Pemberdayaan daerah juga dapat dilakukan dengan pembentukan provinsi Kalimantan Utara. Seperti kita ketahui, luas provinsi Kalimantan Timur yang sama dengan 1,5 kali luas pulau Jawa dan Madura, mengalami kesulitan dalam monitoring daerah yang sangat luas. Akibatnya terjadi ketidak seimbangan distribusi pembangunan terutama di daerah-daerah perbatasan. Secara administrasi pemerintahan, sudah ada 5 kabupaten/kota yang siap bergabung dengan propinsi Kaltara ini. mereka adalah pemkab Bulungan, pemkab Berau, pemkab Malinau, pemkab Nunukan, dan pemkot Tarakan.

Penguatan kekuatan militer di daerah-daerah perbatasan. Saat ini penugasan satuan militer lebih banyak bersifat temporary sehingga pendekatan territorial kurang. Oleh karena itu, sebaiknya dibangun fort, lanal dan lanud permanen. Dengan adanya posisi permanen, diharapkan pendekatan territorial akan semakin meningkat. Hal ini juga merupakan implementasi UU no 3/2002 tentang Pertahanan Negara serta UU no 34/2004 tentang TNI. Percepatan pembentukan Penjaga Laut dan Pantai (PALAPA) atau Indonesia Sea and Coast Guard, yang merupakan aplikasi UU no 17/2008, sebagai kekuatan tambahan AL (lihat pembahasan ISCG pada bagian lain di blog ini).

Belajar dari kasus Sipadan-Ligitan, perlu peningkatan sinergi antar lembaga baik daerah maupun pusat, sehingga mempunyai pemikiran serta tindakan yang sama dalam menghadapi kasus Ambalat ini.

Pemerintah harus lebih berhati-hati dalam melakukan kerja sama dengan korporasi internasional. Selama ini kontrak karya yang dibuat, lebih banyak menguntungkan korporasi internasional dan mengabaikan kepentingan nasional. Mengacu pada pasal 33 ayat 3 UUD 1945, seharusnya kekayaan alam Indonesia dipergunakan sebaik-baiknya untuk kepentingan masyarakat Indonesia.


Salam…

1 komentar: