Minggu, Agustus 30, 2009

Dan Toch Maar, Grote Zeeman


Judul: DAN TOCH MAR, Apa boleh buat, maju terus!

Sub Judul: Ingatan dan Pengalaman ADELBORST INDONESIA 1949 – 1957

Penulis: Sukono, Eddy Tumengkol, R.Sunardi Hamid, H.E. Kawulusan, O. Amin Singgih.

Terbitan: Agustus 2009

Penerbit: Penerbit Buku Kompas


Sebagaimana tertera pada sub judul, buku ini berkisah tentang suka duka para taruna Koninklijk Instituut voor de Marine (KIM) asal Indonesia, promosi tahun 1950 sampai 1953. Mulai dari kisah masa pendaftaran, seleksi dan pemberangkatan ke Belanda. Bagaimana para taruna muda harus memendam rasa kebencian karena berhadapan dengan “musuh” perang, sampai akhirnya timbul rasa saling menghormati. Setelah selesai menempuh pendidikan di KIM, mereka dihadapkan dengan kondisi politik yang “meminggirkan” kiprah mereka. Apapun kondisinya, mereka tetap tegar dan tabah menerima kondisi tersebut. Dan Toch Maar.


Buku ini terdiri dari tujuh bagian, dimana bagian I sampai IV merupakan berbagai cerita, pengalaman serta pengamatan para penulis selama mengikuti masa pembentukan perwira di KIM dari promosi 1950 sampai dengan promosi 1953. Bagian V adalah pengalaman masa bakti para lulusan KIM di TNI-AL. Bagian VI dan VII adalah berbagai tulisan tentang renungan serta refleksi pengalaman selama dan pasca penugasan selama di TNI-AL.


Proses menjadi perwira di KIM tidak disebut “pendidikan perwira” (officiersopleiding) tetapi “pembentukan perwira” (officiersvorming), dimana para Adelborst mendapat pengajaran ilmu, latihan praktek, serta pembentukan watak perwira. Hasil akhir yang diharapkan adalah seorang pemimpin yang cakap dan bijak; penguasaan ilmu dan kemampuan untuk aplikasi lapangan; serta beradab dan terhormat sebagai perwira. Istilah yang tepat untuk penggambaran pembentukan perwira ini adalah “An Officer and a gentleman”.


Akibat kondisi politik, para alumni KIM dipinggirkan. Mereka harus berhadapan dengan para “ALRI Gunung”, istilah yang digunakan untuk para perwira, yang sebagian besar adalah para pejuang kemerdekaan yang lebih banyak berjuang di daratan ketimbang di laut. Di samping itu, sebagian besar para perwira “ALRI Gunung” tidak didukung oleh pendidikan maritim dan kemampuan teknis yang memadai. Konfrontasi dengan RI dengan Belanda, secara tidak langsung mempengaruhi karir para alumni KIM di TNI-AL. Disinggung pula tentang “kudeta” pimpinan ALRI tahun 1959 dan Gerakan Perwira Progresif Revolusioner (GPPR). Kedua gerakan ini, yang dimotori oleh beberapa alumni KIM, pada akhirnya mempengaruhi “keberadaan” para alumni KIM di TNI-AL di kemudian hari. GPPR pada pertengahan tahun 1965, membuat ALRI seperti macan ompong, karena hampir 150 perwira terlatih “dipaksa” keluar dari dinasnya. Perwira-perwira yang tersisa, hanya sedikit sekali yang memenuhi kualifikasi. Peristiwa ini tidak disiarkan secara resmi, karena kondisi politik dimana Indonesia sedang berkonfrontasi dengan Malaysia dan dikhawatirkan isu ini bakal dimanfaatkan untuk melemahkan kekuatan perang Indonesia.


Yang cukup menarik adalah pembahasan mengenai Visi Maritim. Pada KIM, ini adalah sebuah mata pelajaran yang tidak menentukan untuk kenaikan kelas, namun sangat menggugah sanubari dan cara pandang kita atas dunia kelautan. Kolonialis Belanda berhasil mengubah “mindset” bangsa Indonesia, dari paradigma “Land Oriented” menjadi “Archipelagic/Maritime Oriented”. Jika kita berhasil merubah paradigma ini, bukan mustahil Indonesia akan menjadi penjelmaan kerajaan Sriwijaya atau kerajaan Majapahit versi millennium ke-3. Dua syarat yang harus dipenuhi untuk diwujudkan adalah: (1) pengembangan dan pembangunan unsur inti kemaritiman (pelayaran niaga, perikanan, industri maritim/perkapalan, pengeboran lepas pantai, pariwisata bahari), dan (2) kebijakan pendukung pengembangan industri maritim/perkapalan.


Para alumni KIM memberikan sumbangsih besar pada pembentukan TNI-AL saat ini. Beberapa kontribusi para alumni KIM yang menonjol adalah keberadaan Dinas Penerbangan TNI- AL (DISPENERBAL) serta Komando Pasukan Katak (KOPASKA). DISPENERBAL dirintis oleh alumni KIM 1953, yang mendapat pendidikan di Pangkalan Udara AL (Marine Vliegkamp) di Valkenburg sebagai awak navigator udara (Waarnemer) serta mendapat pendidikan penerbang militer pada AU Inggris (Royal Air Force).


Urip Santoso, alumni KIM 1953, adalah salah satu peletak dasar “pembangunan” satuan elit TNI-AL, KOPASKA. Urip, yang sebelum menjadi Adelborst KIM adalah seorang perwira TNI-AD berpangkat Kapten, dikirim belajar pada unit demolisi bawah laut (Underwater Demolition Team = UDT) US Navy. UDT US Navy adalah cikal bakal US Navy SEAL. Sekembalinya dari pelatihan tersebut, Ia bersama Letkol OP Koesno, ditugaskan untuk membentuk Komando Pasukan Katak.


Akibat dari peristiwa GPPR tahun 1965, hanya sedikit dari alumni KIM yang meniti dan mengakhiri karir di TNI-AL. Alumni KIM yang menonjol antara lain: Laksdya (purn) Teddy Asikin (promosi KIM 1951); pernah menjadi Deputi KSAL, dan Letjen Mar (purn) Kahpi Soeriadiredja (promosi KIM 1952); pernah menjadi Danjen Korps Marinir, Danjen AKABRI serta Pangkowilhan IV (Maluku-Irian).


… Officer on the deck, ten hut….



Salam...

Kamis, Juni 11, 2009

AMBALAT CONFLICT - THE EXPLORERS

Panasnya situasi Ambalat antara Indonesia dengan Malaysia, ditengarai adanya dorongan dari korporasi-korporasi yang sudah sangat berhasrat untuk menghasilkan jutaan dollar dari eksplorasi blok Ambalat. Ada baiknya kita mengenal para explorer Blok Ambalat.

Royal Dutch Shell plc
Berdiri: 1907
HQ: Den Hague
Industri: Minyak dan gas
Profit 2008: USD 26 Trilliun
Website: www.shell.com

Forbes Global 2000 di tahun 2009 ini menempatkan Shell di posisi kedua pada urutan perusahaan besar kelas dunia dengan beroperasi di lebih dari 140 negara di seluruh dunia.
Cikal bakal perusahaan ini justru berasal dari Indonesia, dimana pada tahun 1890 didirikan untuk melakukan eksplorasi minyak bumi di Hindia Belanda. Pada tahun 1907, bergabung dengan Shell Transport and Trading, sebuah perusahaan berbendera Inggris, dengan nama “Royal Dutch Petroleum Company” (dalam bahasa Belanda: Koninklijke Nederlandsche Petroleum Maatschappij).

Ekspansi pertamanya ketika mengambil alih Mexican Petroleum Company pada tahun 1921. Pada tahun 1935, bekerja sama dengan British Petroleum, membentuk Shell-Mex-BP Ltd dan berfokus pada pasar di Inggris.

Kapitalisme menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keuntungan. Beberapa tindakan tidak terpuji dilakukan Shell untuk mendapatkan keuntungan (1):

Pada masa pemerintahan Nazi di Jerman, Shell bekerja sama dengan Deutsche Gasoline, mempekerjakan tenaga kerja paksa dengan perlindungan pasukan SS – Nazi di Wina dan Hamburg.

Pada awal kemerdekaan Rhodesia (Kini Zimbabwe), PBB mengenakan embargo pada negara baru tersebut. Shell secara resmi juga ikut mendukung embargo tersebut. Akan tetapi, secara diam-diam melakukan suplai ke Rhodesia.

Shell Italiana, anak perusahaan Shell di Italia, bermain mata dengan para politisi Italia. Anak perusahaan itu akhirnya bangkrut dan dijual ke Eni, perusahaan minyak negara milik Italia.

Di Irlandia, Shell memaksa penduduk lokal untuk keluar dari perkampungan mereka karena akan dilewati pipa kilang minyak.

Pada tahun 2000, ketika itu Irak terkena embargo, Shell secara diam-diam mengangkut minyak Irak dengan nilai kontrak USD 2 juta.

Di Nigeria, gerakan damai menentang kerusakan lingkungan di Ogoni, kawasan Delta Niger, berujung dengan dieksekusinya pimpinan gerakan tersebut, Ken Saro-Wiwa. Diduga, Shell terlibat dalam upaya eksekusi tersebut

Blok Ambalat, Shell mendapatkan ijin dari pemerintah Indonesia untuk melakukan survei geologi di blok Ambalat. Setelah mendapatkan hasil survei tersebut, Shell justru mengajak Petronas untuk menggarap blok Ambalat dan mendorong Malaysia untuk klaim atas kawasan tersebut (2)


Chevron Corporation
Berdiri: 1879
HQ: San Ramon, California
Industri: Minyak, gas dan pertambangan
Profit 2008: USD 24 Trilliun
Website: www.chevron.com

Chevron adalah perusahaan energy terbesar ke empat di dunia dan beroperasi di lebih 180 negara di seluruh dunia. Seperti perusahaan minyak lainnya, Chevron merupakan perusahaan hasil merger dari beberapa perusahaan minyak di AS. Jika dilihat dari “akar”-nya, ada tiga perusahaan yang menjadi “akar” perusahaan Chevron: Pacific Coast Oil Company (berdiri tahun 1879), Texas Fuel Oil Company (Texaco) (berdiri pada tahun 1901) dan Standard Oil of California (SoCal) ( berdiri tahun 1911). SoCal mendapat konsesi ekplorasi di Saudi Arabia dan kemudian membentuk Arabian American Oil Company (ARAMCO) di tahun 1944. Aramco sendiri akhirnya menjadi milik sepenuhnya pemerintah Saudi di tahun 1988.

Pada tahun 1984, SoCal membuat kehebohan dengan melakukan merger dengan Gulf Oil. Upaya merger itu merupakan upaya merger terbesar pada saat itu. Setelah merger, SoCal berubah nama menjadi Chevron Corporation.

Pada tahun 2001, Chevron mengakuisisi Texaco. Proses akuisisi juga dilakukan pada Unocal di tahun 2005, yang menjadi Chevron sebagai penghasil energy geothermal terbesar di dunia.

Konsesi eksplorasi di kawasan Ambalat Timur di dapat dari pemerintah Indonesia di tahun 2004, dimana konsesi tersebut berlaku sampai dengan tahun 2010. Namun karena sengketa dengan Malaysia, maka proses eksplorasi belum dapat dilakukan.


Eni S.p.A
Berdiri: 1953
HQ: Roma, Italia
Industri: Minyak dan gas
Profit 2008: USD 16 Trilliun
Website: www.eni.it


Eni merupakan BUMN Italia yang beroperasi di lebih 70 negara di seluruh dunia. Perusahaan ini merupakan perusahaan dengan kapitalisasi terbesar di Italia. Dahulu adalah anak perusahaan dari AGIP, namun pada tahun 2003, Eni justru mencaplok AGIP dan menjadikannya sebagai Refininf and Marketing Division untuk brand “AGIP”.

Awalnya melakukan eksplorasi di dalam negeri. Pada awal tahun 1960-an mulai melakukan ekspansi ke luar negeri yakni di Mesir dan Iran. Pada awal tahun 1970-an, Eni mulai mengeksplorasi gas dan menjadi pendapatannya yang lain di luar minyak bumi. Saat ini, Eni berfokus pada 3 bidang: Eksplorasi dan Produksi, produsen gas, dan engineering & construction. Beberapa anak perusahaan Eni yang cukup terdengar adalah Saipem (kontraktor minyak dan gas) dan AGI (kantor berita).

Di Ambalat, Eni mendapat konsesi dari pemerintah Indonesia sejak tahun 1998. Akan tetapi konflik antara Indonesia dan Malaysia membuat proses eksplorasi menjadi tertunda (3)


Salam…

AMBALAT CONFLICT - ORIGIN DISPUTE

Konflik Ambalat merupakan konflik “lama” akibat saling klaim daerah perbatasan antara Indonesia dan Malaysia, semenjak Malaysia melakukan klaim sepihak di tahun 1979. Konflik ini semakin meningkat dengan dipicunya “kemenangan” klaim atas pulau Sipadan – Ligitan di Mahkamah Internasional di bulan Desember 2002. Korporasi Internasional yang mendapat konsesi untuk “mengelola” kawasan Ambalat dari dua negara, diduga juga turut memanas-manasi situasi ini, dengan harapan dapat segera mengeruk keuntungan. Bagaimana tidak menguntungkan, menurut satu penelitian, satu mine point mengandung 764 juta barrel minyak dan 1,4 milyar kaki kubik gas. Sementara masih ada delapan lagi dengan kandungan yang kurang lebih sama (1).

HIStory

Block Ambalat dengan luas sekitar 25.700 KM persegi dahulu tidak dilirik oleh kedua negara. Pada perjanjian tapal batas antara Indonesia dan Malaysia pada tahun 1969, justru kedua negara tidak memasukkan daerah tersebut pada peta masing-masing negara. Akhirnya diputuskan bahwa perbatasan tersebut mengacu pada perjanjian pada masa kolonial antara Inggris dan Belanda.
Malaysia kemudian menyadari potensi yang ada pada kawasan tersebut dan membuat klaim sepihak pada tahun 1979 dengan menerbitkan peta wilayah. Penerbitan peta tersebut diprotes oleh Indonesia, karena klaim Malaysia atas wilayah Sipadan-Ligitan dan blok Ambalat. Kasus Sipadan-Ligitan, yang berhasil dimenangkan oleh Malaysia di Mahkamah Internasional, memicu keyakinan Malaysia untuk mengklaim blok Ambalat. Padahal menurut konsensus Internasional serta dokumen peninggalan Belanda, Indonesia adalah yang berhak memiliki daerah tersebut (2). Tidak seperti pada kasus Sipadan-Ligitan, dimana Malaysia penuh percaya diri membawa kasus ini ke Mahkamah Internasional, pada kasus ini, Malaysia tidak percaya diri dan berusaha untuk mengulur waktu. Upaya ini dilakukan karena bukti-bukti yang dimiliki oleh Malaysia lemah serta apabila dihadapkan pada consensus internasional untuk penetapan wilayah, maka Malaysia akan kalah. Indonesia tidak bisa membawa kasus ini ke Mahkamah Internasional, karena sesuai dengan aturan, kasus yang dapat dibawa ke Mahkamah Internasional harus diajukan oleh pihak-pihak yang bersengketa. Malaysia berusaha untuk mengulur waktu dan lebih memilih jalan perundingan dengan Indonesia.

Korporasi internasional yang mendapat konsesi dari masing-masing negara juga mendorong ‘panas’nya situasi di Ambalat. Perusahaan Minyak dan Gas, Shell, diduga menjadi pemicu awal memanasnya situasi di Ambalat. Pada awalnya, Shell mendapatkan ijin untuk melakukan survei dari pemerintah Indonesia. Namun setelah ijin survei berakhir, Shell justru membuka data surveinya kepada pemerintah Malaysia. Sungguh suatu tindakan yang tidak terpuji (3)

Future

Kehilangan Sipadan-Ligitan membuka mata Indonesia dan lebih memperhatikan daerah-daerah perbatasan yang selama ini termarjinalkan. Harus ada political will untuk membenahi daerah-daerah perbatasan. Pemerintah harus segera mengeluarkan PP sebagai juknis implementasi UU no 43/2008 tentang Wilayah Negara. Sehingga penduduk di wilayah perbatasan tidak tergoda untuk “menyebrang” ke negara lain untuk mendapatkan kesejahteraan lebih baik lagi seperti kasus Askar Wataniah yang sempat menghebohkan Indonesia beberapa waktu lalu. (lihat pembahasan Askar Wataniah pada blog ini)

Pemberdayaan daerah juga dapat dilakukan dengan pembentukan provinsi Kalimantan Utara. Seperti kita ketahui, luas provinsi Kalimantan Timur yang sama dengan 1,5 kali luas pulau Jawa dan Madura, mengalami kesulitan dalam monitoring daerah yang sangat luas. Akibatnya terjadi ketidak seimbangan distribusi pembangunan terutama di daerah-daerah perbatasan. Secara administrasi pemerintahan, sudah ada 5 kabupaten/kota yang siap bergabung dengan propinsi Kaltara ini. mereka adalah pemkab Bulungan, pemkab Berau, pemkab Malinau, pemkab Nunukan, dan pemkot Tarakan.

Penguatan kekuatan militer di daerah-daerah perbatasan. Saat ini penugasan satuan militer lebih banyak bersifat temporary sehingga pendekatan territorial kurang. Oleh karena itu, sebaiknya dibangun fort, lanal dan lanud permanen. Dengan adanya posisi permanen, diharapkan pendekatan territorial akan semakin meningkat. Hal ini juga merupakan implementasi UU no 3/2002 tentang Pertahanan Negara serta UU no 34/2004 tentang TNI. Percepatan pembentukan Penjaga Laut dan Pantai (PALAPA) atau Indonesia Sea and Coast Guard, yang merupakan aplikasi UU no 17/2008, sebagai kekuatan tambahan AL (lihat pembahasan ISCG pada bagian lain di blog ini).

Belajar dari kasus Sipadan-Ligitan, perlu peningkatan sinergi antar lembaga baik daerah maupun pusat, sehingga mempunyai pemikiran serta tindakan yang sama dalam menghadapi kasus Ambalat ini.

Pemerintah harus lebih berhati-hati dalam melakukan kerja sama dengan korporasi internasional. Selama ini kontrak karya yang dibuat, lebih banyak menguntungkan korporasi internasional dan mengabaikan kepentingan nasional. Mengacu pada pasal 33 ayat 3 UUD 1945, seharusnya kekayaan alam Indonesia dipergunakan sebaik-baiknya untuk kepentingan masyarakat Indonesia.


Salam…

Sabtu, April 11, 2009

WHERE ARE YOU KAMERAD SJAM?

Peristiwa G30S merupakan suatu peristiwa kontroversi yang masih penuh kabut. Mulai dari perdebatan apakah peristiwa ini sebuah ‘gerakan’ atau hanyalah ‘aksi’, mengapa G30S gagal dengan mudah, padahal PKI mengklaim memiliki kekuatan massa sekitar tiga setengah juta orang, apa peran Biro Chusus PKI dalam peristiwa ini, mengapa Jenderal Soeharto tidak termasuk target operasi G30S dan lain sebagainya. Banyak ahli sejarah yang ‘frustasi’ dengan peristiwa ini. Sebagian perdebatan yang telah diungkapkan sebelumnya, merupakan perdebatan-perdebatan ‘seru’ yang tidak kunjung berakhir. Para pelaku sejarah pun banyak yang tidak mau membuka kisah sebenarnya dari peristiwa ini, hingga akhir hayat mereka. Entah karena ‘takut’ kepada rezim Orba atau karena alasan-alasan lainnya.

Penulis tertarik untuk menggali kisah Sjam Kamaruzzaman alias Djimin alias Sjamsudin alias Ali Mochtar alias Ali Sastra alias Karman. Mengapa Sjam? Tokoh ini disebut-sebut sebagai ‘otak’ sekaligus ‘korlap’ dalam G30S ini. Ia menjadi tokoh ‘kunci’ untuk membuka apa yang sebenarnya terjadi pada G30S, yang ‘hanya’ beraksi beberapa jam saja. Dan yang menjadi isu penting adalah hubungannya dengan Soeharto serta para perwira ABRI lainnya, yang terseret atau dikait-kaitkan dengan peristiwa ini.

Syam Kamaruzzaman adalah ‘spy-master’ handal yang disebut-sebut ‘master-mind’ dari peristiwa 30 September 1965. Ia merupakan sosok kontroversial bagi semua pihak yang terkait dengan peristiwa ini. Bagi sebagian kalangan ‘elit’ PKI, keberadaan serta perannya atas peristiwa ini banyak baru mengetahui setelah ia diadili di Mahmilub dan menjadi saksi bagi ‘elit’ PKI lainnya. Bagi pihak militer maupun pemerintah, Syam merupakan ‘aset’ berharga dalam membasmi (dan juga melenyapkan) para anggota PKI. Ia mampu berperan layaknya putri Syahrazad dalam kisah 1001 malam, dimana Syam mampu ‘bercerita’ sehingga mampu menunda eksekusi matinya selama 18 tahun. Setelah pemerintah memberitakan bahwa Syam dieksekusi tepat tanggal 30 September 1986, masih banyak orang yang tidak percaya bahwa ia telah dieksekusi. Ketidak percayaan banyak orang akan dieksekusinya Syam, mengingat ‘jasa’-nya dalam pembasmian PKI serta dugaan adanya ‘hubungan khusus’ dengan Soeharto. Oleh karena itu, bagi sebagaian orang ia dianggap sebagai ‘double agent’.

Tulisan ini merupakan ‘jahitan’ penulis atas beberapa sumber bacaan. Sangat dimungkinkan apabila terjadi ‘kecelakaan’ dalam penulisan akibat dari interpretasi penulis. Oleh karena itu, apabila ada koreksi atas tulisan ini, penulis mengucapkan terima kasih. Penulis juga menyarankan untuk membaca buku-buku referensi lain tentang Sjam Kamaruzzaman, sehingga dapat ‘melihat’ bagaimana sosoknya serta perannya dalam peristiwa G30S ini.

Who are you, Kamerad Sjam?
Lahir dengan nama Sjamsul Qamar Mubaidah. Ia lahir di Tuban, Jawa Timur pada 30 April 1924. R. Achmad Moebaedah, ayah Sjam, terbilang orang berada yang menyebabkan Sjam mendapat pendidikan di sekolah Belanda. Sjam dikenal sebagai anak yang sulit diatur, gemar menyendiri, namun pintar mengaji. Pendidikannya di sekolah Belanda terputus karena masuknya penjajah Jepang pada tahun 1942. Pada tahun 1943, ia masuk Sekolah Dagang di Yogya. Ia hanya sampai kelas dua karena keburu pecah perang kemerdekaan. Pada saat bersekolah di Yogya inilah, ia berkenalan dengan dunia politik dengan ikut perkumpulan pemuda Pathuk. Di sinilah, ia berkenalan dengan Soeharto.

Setiap kali pertemuan, lelaki berambut keriting, berkulit gelap dan bertubuh gempal lebih banyak dia memperhatikan. Dari banyak sumber, Sjam tukang berkelahi sehingga ada codetan di pipi dekat mata kanannya. Pria dengan tinggi badan sekitar 170 sentimeter senang sekali memakai baju dril. Pembawaannya sederhana serta mudah bergaul.

Sebagaimana para pemuda lainnya, ia juga ikut dalam pertempuran kemerdekaan. Ia bertempur di daerah Mrangge, Ambarawa dan Magelang antara 1946 sampai 1947. Pada awal tahun 1948, hijrah ke Jakarta dan menjadi pegawai Kantor Penerangan Jawa Barat, meski berkantor di Jakarta. Syam bersama beberapa kawan ikut aksi gerilya malam, dengan melempar granat ke markas pasukan sekutu di kawasan Senen, Jakarta Pusat kini. Entah bagaimana, Sjam juga bersentuhan dengan organisasi buruh kereta api, yang bermarkas di kawasan Senen. Ia turut mendirikan Serikat Buruh Mobil dan Serikat Buruh Kendaraan Bermotor. Pada tahun 1949, Sjam juga ikut mendirikan Serikat Buruh Kapal dan Pelabuhan, dimana jumlah anggotanya sempat mencapai 13 ribu orang. Ketika terbentuk Badan Pusat Sementara Serikat-Serikat Buruh, yang merupakan gabungan serikat buruh pada masa itu, Sjam menjadi Wakil Ketua. Organisasi ini kemudian bubar dan sebagian anggotanya mendirikan Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) yang berafiliasi ke PKI. Sjam menjadi pengurus SOBSI hingga tahun 1957 dan selanjutnya menjadi asisten pribadi DN Aidit.

Sjam yang merekayasa bahwa Aidit tidak terlibat peristiwa Madiun tahun 1948 karena pergi ke Vietnam. Ia berhasil membuat seolah-olah Aidit baru datang ke Indonesia dari Vietnam, padahal sebenarnya Aidit bersembunyi di Jakarta. Pada masa persembunyian di Jakarta inilah, Aidit menawari Sjam untuk masuk PKI.

Setelah mundur dari SOBSI pada tahun 1957, Aidit menugasinya mengurus dokumentasi yang berhubungan dengan ideologi Marxisme-Leninisme. Pada tahun 1960, ia direkrut menjadi anggota Departemen Organisasi PKI, dimana departemen ini ‘menggarap’ anggota dari militer. Karena kinerja departemen ini tidak optimal, maka Aidit membentuk Biro Chusus (BC) pada tahun 1964 dengan Sjam sebagai ketua. Keberadaan BC ini dipantau langsung oleh Aidit, namun adanya BC ini tidak pernah dilaporkan dalam sidang-sidang politbiro PKI. Oleh karena itu, wajar bila tidak banyak kalangan ‘elit’ PKI mengetahui adanya BC ini. Karena sifatnya yang dirahasiakan, maka anggota BC yang direkrut sangat sedikit namun mampu membuat jaringan ‘merah’ di kalangan tentara. Para anggota BC memiliki kartu tanda anggota ABRI, sehingga mereka dengan mudah masuk ke kalangan tentara.

Double agent?
Sosoknya yang misterius serta perlakuan istimewa yang diterimanya di dalam penjara, menimbulkan dugaan bahwa ia adalah agen intel yang disusupkan ke PKI. Siapa yang menyusupkannya? Inilah pertanyaan sulit, karena sampai ‘akhir hayat’-nya, Sjam ‘dilindungi’ oleh pemerintah Orba dan seolah pertanyaan ini dibiarkan menggantung tanpa ada penjelasan lebih jauh.

Pertanyaan siapa yang menyusupkannya ke PKI dapat diduga sebagai berikut:

Soeharto dkk: Soeharto telah mengenal Sjam sejak awal perang kemerdekaan tahun 1945, dimana Sjam bersama kelompok Pemuda Pathuk membantu Soeharto pada peristiwa 3 Juli 1946. Dari beberapa sumber disebutkan bahwa Sjam adalah perwira intel berpangkat Lettu di Batalyon 10 Yogya, yang dikomandani Letkol Soeharto; Kecurigaan lain adalah ditengah kebingungan serta kesimpang siuran berita di kalangan ABRI pada waktu itu, mengapa Soeharto bisa ‘sigap’ dan ‘tahu’ langkah-langkah apa yang perlu diambil sehingga praktis selepas isya tanggal 1 Oktober 1965, G30S ‘tidak berfungsi’.

DN Aidit: pembentukan BC adalah upaya ‘diam-diam’ untuk pembentukan sayap militer PKI, namun tidak dilaporkan secara resmi pada politbiro. Sudisman, Sekjen PKI, dalam sidang mahmilub bahkan menyebutkan bahwa BC sebagai PKI ‘Illegal’. Pembentukan sayap militer ini mengacu pada pengalaman partai komunis di banyak negara, dimana merupakan kekuatan esensial. Karena usulan PKI membentuk ‘angkatan kelima’ ditolak oleh TNI-AD, maka dilakukan penetrasi ke kalangan ABRI. Aidit mengemukakan teori bahwa dengan 30 persen tentara, maka PKI dapat melakukan kudeta. Konon teori ini banyak dipersoalkan oleh para ‘elit’ PKI, karena tidak sesuai dengan Marxisme.

Aidit terburu nafsu untuk segera melakukan revolusi dan mewujudkan impian Marx dan Lenin, yaitu masyarakat tanpa kelas. Akan tetapi ‘revolusi’ melalui pemilu dirasa tidak mungkin karena Soekarno dan Demokrasi Terpimpinnya tidak membukakan kesempatan tersebut. Selain itu belajar dari sejarah negara lain, partai komunis tidak pernah memenangkan pemilu. Oleh karena itu, pembentukan BC dan ditugaskan melakukan penetrasi ke kalangan ABRI, diharapkan dapat mewujudkan ‘revolusi’ PKI. Sjam, yang telah dibina secara khusus oleh Aidit sejak tahun 1957, ditunjuk mengepalai BC.

Pihak Barat: berusaha mencegah Indonesia menjadi ‘negara komunis’ karena Indonesia memiliki nilai strategis di Asia Tenggara. Dikhawatirkan apabila Indonesia menjadi komunis, maka akan menular ke negara-negara lain di Asia Tenggara. Keterkaitan dengan Sjam adalah Sjam pernaha mendapatkan pelatihan ‘khusus’ dari Partai Sosialis Indonesia (PSI). Seperti diketahui, PSI (dan juga Masumi) menjadi ‘sponsor’ gerakan PRRI/PERMESTA, yang didukung oleh pihak Barat. Indikasi lain adalah para perwira ‘utama’ yang terlibat G30S, memiliki latar belakang pendidikan Barat. Letkol Untung dan Brigjen Supardjo, pernah mendapat pelatihan militer di AS.

AS dan negara-negara sekutunya sangat ketat dalam menerima ‘siswa’ dari Indonesia. Mereka melakukan ‘screening’ terhadap calon siswa yang diajukan. Apabila ketahui berlatar belakang ‘merah’, maka calon siswa tersebut pasti ditolak.

Did he die?
Banyak orang meragukan kematian Sjam, meskipun pemerintah mengumumkan bahwa Sjam telah dieksekusi pada tanggal 30 September 1986. Ia diisukan tinggal di luar negeri setelah ‘dieksekusi’ (1).

Setelah gagalnya G30S, Sjam melarikan diri ke Bandung pada tanggal 8 Oktober 1965. Ia tertangkap pada tanggal 9 Maret 1967, di daerah Cimahi dan semenjak 27 Mei 1967 ditahan di RTM Budi Utomo. Menurut beberapa bekas tahanan politik yang pernah bersama Sjam, ia bertindak layaknya seorang bos. Sjam sangat leluasa mondar-mandir dalam RTM dan mengenal banyak petugas militer seperti berada di lingkungannya sendiri. Ia banyak di-‘pinjam’ untuk mengidentifikasi tahanan politik agar mendapatkan ‘klasifikasi’ yang tepat.

Sjam dijatuhi hukuman mati oleh Mahmilub pada tanggal 9 Maret 1968. Seperti yang telah diceritakan sebelumnya, ia memainkan peran putrid Syahrazad dalam kisah 1001 malam, sehingga mampu menunda eksekusi matinya hingga 18 tahun. Pada tanggal 27 September 1986, ia dijemput oleh perwira bagian penelitian kriminal, Edy B.Sutomo (NRP: 27410) (2)(3). Jika benar data NRP yang dimaksud, maka nama perwira tersebut seharusnya adalah Edy Budi Utomo. Berdasarkan penelusuran penulis, pada saat diterbitkan tulisan ini, beliau berpangkat Brigjen dan menjadi Kaposwil BIN di NTB (4). Jika data ini benar semua, hal ini merupakan langkah awal untuk mengetahui ‘keberadaan’ tokoh misterius ini. Sjam dibawa ke RTM Cimanggis dan berada di sana selama dua hari. Tengah malam tanggal 30 September 1986, ia bersama dua rekan lainnya dibawa ke Tanjung Priok, kemudian diangkut ke sebuah pulau di Kepulauan Seribu dan dieksekusi pada pukul 3 dinihari tanggal 30 September 1986.

Kecurigaan lain adalah menurut dokumen-dokumen CIA yang telah dibuka untuk umum, tercatat tiga orang yang bernama ‘Sjam’ yang ditahan oleh pihak Angkatan Darat. Apakah yang dieksekusi itu ‘Sjam’ Kamaruzzaman atau ‘Sjam’ yang lain?

So, Where Are You Kamerad Sjam?

Salam…

Jumat, Maret 27, 2009

COAST GUARD - ISCG

Dengan disahkan UU no. 17/2008, maka pemerintah diamanatkan untuk membentuk suatu satuan Penjaga Laut dan Pantai Republik Indonesia (PALAPA-RI) atau dalam bahasa Inggris disebut Indonesia Sea and Coast Guard (ISCG). Instansi ini akan berdiri sendiri dan bertanggung jawab langsung pada presiden.
Pentingnya pembentukan ISCG adalah untuk menjaga potensi kekayaan laut Indonesia. Perlu diketahui bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan laut teritori terluas (3,2 juta km persegi), dengan jumlah pulau terbanyak (17.508 pulau), dengan panjang garis pantai terpanjang kelima di dunia (sepanjang 95.108 km). Hal ini ditambah lagi dengan perairan ZEE dengan luas 2,9 juta km persegi. Kondisi geografi Indonesia yang terletak di dua benua (Asia dan Australia) serta dua samudera (Samudera India dan Samudera Pasifik), mempunyai nilai strategis baik ekonomi maupun militer.
Untuk memperkuat ISCG ini disamping telah memiliki payung hukum, perlu adanya aturan teknis serta pemangkasan kewenangan penegakan hukum institusi-institusi yang selama ini ‘bermain’ di hukum laut. Tanpa adanya pemangkasan tersebut, maka ISCG akan tumpul. Disamping itu, untuk penegakan hukum di laut perlu didukung dengan alutsista serta sarana dan prasarana yang menunjang.
Persiapan
Dephub, selaku Koordinator pembentukan institusi ISCG, menargetkan institusi akan berdiri pada pertengahan tahun 2009, meskipun dalam UU no. 17/2008 diamanatkan paling lambat dibentuk 3 tahun setelah ditetapkan UU tersebut. Selain itu, untuk kebutuhan SDM organisasi baru ini, Diklat Dephub sudah menyiapkan ratusan tenaga pengamanan laut dan pantai. Kebanyakan tenaga pengamanan ini berasal dari KPLP, Polairud, TNI-AL dan lain-lain. Untuk itu, tenaga pengamanan laut dan pantai ini akan dilatih oleh tenaga ahli dari AS dan Jepang. Kebutuhan SDM di masa depan akan dipasok dari Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) Marunda, yang akan membuka jurusan Sea and Coast Guard. Nantinya jurusan ini merupakan embrio pembentukan Akademi Laut dan Penjaga Pantai. Jika mengacu pada pengadaan SDM USCG, maka untuk jenjang perwira dapat bersumber dari Akademi laut dan Penjaga Pantai, sementara untuk jenjang bintara, dapat meniru TNI dengan membuka SECABA.
Untuk sarana, kapal patrol yang dimiliki Indonesia masih sangat sedikit. Untuk itu, perlu segera pemenuhan alutsista serta sarana penunjang tugas.
Usulan
Dalam membentuk ISCG yang tangguh dan handal di masa depan, penulis mengusulkan sebagai berikut:
>Dari berbagai penyatuan instansi yang selama ini memiliki kewenangan hukum di laut, maka ada 6 tugas pokok ISCG: Penegakan hukum di laut (Maritime Law Enforcement), kepabeanan (Customs), bantuan navigasi dan keselamatan pelayaran, perlindungan penangkapan ikan (fishery protection), SAR laut, menjadi kekuatan ‘pengganda’ (multiplier force) bagi AL.
>ISCG diharapkan menjadi ‘ujung tombak’ dari custom, imigrasi, DKP, Dephub, dan Basarnas, untuk ‘penyelidikan’ tahap awal. Untuk ‘penyelidikan’ tahap lanjut diserahkan kepada masing-masing instansi terkait.
>ISCG sebaiknya berdiri secara otonom dan bertanggung jawab langsung pada Presiden RI. Hal ini dimaksudkan agar instansi ini independen dalam tugas. Di samping itu pula, dengan independen dari instansi lain, maka diharapkan dapat segera melengkapi alutsista serta sarana dan prasarana penunjang tugas.
>Bakorkamla sebaiknya dileburkan dalam ISCG ini, sehingga tugas-tugas yang selama ini telah dilakukan selama ini dapat terus dilanjutkan oleh ISCG.
Welcome ISCG…

Salam…

COAST GUARD - JCG

Japan Coastal Guard (JCG) adalah salah satu satuan ‘coast guard’ yang tangguh. Beberapa waktu lalu, ketika kita mendengar kabar beberapa pelaut asal Indonesia ‘hilang’ di perairan Jepang, JCG turun tangan berusaha mencari para pelaut Indonesia tersebut. Berada di bawah Kementerian Tanah, Infrastruktur dan Transportasi, didirikan semenjak tahun 1949 dan saat ini diperkirakan beranggotakan 12 ribu personel.
Tupoksi dan Organisasi
Tugas pokok organisasi JCG adalah :
Melakukan SAR
Survei Hidrografi dan Oseanografi.
Manajemen lalu lintas laut

JCG dipimpin oleh seorang Commandant serta dibantu oleh 2 wakil Commandant. Satu layer di bawahnya dibantu oleh 5 direktur jenderal yang mengepalai departemen. Masing-masing direktur jenderal dibantu oleh beberapa direktur sesuai dengan bidang penugasannya. Selain juga ada inspektur jenderal, yang setara dengan direktur jenderal.
JCG dibagi atas 5 departemen: Administrasi, Equipment & Technology, Guard & Rescue, Hydrographic & Oceanographic dan Maritime Traffic Management. Selain itu didukung oleh ‘Japan Coast Guard Academy’, yang berlokasi di Kure, Hiroshima. Akademi ini bertugas untuk mendidik calon perwira JCG. Organisasi ini juga didukung oleh 2 unit pasukan khusus: Special Security Team dan Special Rescue Team.
Tugas JCG cukup berat karena bersinggungan dengan beberapa wilayah ‘panas’, yang dapat memancing ‘perang’. Beberapa wilayah ‘panas’ yang diawasi oleh JCG adalah perbatasan dengan Korea Utara, perbatasan dengan Cina, dan Laut Cina Selatan.
JCG membagi wilayah pengawasannya menjadi sebelas region:

Region 1 bermarkas di Otaru
Region 2 bermarkas di Shiogama
Region 3 bermarkas di Yokohama
Region 4 bermarkas di Nagoya
Region 5 bermarkas di Kobe
Region 6 bermarkas di Hiroshima
Region 7 bermarkas di Kitakyushu
Region 8 bermarkas di Maiduru
Region 9 bermarkas di Niigata
Region 10 bermarkas di Kagoshima
Region 11 bermarkas di Naha

Salam…

COAST GUARD – USCG

United States Coast Guard adalah satuan coast guard ‘tertua’ di dunia. Berdiri pada 4 Agustus 1790, saat ini berada dibawah Departemen Keamanan Dalam Negeri (Department of Homeland Security). Apabila dalam kondisi diperlukan, USCG dapat langsung di-bko-kan di bawah Departemen AL atas perintah Presiden. Tugas aktifnya berperan sebagai penegak hukum di laut (baik domestic maupun perairan internasional) serta berperan sebagai badan regulator federal. Motto USCG: ‘Semper Paratus’ yang berarti selalu siap (always ready). Julukan ‘formal’ untuk setiap anggota USCG adalah ‘Coast Guardsman’. Panggilan ‘non-formal’ adalah ‘Coastie’.
Tupoksi
Tugas pokok organisasi USCG adalah:
>Menjaga keselamatan pelayaran (Maritime safety) termasuk SAR
>Maritime Mobility
>Menjaga keamanan laut (Maritime Security)
>Menjaga pertahanan nasional (National Defense)
>Perlindungan tas sumber daya alam (Protection of natural resources)

Tugas pokok ini kemudian dijabarkan dalam 11 misi utama:
>Penjagaan pelabuhan, jalur laut dan pantai (Port, Waterway and Coastal Security/PWCS)
>Counter Drug Law Enforcement
>Migrant Interdiction
>Penegakan hukum atas penangkapan ikan oleh pihak asing (foreign fisheries)
>Perlindungan atas penangkapan ikan domestik (domestic fisheries)
>Keselamatan laut (Maritime Safety)
>Perlindungan lingkungan laut (Maritime Environment Protection)
>Ice Operation
>Bantuan Navigasi
>Siaga pertahanan (Defense Readiness)
>Maritime Environmental Response (MER)

Berdasarkan data dari Wikipedia, per Oktober 2006, USCG beranggotakan 46 ribu ‘dinas aktif’, 8 ribu ‘reserve’, 7 ribu petugas sipil dan 30 ribu Auxiliarist.
Untuk tugas SAR, merupakan tugas USCG paling ‘tua’. Bersama USAF, mengelola Rescue Coordination Center, yang bertanggung jawab dalam SAR. USCG bertanggung jawab untuk SAR laut, sementara USAF bertanggung jawab untuk operasi darat.
Dalam rangka pelaksanaan tugas menjaga lingkungan laut, maka USCG membentuk National Response Center (NRC). Badan ini bertanggung jawab dalam melindungi lingkungan laut di wilayah AS beserta teritorinya.
USCG termasuk dalam angkatan bersenjata AS, dimana bila dibutuhkan dapat langsung diberdayakan. Pada Oktober 2007, USCG bersama US Navy dan US Marine Corp menerapkan strategi pertahanan laut bersama yang disebut: ‘A Cooperative Strategy for 21st Century Seapower’. Dengan strategi ini, ketiga matra ini bekerja sama secara kolektif dalam pertahanan laut AS.
Personel
Personel USCG dikategorikan dalam 2 kelompok: kelompok perwira dan kelompok bintara. Kelompok perwira berasal dari 4 sumber: US Coast Guard Academy (USCGA), Officer Candidate School (OCS), Direct Commission Officer Program (DCOP), dan College Student Pre-commissioning Initiative (CSPI).
USCGA berlokasi di Sungai Thames di New London, Connecticut. Setiap tahunnya, hanya menerima 225 taruna. Setelah lulus dari USCGA, dilantik dengan pangkat Ensign (O-1 setara Letda di TNI) dengan ikatan dinas aktif selama 5 tahun. Sekitar 70% lulusannya bertugas pada kapal USCG, sekitar 10% ditugaskan menjadi penerbang USCG dan sisanya bertugas sebagai tenaga administratif.
Program OCS adalah program pendidikan bagi bintara untuk menjadi perwira. Tidak semua bintara dapat menempuh jenjang ini, ada kriteria khusus untuk dapat menempuhnya. Lulusan dari OCS diberi pangkat Ensign (O-1 setara Letda di TNI) atau Lieutenant Junior Grade (O-2 setara Lettu di TNI) atau Lieutenant (O-3 setara Kapten di TNI). Untuk pemberian pangkat O-2 atau O-3 tergantung pada kemampuan ‘istimewa’ yang dimiliki.
Program DCO ditujukan pada seseorang yang memiliki keahlian ‘khusus’, yang tidak dimiliki oleh USCG, seperti: ahli hukum, dokter, insinyur, intelijen, pilot tempur yang berasal dari matra tempur dalam lingkup angkatan bersenjata AS.
Program CSPI adalah program beasiswa untuk mahasiswa tingkat akhir, yang nantinya akan menjadi perwira USCG. Para mahasiswa yang masuk dalam program ini diberi pengetahuan tentang kepemimpinan, manajemen, penegakan hukum, pelatihan navigasi dan ilmu kelautan.
Untuk kategori bintara dibagi atas 2 kelompok: bintara tinggi (Chief Warrant Officer atau CWO) dan bintara ‘biasa’. Untuk menjadi bintara tinggi adalah dipilih dari bintara berpangkat E-6 sampai dengan E-9, dengan pengalaman minimum 8 tahun serta memiliki kemampuan ‘khusus’. CWO yang berprestasi dapat dipromosikan ke jenjang perwira dan dapat langsung diberi pangkat Lieutenant (O-3E), setelah bertugas aktif lebih dari empat tahun.
Untuk bintara ‘biasa’, jenjang karir dimulai dari masuk ‘boot camp’ dengan menjalankan ‘basic training’ di ‘Coast Guard Training Center’, Cape May, New Jersey. Boot camp dijalani selama 8 minggu. Setelah lulus, akan mengikuti pelatihan lanjutan (‘A’ School) sesuai dengan kecabangan (rating) berdasarkan minat dan bakatnya. Apabila telah mencapai pangkat E-7, diwajibkan untuk mengikuti ‘Chief Petty Officer Academy’ di Petaluma, California.
Kendala USCG
USCG juga tidak lepas dari berbagai kendala yang dihadapi dalam penugasannya, antara lain:
Lemah dalam pemantauan area (lack of coverage), luasnya wilayah AS menyebabkan beberapa area tidak terpantau dengan baik.
Kurangnya personel dalam pemenuhan tugas untuk menjaga wilayah perairan AS.
Kapal-kapal yang telah ‘berumur’, dimana USCG tidak dapat optimal dalam pelaksanaan tugasnya.
Kurangnya latihan untuk peningkatan kemampuan ‘perang’ dari USCG.

Salam…

COAST GUARD: BAKORKAMLA

Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) atau dalam bahasa Inggris adalah Indonesia Maritime Security Coordinating Board (IMSCB) adalah badan yang dibentuk kembali setelah pada tahun 1972 sempat dibentuk badan yang sama namun vakum. Mulai tahun 2003, Menko Polkam membentuk Kelompok Kerja Perencanaan Pembangunan Keamanan dan Penegakan Hukum di Laut. Selain itu diadakan serangkaian seminar dan rapat koordinasi lintas sektoral untuk pemantapan suatu badan penegakan hukum di laut. Pada tanggal 29 Desember 2005, melalui Peraturan Pemerintah no 81 tahun 2005 dibentuklah kembali Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla). Bakorkamla ini beranggotakan 12 instansi: Dephan, TNI-AL, TNI-AU, Polri, BIN, Kejakgung, Depkumham, DKP, Dephub, Depkeu, Depdagri dan Deplu.
Dengan visi terwujudnya upaya penciptaan keamanan, keselamatan dan pengakan hukum dalam wilayah perairan Indonesia secara terpadu, Bakorkamla mempunyai misi (1):
Merumuskan dan menetapkan kebijakan umum di bidang keamanan laut
Mengkoordinasikan pelaksanaan kegiatan dan operasi keamanan laut di wilayah perairan Indonesia.
Merumuskan dan menetapkan penyelenggaraan dukungan teknis dan administrasi di bidang keamanan laut.
Membantu peningkatan kapasitas kelembagaan di bidang keamanan laut
Mendorong peningkatan peran serta masyarakat di bidang keamanan laut.
Kritikan
Pembentukan Bakorkamla tahun 1972, yang dibentuk berdasarkan Skep bersama Menhankam/Pangab, Menkeu, Menkeh dan Jakgung tahun 1972, sepertinya tidak menjadi pelajaran bagi pemerintah. Bakorkamla hanya berfungsi sebagai badan koordinasi semata dan tidak menghilangkan kewenangan instansi di bawahnya dalam penegakan hukum di laut. Fungsi inilah yang menyebabkan kegagalan dalam pelaksanaan tugas serta tumpang tindih dalam pelaksanaan di lapangan. Secara operasional, Bakorkamla bentukan tahun 1972 dengan Bakorkamla bentukan tahun 2005 tidak berbeda jauh, karena mengandalkan pada instansi yang sudah eksis pada Bakorkamla bentukan tahun 1972.
Selain itu, ‘ego’ masing-masing instansi menyebabkan lemahnya kerja sama serta menimbulkan biaya tinggi bagi perusahaan pelayaran.
Selain itu, ada gelagat instansi-instansi ‘darat’ mencoba untuk melebarkan kewenangannya ke wilayah laut. Hal ini aneh, karena secara yuridis seharusnya rezim hukum di darat tidak sama dengan hukum laut. Perlu dipahami bahwa rezim hukum di laut menganut pada ‘bendera’ kapal yang mendeklarasikan suatu negara.
Pembentukan Bakorkamla ini juga menjadi kendala bagi pembentukan Penjaga Laut dan Pantai (Palapa), yang diharapkan nantinya mempunyai kekuatan ‘tunggal’ dalam penegakan hukum di laut.
Belajar dari Malaysia
Malaysia rupanya belajar dari kegagalan Bakorkamla bentukan tahun 1972. Pada tahun 2005, dibentuklah Maritime Enforcement Agency, yang menjadikan badan ini penegak hukum ‘tunggal’ di laut. Badan ini merupakan suatu badan pemerintahan yang bertanggung jawab langsung ke PM Malaysia. Pendirian badan ini juga sekaligus menghilangkan ‘wewenang hukum’ 11 instansi yang selama ini mempunyai wewenang di laut. Badan ini dapat dijadikan kekuatan cadangan AL Malaysia (TLDM) bila diperlukan. ‘Coast Guard’ Malaysia ini juga dilengkapi dengan ‘pasukan khusus’ yang disebut ‘STAR’, yang sebagian direkrut dari AL dan AU Malaysia.
Keluarnya UU no 17/2008 diharapkan menjadi tonggak awal berdirinya ‘coast guard’ Indonesia. Sebagaimana diamanatkan oleh UU tersebut, maka akan dibentuk Penjaga Laut dan Pantai Republik Indonesia (PALAPA-RI) atau dalam bahasa Inggris: Indonesia Sea and Coast Guard (ISCG). Diharapkan pada tahun 2009 ini telah terbentuk ISCG dan mulai efektif beroperasi pada tahun 2010.

Salam…

COAST GUARD: ‘LAW ENFORCEMENT AT THE SEA’

‘Coast Guard’ adalah terminologi yang digunakan untuk satuan penjaga pantai di beberapa negara, namun memiliki keragaman dalam penugasannya. Pada umumnya ‘Coast Guard’ bertugas sebagai penyelamat insiden di pantai/laut (maritime/sea rescue), penegakan hukum laut, menjaga batas negara dan lain-lain. Di beberapa negara, pada masa perang, Coast Guard ditugaskan untuk menjaga pertahanan pangkalan, intelijen dan patrol laut. Keragaman ini dapat juga dilihat dari fungsi organisasi. Beberapa negara memasukkan ‘coast guard’ sebagai bagian dari organisasi militer, sebagian lagi memasukkannya sebagai organisasi ‘sipil’, bahkan beberapa negara lain merupakan organisasi swasta. Untuk keperluan tugas, semua organisasi ‘coast guard’ memiliki kapal laut dan pesawat terbang, termasuk helicopter dan seaplane.
Tipe dan Peran
Berbagai tipe dan peran ‘coast guard’ dari beberapa negara, memperlihatkan keragaman organisasi ini:
Badan Pemerintah: di Bangladesh, Prancis, India, Pakistan dan Italia, berdiri sebagai suatu badan pemerintah yang bertugas menjaga wilayah laut dan pantai.
Kombinasi fungsi penegak hukum dan militer: Islandia, AS, dan Taiwan, merupakan suatu badan yang berfungsi sebagai penegak hukum dan pada masa perang, dapat digunakan sebagai pasukan militer.
Fungsi sebagai penegak hukum: Malaysia, Singapura dan Philipina menjadi ‘coast guard’ sebagai penegak hukum di laut.
Kombinasi penegak hukum dengan badan sipil: Jerman mendirikan ‘coast guard’ yang merupakan gabungan dari petugas sipil dari berbagai organisasi maritime dengan kepolisian Jerman.
Organisasi sipil: Kanada, Selandia Baru, dan Inggris menjadikan ‘coast guard’ sebagai organisasi sipil dan mitra dari penegak hukum. Para anggotanya berasal dari kalangan sipil yang memiliki perhatian dengan masalah kelautan.
Pentingnya Coast Guard
Sebuah ilustrasi menarik bagaimana hasil rata-rata per hari yang dihasilkan oleh USCG. Data ini dicuplik dari military.com dan beberapa hasil yang dicapai sebagai berikut:
Menyelesaikan 109 kasus SAR.
Melindungi property senilai USD 2,791,841
Berhasil menggagalkan 169 pound Marijuana dan 306 pound Kokain senilai USD 9,589,000
Berhasil mencegah masuknya 14 imigran illegal
Salam…

Minggu, Maret 22, 2009

PERJALANAN SEORANG SINTONG PANJAITAN



JUDUL: Sintong Panjaitan - Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando
PENULIS: Hendro Subroto
TERBIT: Maret 2009
Cetakan: keempat – Maret 2009
PENERBIT: Penerbit Buku Kompas
Halaman: 522 + xxx







Selama dua minggu, penulis menyatroni sebuah toko buku besar di bilangan Matraman, Jakarta untuk mencari buku ini dan akhirnya tadi malam (21/3), berhasil mendapatkannya. Buku ini sudah mendapatkan ekspose yang luar biasa semenjak hari pertama terbit. Bahkan pada launching buku ini, beberapa stasiun TV meliput secara langsung acaranya. Apa sich yang membuat buku ini heboh?
Unofficial biography
Seperti yang ditegaskan oleh Pak Hendro Subroto, penulis buku ini, buku ini bukan merupakan otobiografi maupun biografi dari Letjen (Purn) Sintong Panjaitan. Hendro Subroto adalah wartawan ‘perang’ kawakan yang sangat dekat dengan ABRI/TNI. Sebagai jurnalis TVRI, beliau terjun langsung meliput ke kawasan ‘perang’. Beberapa peristiwa ‘penting’ ia liput secara langsung: konfrontasi dengan Malaysia di Serawak, operasi penumpasan DI/TII di Sulseltra, termasuk meliput langsung tewasnya Kahar Muzakar, pengangkatan jenazah para jenderal di Lubang Buaya pada G30S, juga meliput operasi penumpasannya di Jateng, operasi jelang Pepera Irian, operasi Seroja di Tim-Tim. Liputan ‘perang’ di luar negeri yang pernah dilakukan adalah perang Vietnam, perang Kamboja, perang perbatasan Vietnam – Cina, perang sipil di Sudan Selatan tahun 1986, dan perang teluk tahun 1991. Dari pertemuan selama meliput ‘perang’ di dalam negeri inilah, Hendro Subroto mengenal Sintong Panjaitan.
Lahir pada tanggal 4 September 1940 di Tarutung dengan nama Sintong Hamonangan Panjaitan. Ia anak ketujuh dari sebelas bersaudara. Semula ia tertarik untuk mengabdi menjadi prajurit AURI. Ketertarikan pada AURI, karena ia tertarik akan ‘kehebatan’ pesawat Tjotjor Merah (P-51 Mustang) AU Belanda pada perang kemerdekaan. Selepas SMA, ia mendaftar ke AAU dan dinyatakan diterima dengan syarat harus operasi amandel. Setelah operasi, ternyata panggilan masuk pendidikan tidak muncul. Sebenarnya ia sudah dipanggil kembali, namun surat panggilan tersebut disembunyikan oleh ibunya. Sambil menunggu panggilan dari AURI, Sintong mengikuti tes masuk Akademi Militer Nasional (AMN) dan diterima sebagai taruna pada tahun 1960. Ia lulus dengan urutan 38 dari 117 taruna pada tahun 1963.
Kemudian mengikuti sekolah dasar kecabangan infanteri dan selanjutnya ditempatkan sebagai perwira pertama di Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD). Sambil menunggu untuk ikut sekolah para komando, sebagai syarat kualifikasi anggota RPKAD, ia ‘dimagangkan’ menjadi danton pada Yonif 321, Brigif 13, Kodam Siliwangi. Bersama Yonif 321 ini, ia terjun dalam penumpasan DI/TII di Sulseltra dengan sandi ‘operasi kilat’. Pada Februari 1965, ia masuk sekolah para komando dan lulus enam bulan kemudian. Nyaris diterjunkan ke Sarawak untuk memandu sukarelawan, namun keburu terjadi G30S.
Pada awal penumpasan G30S, Sintong terlibat aktif. Ia bersama anggota peletonnya, berhasil merebut Gedung RRI Pusat, pengamanan pangkalan Halim Perdanakusuma, dan menemukan ‘kuburan’ korban penculikan di Lubang Buaya. Kemudian ditugaskan ke daerah Jateng untuk menumpas G30S serta para petinggi PKI yang kabur ke daerah ini. Daerah Jateng merupakan basis PKI ‘terkuat’ karena hampir semua pejabat militer ‘level atas’ di daerah ini berhasil dibina oleh PKI.
Pada awal tahun 1967, Sintong ditugaskan ke Irian Jaya dalam rangka Pepera. Penugasan di daerah ini dijalani sampai dengan awal tahun 1970. Pada akhir tahun 1972, ditugaskan di Kalbar dalam rangka penumpasan PGRS/PARAKU. Ikut serta dalam perencanaan operasi linud dalam rangka ‘merebut’ kota Dili pada Desember 1975, namun karena suatu hal tidak dapat ikut serta. Meskipun diawal integrasi Tim-Tim tidak ikut dalam operasi Seroja, karena mengikuti Seskoad, namun ia termasuk ‘akrab’ dengan daerah Tim-Tim.
Sukses dalam operasi pembebasan sandera ‘Woyla’, membawanya menjadi Komandan Grup 3/Sandiyudha di Kariango, Makassar. Pada saat reorganisasi ABRI pada tahun 1985, ia ditugaskan komandan jenderal pasukan elit AD. Dengan berat hati, ia melakukan ‘perampingan’ dan merubah Kopasandha menjadi Kopassus. Sukses dengan reorganisasi Kopassus, ia menjadi Danpussenif dan ditugaskan untuk melakukan pembenahan organisasi. Pembenahan organisasi Pussenif berjalan sukses dan Ia dipromosikan menjadi Pangdam IX/Udayana, posisi komando terakhir yang dijabatnya dalam lingkup TNI, sebelum terjungkal akibat peristiwa 12 November 1991.
Mei 1998
Kerusuhan Mei 1998 mendapat perhatian khusus dari Sintong Panjaitan. Pada bab ini, ia menceritakan bagaimana keterlibatan serta peristiwa sebelum dan sesudah peralihan kekuasaan. Sebagai penasehat ‘militer’ Habibie, sebuah fungsi yang telah dijalaninya semenjak tahun 1994, ia banyak memberi masukan pada Habibie pada saat-saat peralihan. Ia yang mengusulkan pada Habibie, agar dapat memberikan pernyataan guna menenangkan masyarakat akibat kerusuhan 13 dan 14 Mei 1998.
Ia mempertanyakan sikap Jenderal Wiranto, yang saat itu menjadi Menhankam/Pangab, yang ‘meninggalkan’ Jakarta untuk menjadi inspektur upacara serah terima Pasukan Pemukul Reaksi Cepat (PPRC) di Malang pada tanggal 14 Mei 1998. Kepergian ke Malang diikuti oleh hampir petinggi ABRI. Sampai saat ini, tidak ada kejelasan mengapa hampir semua petinggi militer malah terkesan ‘cuek’ atas kerusuhan yang terjadi. Wiranto pun sering kali menghindar dan apabila terpaksa menanggapi masalah ini, terkesan ‘melempar’ tanggung jawab pada Pangdam Jaya.
Sintong mempertanyakan mengapa Inpres no. 16/1998 tentang pembentukan Komando Operasi Kewaspadaan dan Keselamatan Nasional (KOPKKN), sejenis Kopkamtib pada awal era orba, tidak dijalankan oleh Wiranto. Sintong berpendapat seharusnya Wiranto mundur dari jabatannya karena menolak menjalankan perintah dari Presiden selaku panglima tertinggi. Bagi Sintong, disiplin prajurit tidak dilaksanakan oleh Wiranto karena menolak perintah atasan dan sudah sepatutnya mundur.
Sintong juga mempertanyakan peran Prabowo pada masa peralihan tersebut. Mengapa ia tidak berusaha keras untuk membela Soeharto, yang notabene mertuanya? Padahal Ia punya ‘kekuatan’ untuk dapat tampil membela mertuanya. Akan tetapi justru, ia bergabung dengan ‘gerakan reformasi’, yang membuatnya dimusuhi oleh keluarga Cendana. Prabowo, melalui ‘antek’-nya: Mayjen Kivlan Zein (Kas Kostrad waktu itu) dan Mayjen Muchdi PR (Danjen Kopassus), merekayasa surat dari Jenderal Besar AH Nasution agar dijadikan KSAD. Prabowo mengetahui bahwa Habibie sangat hormat pada Pak Nas. Sintong mempertanyakan peran Mayjen Muchdi PR yang menurutnya janggal. Mengapa Danjen Kopassus mau menerima perintah dari Pangkostrad (Prabowo), padahal Kopassus dan Kostrad berkedudukan sejajar?
Sintong juga memberikan klarifikasi tentang pergantian jabatan Prabowo, dari Pangkostrad menjadi Dansesko ABRI. Putusan pergantian tersebut diputuskan oleh Habibie dan disampaikan langsung ke Wiranto. Klarifikasi ini dirasa perlu karena seolah-olah merupakan tindakan balas dendam Sintong karena pemecatan sebagai Pangdam Udayana akibat peristiwa 12 November 1991. Menurut Sintong, Mabes ABRI belum pernah menyampaikan laporan resmi tentang peristiwa 12 November 1991, namun Presiden sudah memberikan ‘hukuman’ terlebih dahulu. Dasar ‘hukuman’ tersebut berdasarkan laporan dari Prabowo dan Letkol Sjafrie Sjamsoeddin. Sjafrie Sjamsoedin, pada peristiwa 12 November 1991, menjabat sebagai Wadan Satgas Intel Kolakops Tim-Tim. Anehnya, Sjafrie berhasil lolos dari ‘hukuman’, sementara atasannya, Kolonel Binsar Aruan (Dan Satgas Intel Kolakops Tim-Tim) justru dicopot. Seharusnya Sjafrie juga ikut bertanggung jawab atas peristiwa tersebut.
Sintong mengeluhkan ‘sikap buruk’ Prabowo yang tidak sopan terhadap presiden. Prabowo datang menghadap Presiden dengan senjata lengkap pada tanggal 22 Mei sore hari. Sintong khawatir terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Oleh karena itu, ia melucuti senjata Prabowo. Selain itu, sikap Prabowo ‘menawar’ jabatan KSAD, tidak mencerminkan sikap seorang prajurit. Oleh karena itu, ia memastikan Prabowo dicopot dari jabatannya paling lambat sebelum matahari tenggelam. Jabatan Pangkostrad kemudian dikuasakan pada Mayjen Johny Lumintang, yang mencatat ‘rekor’ memegang jabatan tersebut ‘hanya’ enam jam!!
12 November 1991 versi Sintong
Sintong Panjaitan mulai menjabat Pangdam IX/Udayana sejak 12 Agustus 1988, dimana Tim-Tim merupakan salah satu daerah yang menjadi tanggung jawabnya. Pada awal masa jabatannya, ia mengubah sifat operasi militer di Tim-Tim dari operasi tempur ke operasi territorial, yang lebih murah. Peralihan sifat operasi militer ini membawa hasil keamanan yang kondusif, sekaligus menjadi awal malapetaka 12 November 1991. Pada tahun 1990, Tim-Tim dinyatakan wilayah ‘terbuka’ sama dengan wilayah lainnya. Keterbukaan ini dimanfaatkan oleh Parlemen Portugal untuk berkunjung ke Tim-Tim. Kunjungan ini direncanakan sekitar bulan Oktober - November1991.
Kunjungan tersebut akhirnya batal karena sikap ‘arogan’ Parlemen Portugis, yang tidak menghormati Indonesia serta Portugis ‘mengundang’ wartawan Internasional untuk bergabung dalam delegasi. Tidak sepantasnya Portugis berlaku seperti itu. Kunjungan ini akhirnya batal karena tidak mencapai titik temu dengan pihak Portugis.
Kunjungan delegasi Portugis sebenarnya akan dimanfaatkan oleh para pendukung kemerdekaan untuk unjuk gigi, namun niatan ini gagal. Pada tanggal 28 Oktober 1991, terjadi perkelahian antara pendukung pro-integrasi dengan pendukung kemerdekaan yang menyebabkan tewasnya pendukung dari kedua belah pihak. Prosesi penguburan pendukung kemerdekaan pada tanggal 12 November 1991 itulah pemicu terjadinya peristiwa Dili tersebut. Pada saat peristiwa tersebut, Sintong sedang mengikuti rapat di Akmil, Magelang dan keesokan harinya langsung terbang ke Dili dan mengambil alih komando militer yang ada.
Pemerintah membentuk Komis Penyelidik Nasional (KPN) untuk menyelidiki masalah ini. Sementara Mabes ABRI membentuk Dewan Kehormatan MIliter (DKM) sebagai counterpart. Pada tanggal 13 Januari 1992, KSAD mencopot 6 petinggi yang dianggap bertanggung jawab, termasuk Sintong Panjaitan.
Sintong mempertanyakan kinerja serta rekomendasi yang ternyata tidak pernah dilaporkan ke Presiden. Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, Presiden ‘bertindak’ terlebih dahulu berdasarkan laporan Prabowo dan Sjafrie Sjamsoeddin.
Coup d’etat Maret 1983
Tidak seperti Jenderal M. Jusuf yang berusaha menutupi peristiwa ini, Sintong Panjaitan justru malah membukanya. Jika pada buku biografi Jenderal Jusuf, hanya disebut tindakan seorang ‘perwira muda’ yang melemparkan isu adanya upaya kudeta oleh Benny Moerdani dkk, maka pada bukunya, Sintong menunjuk ‘hidung’. Secara terbuka, Ia menunjuk Prabowo sebagai pelempar isu tersebut.
Prabowo berniat menculik Benny Moerdani dkk yang diisukan akan melakukan kudeta. Asumsi Prabowo adalah Benny Moerdani ‘memasukkan’ senjata canggih ke Indonesia. Padahal persenjataan tersebut akan disalurkan ke pejuang Mujahidin Afganistan. Senjata-senjata tersebut merupakan ‘bantuan’ Indonesia, yang dibeli dari Israel dan Taiwan. ‘Bantuan’ ini juga sebelumnya telah diberikan pada pemerintah Kamboja untuk memerangi Khmer Merah serta Laos. Sintong memandang cara Prabowo mirip dengan cara Letkol Untung para Jenderal korban G30S. Tuduhan tersebut tidak terbukti.
Dampak dari peristiwa ini adalah Prabowo seolah ‘dendam’ pada semua orang yang tidak berpihak kepadanya, termasuk Sintong.
Penculikan Mahasiswa 1998
Menanggapi masalah penculikan mahasiswa tahun 1998, Sintong sangat menyayangkan tindakan yang ambil oleh Prabowo. Ia boleh mengambil tindakan apabila dirasa mengancam keamanan, namun harus dilaporkan pada atasan dalam hal ini KSAD dan Pangab. Prabowo tidak pernah melaporkan tindakan ini, sebagaimana pengakuannya pada Dewan Kehormatan Perwira (DKP).
Tim penculik yang bersandi ‘mawar’ berasal dari detasemen 81. Sebagai pendiri detasemen 81, Sintong merasa terpukul akan kenyataan ini. Ia merasa Prabowo ‘mengorbankan’ Mayor Bambang Kristiono selaku pimpinan tim mawar. Pada persidangan di mahkamah militer, tidak pernah terungkap siapa dalang yang memerintahkan tim mawar ini. Ia tahu persis, bahwa tidak mungkin tim mawar bertindak tanpa ada komando dari atas.
Satu hal menarik dari penulis, beberapa korban penculikan tim mawar ini malah bergabung dan menjadi caleg dari partai-nya Prabowo: Gerindra. Ah.. di dalam politik, tidak ada ‘musuh’ atau ‘teman’ sejati… yang ada kepentingan pragmatis…. Wahai bung-bung korban penculikan, dimana ‘air liur’ cacianmu dulu? Apakah kau telan lagi air liur itu?...

Salam…

PAMTAS: SIPADAN – LIGITAN

Mahkamah Internasional (International Court of Justice atau ICJ) pada tanggal 17 Desember 2002 memutuskan Malaysia adalah pemilik sah Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Dari 18 juri, 17 juri menyatakan pulau-pulau tersebut dimiliki Malaysia, sementara 1 juri menyatakan pulau-pulau tersebut milik Indonesia. Keputusan ini tentu menjadi tamparan keras kita akan ketidak seriusan dalam mengurusi daerah perbatasan. Menurut press release ICJ, dalam persidangan-persidangan yang dilakukan, para juri menolak menggunakan materi hukum yang disampaikan oleh kedua negara. Kaidah pembuktian yang digunakan adalah ‘continuous presence, effective occupation, maintenance and ecology preservation’. Dengan penggunaan materi tersebut, dapat dimengerti mengapa para juri memenangkan Malaysia. Faktanya, Malaysia telah membangun beberapa prasarana pariwisata di pulau-pulau tersebut. Inilah bukti ketidak seriusan Indonesia dalam mengelolanya (1).
Proses Sengketa
Kasus Sipadan-Ligitan ini muncul pada tahun 1969, dimana tim teknis landas kontinen kedua negara membicarakan batas dasar laut kedua negara. Pada peta Malaysia, pada waktu itu, kedua pulau tersebut tertera sebagai bagian wilayah Indonesia. Konyolnya, pada lampiran Perpu no. 4/1960 yang menjadi pedoman tim teknis Indonesia, kedua pulau tersebut tidak tertera. Dengan temuan tersebut, Indonesia merasa berkepentingan untuk mengukuhkan Sipadan-Ligitan. Malaysia, yang menyadari kelalaian Indonesia, langsung mengklaim dua pulau tersebut dengan sejumlah alasan, dalil hukum dan fakta. Karena tidak menemui titik temu, maka kedua pulau tersebut diberi status quo. Pada tahun 1989, kedua pulau ini kembali dibicarakan oleh kedua pimpinan negara: Presiden Soeharto dan PM Mahatir Muhamad.
Pada tahun 1992, kedua negara sepakat menyelesaikan masalah ini secara bilateral yang diawali dengan pertemuan pejabat tinggi kedua negara. Hasil pertemuan pejabat tinggi menyepakati dibentuknya Komisi Bersama (Joint Commission atau JC) dan Kelompok Kerja (Joint Working Group atau JWG). Serangkaian pertemuan JC dan JWG tidak membawa hasil. Pada tahun 1997, disepakati bahwa sengketa ini dibawa ke ICJ. ICJ resmi bersidang sejak 2 November 1998. Kedua negara memiliki kewajiban untuk menyampaikan posisi nya melalui ‘Written Pleading’ kepada ICJ pada tanggal 2 November 1999, diikuti dengan ‘Counter Memorial’ pada tanggal 2 Agustus 2000 dan ‘reply’ pada tangal 2 Maret 2001. Proses selanjutnya adalah ‘Oral Hearing’ dari kedua negara bersengketa pada tanggal 3 sampai dengan 12 Juni 2002. Untuk menghadapi dan menyiapkan materi tersebut, Indonesia membentuk satgas khusus yang terdir dari beberapa institusi: Deplu, Depdagri, Dephan, Mabes TNI, Departemen ESDM, Dishidros TNI AL, Bupati Nunukan, beberapa pakar kelautan dan hukum laut internasional. Dirjen Pol Deplu dan Dubes RI di Belanda ditunjuk sebagai LO di ICJ serta menunjuk Tim Penasehat Hukum Internasional. Total anggaran untuk melakukan persidangan ini adalah Rp 16 M (1).
Lesson Learn
Ketika Indonesia memutuskan jajak pendapat di Tim-Tim, banyak kalangan memperkirakan hasilnya seri antara pro-integrasi dengan pro-kemerdekaan. Namun kenyataan berkehendak lain, sebanyak kurang lebih 76,5 % penduduk Tim-Tim lebih memilih merdeka. Demikian pula dengan kasus Sipadan-Ligitan, banyak pengamat memperkirakan Indonesia menang tipis, atau paling tidak Pulau Sipadan menjadi milik Indonesia. Namun kenyataannya berkata lain, Indonesia kalah telak. Dari dua kasus ini, diduga ada pihak ‘ketiga’ yang bermain dan merugikan Indonesia.
Materi ‘continuous presence, effective occupation, maintenance and ecology preservation’ memberikan citra ‘buruk’ Indonesia dalam mengelola kawasan terluarnya. Apalagi dengan tidak adanya keseriusan dalam pengelolaan daerah perbatasan.
Beberapa pulau yang berapa di perbatasan Indonesia ‘diminati’ oleh beberapa negara tetangga. Pulau Nipah ‘diminati’ oleh Singapura. Pulau Rondo ‘diminati’ oleh India, Pulau Miangas sudah mulai dicoba diklaim oleh Philippina. Negara-negara tersebut besar kemungkinan menggunakan materi ’continuous presence & effective occupation’ yang sukses diterapkan oleh Malaysia, untuk dapat ‘merampok’ pulau-pulau tersebut dari Indonesia.
Antisipasi
Pembangunan infrastruktur menjadi agenda utama dalam pembenahan daerah perbatasan. Perlu segera dikeluarkan PP sebagai bentuk aplikasi dari UU no. 43/2008 agar dapat segera dirancang konsep pemberdayaan daerah perbatasan. Posisi penduduk harus dijadikan subyek pembangunan. Pembangunan infrastruktur juga harus ditunjang dengan pembangunan IPOLEKSOSBUD HANKAM.
Perlu pemetaan berkala sebagai bagian dari penegasan batas wilayah negara. Hal ini perlu untuk menjaga pertahanan serta pembangunan yang berkesinambungan. Perlu pelibatan aktif Bakosurtanal, Dittopad dan Janhidros-AL, yang selama ini menjadi ujung tombak pemetaan kawasan nasional.
Pendirian markas dan pangkalan pertahanan TNI pada wilayah sepanjang perbatasan, dimana hal ini menjadi bukti eksistensi Indonesia.
Pemberian subsidi serta kebijakan ekonomi khusus untuk masyarakat, termasuk aparat yang bertugas pada wilayah perbatasan. Dengan adanya subsidi ini, paling tidak dapat menggerakkan perekonomian masyarakat setempat.

Salam…

PAMTAS: ‘TUKANG PETA’

Ada tiga lembaga di Indonesia yang bertugas melakukan survey dan pemetaan wilayah nasional. Berikut profil lembaga-lembaga tersebut:
BAKOSURTANAL
Kegiatan survei dan pemetaan dilakukan resmi oleh pemerintah Indonesia sejak adanya PP no.71/1951 tentang pembentukan Dewan dan Direktorium Pengukuran dan Penggambaran Peta. Hal ini diperkuat dengan Keppres no. 263/1965 tentang pembentukan Dewan Survei dan Pemetaan Nasional (DESURTANAL) dan Komando Survei dan Pemetaan Nasional (KOSURTANAL). DESURTANAL bertugas melakukan pemetaan dengan inventarisasi sumber-sumber daya alam, sementara KOSURTANAL berfungsi sebagai pengkoordinasi kegiatan pemetaan nasional. Karena kebutuhan mendesak untuk penyusunan atlas nasional, maka dibentuk Badan Atlas Nasional dengan keputusan Presidium Kabinet Kerja no: Aa/D/37/1964.
Meletusnya G30S membuat pemerintah mengabaikan proyek atlas nasional. Selain itu juga, DESURTANAL dan KOSURTANAL ‘mati suri’. Setelah peralihan pemerintahan, pada tanggal 17 Oktober 1969, melalui Keppres no. 83/1969 dibentuk Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL). Dengan terbentuknya badan ini, dua badan lain melebur di dalamnya.
Melalui Keppres no 87/1998, dinyatakan bahwa Bakosurtanal adalah Lembaga Pemerintah non-departemen yang bertanggung jawab kepada Presiden, serta dalam kesehariannya berkoordinasi dengan Menristek.
DITTOPAD
Cikal bakal Direktorat Topografi TNI AD (DITTOPAD) adalah kantor ‘Sokuryo Kyoku’ milik tentara Jepang yang diambil alih oleh para pemuda pada tanggal 28 September 1945 dan kemudian menjadi salah satu badan di Kementrian Kehakiman. Pada tanggal 26 April 1946, badan ini diserahkan pada Kementrian Pertahanan. Tanggal ini selanjutnya menjadi hari jadi Topografi TNI AD.
Kembalinya Belanda, yang membonceng Inggris pada masa perang kemerdekaan, juga mendirikan dinas topografi (Top Dienst KNIL) di Jakarta. Seiring dengan pengakuan kedaulatan Indonesia tahun 1950, Inspektorat Topografi milik Indonesia digabungkan dengan Dinas Topografi KNIL (Top Dienst KNIL)
Bekerja sama dengan Australia, DITTOPAD melakukan pemetaan wilayah di Kalbar, Sumatera, Irian Jaya, Maluku dan pulau-pulau di sebelah barat dan timur Sumatera. Sejak 1989, DITTOPAD telah mampu melaksanakan pemetaan secara mandiri dan telah 78% wilayah nasional telah dipetakan.
Tugas utama DITTOPAD adalah membina dan menyelenggarakan penyediaan dan penyajian informasi geografi/medan dalam bentuk peta topografi data dan analisis medan sebagai pendukung tugas TNI AD.
Satu hal yang perlu disimak, ayah tiri Barack Obama: Lolo Soetoro, pernah menjadi perwira DITTOPAD dan mendapat beasiswa untuk meraih Master di Hawaii University. Ketika menempuh pendidikan Master inilah bertemu dengan Ann Dunham, ibu kandung Obama, yang juga menempuh pendidikan di tempat yang sama.
JANHIDROSAL
Jawatan Hidro-Osenografi TNI AL (JANHIDROSAL) adalah salah satu kotama fungsional di TNI AL yang memiliki tanggung jawab terhadap pemetaan navigasi laut Indonesia, dan merupakan satu-satunya institusi yang memiliki tanggung jawab tersebut. Jawatan ini pertama kali dibentuk tahun 1961 untuk dapat melakukan pemetaan laut untuk keperluan militer dan sipil. Dengan semboyan Jala Citra Praja Yodha – Petakan Laut Nusantara untuk kejayaan, menjadikan institusi ini diakui secara internasional. Organisasi Hidro-Oseanografi Internasional (International Hydrographic Organization atau IHO) dan Organisasi Maritim Internasional (International Maritime Organization atau IMO) hanya mengakui peta navigasi laut Indonesia yang dibuat oleh JANHIDROSAL.
Sebagai negara kepulauan, seharusnya JANHIDROS memiliki banyak awak untuk dapat memetakan wilayah Indonesia. Namun kenyataannya, kondisi anggaran TNI tidak dapat memenuhi bagaimana idealnya sebuah institusi hidro-oseanografi. Di samping itu, perlu dibangun budaya organisasi kelas dunia, karena JANHIDROSAL merupakan institusi yang diakui di tingkat dunia.
Hasil survey pemetaan navigasi laut ini banyak digunakan oleh berbagai institusi, khususnya pemerintahan. Pihak militer yang berkepentingan dengan peta navigasi laut ini adalah Dephan, Mabes TNI, TNI AD dan TNI AL. Peta ‘militer’ yang dihasilkan: peta peperangan laut, peta layer untuk kapal selam, peta operasi gabungan, peta pendaratan amfibi, peta ruang pertahanan dan lain sebagainya.
Terkait dengan Sea Lines of Communications (SLOCs), Jawatan ini menyediakan peta laut dan publikasi nautis, yang wajib dimiliki kapal yang berlayar di wilayah Indonesia. JANHIDROSAL sedang menyelesaikan peta navigasi elektronik yang meliputi 3 Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI). Penyelesaian peta navigasi elektronik wilayah Indonesia harus segera diselesaikan karena IMO telah mencanangkan penggunaan ‘Electronic Navigational Chart’ (peta navigasi elektronik) per tanggal 1 Juli 2010.
Deplu merupakan pengguna peta dari JANHIDROSAL demi kepentingan diplomasi perbatasan. Peta yang dibuat, diakui keabsahannya oleh PBB. Depdagri menggunakan peta JANHIDROSAL untuk penetapan batas wilayah administrative pemerintahan. DKP dan Kementrian KLH menggunakan peta navigasi laut untuk ‘maritime security and marine environmental protection’. BPPT menggunakan peta navigasi untuk kepentingan riset dan pengembangan teknologi kelautan.

Salam…

PAMTAS: UU NO 48/2008

UU ini lahir karena adanya keinginan untuk menegakkan hukum secara tegas atas kedaulatan wilayah sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945. Pengaturan wilayah negara yang dimaksud oleh UU no.48/2008 adalah wilayah daratan atau kontinen, perairan pedalaman, perairan kepulauan, laut territorial beserta dasar laut dan tanah di dalamnya, serta ruang udara yang berada di atas, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
UU ini mengatur tentang wilayah yurisdiksi, dimana wilayah tersebut merupakan wilayah di luar wilayah negara yang terdiri atas ZEE, landas kontinen dan zona tambahan, dimana negara memiliki hak kedaulatan dan kewenangan sesuai hukum internasional.
ZEE Indonesia adalah area di luar dan berdampingan dengan laut territorial Indonesia dengan batas terluar 200 mil laut dari garis pangkal dari lebar laut territorial diukur.
Landas kontinen Indonesia meliputi dasar laut dan tanah di bawahnya dari area di bawah permukaan laut yang terletak di luar laut territorial, sepanjang kelanjutan alamiah wilayah daratan hingga pinggiran luar tepi kontinen, atau hingga suatu jarak 200 mil laut dari garis pangkal dari lebar laut territorial diukur, dalam hal pinggiran luar tepi kontinen tidak mencapai jarak tersebut, hingga paling jauh 350 mil laut sampai dengan jarak 100 mil laut dari garis kedalaman 2500 m.
Zona tambahan Indonesia adalah zona yang lebarnya tidak lebih 24 mil laut yang diukut dari garis pangkal dari lebar laut territorial diukur.
Batas wilayah negara diatur juga dalam UU ini. Yang dimaksud batas wilayah negara adalah pemisah kedaulatan suatu negara yang didasarkan atas hukum internasional. Untuk mengelola kawasan perbatasan, dibentuklah suatu badan pengelola tingkat nasional dan daerah. Badan ini bertanggung jawab kepada Presiden atau Kepala Daerah setempat. Badan ini bertanggung jawab atas konsep serta administratif pembangunan kawasan tersebut.
Perlu diatur perjanjian perbatasan darat dan laut dengan negara-negara tetangga. Untuk batas wilayah darat, Indonesia harus mengatur perjanjian perbatasan dengan Malaysia, Papua Nugini dan Timor Leste. Untuk perbatasan wilayah laut, Indonesia harus mengadakan perjanjian kesepakatan dengan Malaysia, Papua Nugini, Singapura dan Timor Leste.
Pelibatan masyarakat dalam menjaga dan membangun kawasan perbatasan juga disinggung dalam UU ini.

Salam…

PAMTAS: TERAS INDONESIA

Daerah perbatasan Indonesia selama ini kurang mendapat perhatian lebih dari pemerintah. Hal ini diakibatkan pandangan sentralistik pembangunan, sejak jaman orla sampai jaman pemerintah era reformasi saat ini. Daerah perbatasan dianggap sebagai daerah ‘halaman belakang’ (backyard) Indonesia, sehingga tidak heran bahwa pembangunan di daerah-daerah perbatasan sangat tertinggal.
Peristiwa ‘hilang’-nya Sipadan-Ligitan merupakan tamparan keras bagi kita bahwa kita harus mulai memperhatikan daerah-daerah perbatasan. Kita harus belajar dari pengalaman ini dan mulai menjadikan daerah perbatasan sebagai ‘teras’.
Kesenjangan di Daerah Perbatasan
Kurangnya perhatian dari pemerintah atas daerah perbatasan menyebabkan adanya kesenjangan ekonomi yang semakin tajam dengan negara tetangga. Hal ini terjadi pada daerah-daerah yang berbatasan dengan Malaysia, Filipina dan Singapura. Sebagai contoh adalah perbatasan Indonesia dengan Malaysia. Di sepanjang daerah kontinental perbatasan dengan Malaysia, dapat dilihat perbedaan mencolok antara masyarakat yang tinggal di daerah perbatasan. Akses serta infrastruktur yang bagus, yang disediakan Malaysia, sangat kontras dengan akses serta infrastruktur yang dibangun oleh Indonesia. Malaysia menyadari potensi ekonomi di beberapa daerah perbatasannya sangat tinggi, terutama untuk sektor minyak dan gas. Oleh karena itu, perlu adanya pertahanan yang kuat untuk menjaga aset bangsa. Pembentukan Askar Wataniah serta Maritime Enforcement Agency (MEA) merupakan bentuk ‘keseriusan’ Malaysia dalam menjaga daerah perbatasan. Askar Wataniah merekrut warga perbatasan untuk menjadi tentara penjaga perbatasan. Secara diam-diam banyak juga WNI yang bergabung dengan pasukan ini. MEA merupakan pasukan ‘coast guard’ yang baru dibentuk sekitar tahun 2007 untuk memperkuat pertahanan di laut Malaysia.
Kesenjangan ekonomi serta terbatasnya ‘kekuatan’ Indonesia dalam menjaga perbatasan, membuat semakin marak illegal fishing, illegal logging, illegal labor serta berbagai penyelundupan lainya. Daerah Nunukan, Tahuna, Batam, dan Dumai merupakan daerah-daerah yang ‘terkenal’ sebagai daerah rawan penyeleundupan. Hal ini sudah barang tentu hilangnya potensi devisa Indonesia.
Keterbatasan infrastruktur dan sarana wilayah merupakan poin penting yang selama ini terlupakan, sehingga relatif terisolir dan diberi status ‘daerah tertinggal’.
Tidak Serius
Pemerintah Indonesia tidak serius menggarap masalah daerah perbatasan. Setelah lebih setengah abad baru mengeluarkan Keppres no. 44/1994 tentang Badan Pengendalian Pembangunan Kawasan Perbatasan, yang diketuai oleh Menhankam. Tahun 1997 dikeluarkan Peraturan Pemerintah no. 47/1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), yang menetapkan kawasan-kawasan andalan termasuk diantaranya adalah daerah perbatasan.
Kedua aturan tersebut mandul. Keppres no. 44/1994 tidak menghasilkan sesuatu apapun bagi pembangunan kawasan perbatasan, bahkan tidak memiliki konsep sama sekali. Ditengarai penerbitan Keppres tersebut justru digunakan sebagai ‘legalisir’ kelompok-kelompok tertentu untuk mengeksploitasi sumber daya alam di daerah perbatasan. PP no. 47/1997 hanya sebatas PP semata dan tidak ada tindak lanjut dengan aturan-aturan yang lebih operasional. PP ini seolah tenggelam dengan gegap gempita reformasi yang terjadi pada tahun tersebut.
Bentuk ketidak seriusan pemerintah adalah tidak adanya koordinasi antar instansi dalam penanganan daerah perbatasan. Hampir semua instansi merasa mempunyai wewenang dan tanggung jawab mengelola daerah perbatasan.
Setelah 10 tahun lebih tidak ada kejelasan aturan dalam penanganan daerah perbatasan, keluarlah UU no. 43/2008 tentang Wilayah Negara. UU tersebut pada intinya mengatur batas-batas Indonesia dengan negara lain, pembentukan lembaga nasional dan daerah yang mengatur masalah kebijakan serta adminstratif masalah wilayah negara serta peran serta masyarakat dalam pengembangan kawasan perbatasan. UU ini lahir ditengah gegap gempita pemilu serta ‘kejar setoran’ DPR untuk memenuhi target Prolegnas 2008. UU ini juga masih mengatur garis besarnya saja. Perlu ada tindak lanjut untuk membuat juknis agar dapat dilaksanakan. Penulis khawatir, dengan adanya pemilu berkepanjangan ini akan membuat pemerintah lupa untuk membuat PP sebagai bentuk juknis dari UU tersebut.

Salam…

Rabu, Maret 18, 2009

PIRACY IN THE STRAIT OF MALACCA

Kasus bajak laut di Selat Malaka merupakan kasus yang sukar diberantas. Meskipun telah mengerah kekuatan AL dari 3 negara untuk mengawasi selat sepanjang 900 km (setara dengan 550 mil), tetap saja kasus-kasus pembajakan terjadi. Selat ini ‘mengundang’ bajak laut karena merupakan jalur perdagangan ‘paling sibuk’. Selat Malaka merupakan satu rangkaian penting dalam jalur perdagangan modern, di samping Terusan Suez, pelabuhan-pelabuhan minyak di Teluk Persia, pelabuhan Singapura, Hong Kong, Taiwan, Pusan dan Tokyo. Dengan banyaknya pulau-pulau kecil serta hilir sungai, menjadi Selat Malaka merupakan lokasi ideal untuk bersembunyi dan menyergap kapal dagang.
Dilihat dari sejarah, kasus pembajakan di Selat Malaka bukan sebagai ‘way of life’ akan tetapi sebagai alat politik. Pada abad 14, seorang pangeran asal Kerajaan Sriwijaya: Parameswara dengan bantuan Suku Orang Laut berhasil menguasai Semenanjung Malaka berikut dengan Selatnya dan mendirikan Kesultanan Malaka. Kesultanan ini memainkan peran penting dari abad 15 sampai dengan abad 19 di kawasan Asia Tenggara. Para penjajah dari Eropa: Portugis, Belanda dan Inggris, berusaha untuk mendekati pihak kesultanan dan mencoba mengambil untung dari kedekatan dengan sultan. Dengan adanya ‘jalur rempah-rempah’ (Spicy Road) dan ‘jalur sutra’ (Silk Road) membuat kondisi pembajakan di laut semakin marak.
Pada tahun 1830, kawasan Asia Tenggara dikuasai oleh Inggris dan Belanda. Kedua negara tersebut sepakat untuk memberantas bajak laut serta membuat garis demarkasi yang membatasi kedua daerah koloni. Perjanjian tersebut dikenal dengan nama: Anglo-Dutch Treaty. Garis demarkasi ini masih dipakai oleh Indonesia dan Malaysia sebagai batas kedua negara tersebut.
Now
International Maritime Bureau (IMB) mencatat bahwa kejahatan bajak laut di Selat Malaka merupakan kejahatan laut yang menonjol dengan memberikan kontribusi 40% (110 kasus) dari total kejahatan bajak laut dunia di tahun 2004. Dari 40% tersebut, kawasan Indonesia memberikan ‘kontribusi’ terbanyak terjadinya pembajakan dengan 93 kasus, sementara Malaysia dengan 9 kasus dan Singapura dengan 8 kasus. Menurut IMB, mayoritas bajak laut merupakan WNI. Hal ini terjadi karena AL Indonesia ‘lemah’ dalam menjaga wilayahnya, mengingat lemah dalam persenjataan.
IMB membagi bajak laut ‘modern’ dalam tiga kelompok: kelompok bajak laut yang mencari keuntungan. Kelompok bajak laut yang terkait dengan sindikat kriminal dan kelompok bajak laut ‘terrorist’ yang memiliki motivasi politik tertentu. Kelompok bajak laut yang mencari keuntungan, biasanya mencari target yang mudah dengan cara merampok kapal dan mengambil harta benda ABK. Kelompok bajak laut yang terkait dengan sindikat kriminal, biasanya melakukan operasi dengan penuh perencanaan serta didukung dengan kemampuan, koordinasi serta dana yang kuat. Kelompok ini biasanya mencuri kargo dan menyandera ABK untuk ditukar dengan ransum makanan. Kelompok bajak laut ‘terrorist’ melakukan upaya serupa dengan kelompok ‘kriminal’, namun tujuan membajak kapal lebih pada upaya mencari dana untuk kegiatan ‘terrorist’-nya.
Pada tahun 2004, tiga negara: Indonesia, Malaysia dan Singapura melakukan kerja sama patrol AL di Selat Malaka. Tujuan patrol ini adalah untuk mencegah dan mengurangi kasus bajak laut. Untuk ke depan, Singapura berniat untuk mengundang ‘kekuatan’ internasional untuk membantu dalam pengamanan kawasan ini. Ide ini ditentang oleh Indonesia dan Malaysia.
Pada tahun 2006, AL dan ‘coast guard’ India memberikan bantuan pengamanan dengan memberikan bantuan ‘kekuatan’ kapal perang serta membangun pangkalan UAV di kepulauan Andaman dan Nicobar.

Salam…

PIRACY: IN MODERN AGE

Pada jaman modern ini, istilah ‘piracy’ dibedakan atas dua medium: ‘seaborne piracy’ untuk pembajakan di laut dan ‘airborne piracy’ untuk pembajakan pasawat udara. Istilah ini digunakan untuk membedakan jenis pembajakan serta tindakan yang diambil untuk mengatasinya.
Seaborne piracy atau pembajakan di laut telah menjadi isu internasional. Diperkirakan setiap tahunnya 13 sampai 16 Milyar Dollar AS hilang akibat pembajakan di laut. Adapun kawasan pembajakan di laut yang angker pada saat ini adalah Samudera India, sekitar pesisir pantai Somalia, Selat Malaka dan Perairan Singapura. Selat Malaka dan Perairan Singapura memiliki nilai penting dan dijaga oleh banyak negara timur jauh, selain Indonesia, Malaysia dan Singapura, sebagai penjaga utama. Diperkirakan lebih 50 ribu kapal dagang melewati Selat Malaka.
Aspek Hukum
Bajak laut menjadi catatan tersendiri dalam perkembangan hukum internasional. Tindakan kejahatan bajak laut diusahakan menjadi konsep universal yang diterima oleh semua negara dan menjadi sebuah kejahatan kemanusiaan (hostis humani generis).
Kebanyakan kejahatan bajak laut terjadi di luar teritori suatu negara, sehingga menyulitkan dilakukan penerapan hukum suatu negara. Hanya negara asal kapal bajak laut tersebut yang dapat memberikan hukuman atas tindakan kriminal yang telah dilakukan (extra territorium jus dicenti impune no paretur)
Hukum Laut internasional atau The United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) merupakan hukum laut pengganti dari konsep ‘Freedom of the Sea’ yang diberlakukan semenjak abad 17. Di awal abad 20, beberapa negara berkepentingan untuk memperluas klaim wilayah negaranya. Beberapa isu terkait dengan klaim ini adalah perlindungan atas sumber daya mineral, melindungi nelayan dan melindungi dari polusi, baik polusi air, laut dan udara. Pasca Perang Dunia II, banyak negara berlomba-lomba memproteksi wilyahnya. AS memperluas kontrol atas sumber daya alam selain wilayah kontinental. Antara tahun 1946 sampai 1950, Argentina, Chile, Peru dan Ecuador mengklaim hak atas 200 mil laut. Beberapa negara lain mengklaim hak atas 12 mil laut wilayahnya.
Pada tahun 1967, 25 negara masih menggunakan batas 3 mil laut dari garis pantai sebagai batas wilayah negaranya. 66 negara menggunakan batas 12 mil laut sebagai batas negara dan 8 negara menggunakan batas 200 mil laut sebagai batas negara. Indonesia melalui UU no 43 tahun 2008 menggunakan batas 200 mil laut sebagai klaim atas wilayah Indonesia (1).
Menurut UNCLOS tahun 1982 artikel 101, ‘maritime piracy’ didefinisikan sebagai:
Tindakan illegal dengan kekerasan atau menahan atau tindakan merusak, yang dilakukan oleh ABK atau penumpang dari sebuah kapal laut atau pesawat terbang ‘swasta’, dan dilakukan:
-Pada laut lepas, baik terhadap kapal laut maupun pesawat terbang, atau terhadap orang dan property yang ada pada kapal laut ataupun pesawat terbang.
-Melawan sebuah kapal laut, pesawat terbang dan property pada suatu tempat di luar wilayah hukum suatu negara.
Melakukan tindakan partisipasi dalam suatu operasi (militer) atas suatu kapal atau sebuah pesawat, yang menyebabkan terjadinya sebuah tindakan pembajakan.
Tindakan apapun yang sejenis dengan apa yang telah disebutkan pada point sebelumnya.
Kehidupan Bajak Laut
Dalam beberapa cerita klasik, digambarkan bajak laut sebagai pemberontak, cerdas secara tim dan tidak birokratif. Selalu digambarkan dengan bendera Jolly Roger yang terkenal dan dikibarkan ketika akan melakukan pembajakan.
Pada kenyataannya, para bajak laut hidup dalam kemiskinan dan mati muda. Meskipun demikian, mereka mengembangkan sistem demokrasi secara terbatas. Kapten kapal dan kepala logistik (Quartermaster) dipilih dari ABK yang ada. kapten kapal merupakan orang yang jago ‘tempur’ dan dapat dipercaya. Kepala logistik, pada saat tidak ada ‘pertempuran’, dapat dianggap sebagai pemimpin kapal kedua setelah kapten kapal.
Hasil jarahan sebagai bajak laut kebanyakan adalah makanan, air, miras, senjata, atau pakaian. Hal lain yang mereka curi adalah barang rumahan seperti sabun. Tidak seperti dalam cerita klasik, mereka tidak pernah menguburkan hasil jarahannya.
Para bajak laut mengembangkan sistem hierarki pada sistem pembagian hasil jarahan. 50% dari hasil jarahan dikuasai oleh kapten kapal. Sisanya dibagi untuk ABK ‘first mate’, ‘ship master’ (navigator, tukang kayu, boatswain dan penembak), dan ‘plank owner’ (para pemilik saham kapal bajakan).
Para bajak laut beroperasi di negara-negara berkembang, dimana hanya memiliki kekuatan AL yang lemah dan berdekatan dengan jalur perdagangan. Pada akhir Perang Dingin, organisasi bajak laut semakin berkembang, karena keterbatasan anggaran AL serta meningkatnya perdagangan. Bajak laut modern sering kali terhubung dengan sindikat kriminal dan beroperasi dalam kelompok-kelompok ‘kecil’. Bajak laut terdiri ‘tim penyerang’ (4 sampai 10 bajak laut) dan ‘tim pendukung’ (sekitar 70 bajak laut)
In the Next
Seperti telah diungkapkan sebelumnya, pembajakan di laut telah menghilangkan sekitar 13 sampai 16 Milyar Dollar AS per tahun. Pantai sekitar Somalia menjadi salah satu ‘hot spot’ yang sudah sangat mengkhawatirkan dan mengganggu jalur perdagangan yang melewati area tersebut.
Contoh kasus yang masih hangat adalah pembajakan MV Faina yang terjadi pada tanggal 25 September 2008. Kapal roro yang mengangkut persenjataan untuk Pemerintah Kenya, diserang oleh sekitar 50 bajak laut Somalia. Para pembajak ini menyebut dirinya ‘Central Regional Coast Guard’, membajak kapal tersebut dan meminta uang tebusan. Setelah 5 bulan disandera, kapal tersebut dibebaskan pada tanggal 5 Februari 2009 dengan tebusan sebesar 3,2 Juta Dollar AS. Pada pembajakan ini, terlihat pembajak sudah menggunakan peralatan dan senjata modern seperti hand-phone satelit, speedboat, assault rifles, shotgun, pistol, mounted machine gun, RPG dan grenade launcher.
Untuk mengatasi masalah bajak laut di wilayah pantai Somalia, dibentuk Combined Task Force 150 (CTF-150). CTF-150 merupakan koalisi multinasional satgas AL dari beberapa negara dengan basis di Djibouti. Negara-negara yang turut berpartisipasi dalam satgas ini: AS, Inggris, Kanada, Denmark, Perancis, Jerman, Pakistan, Australia, Italia, Belanda, Selandia Baru, Portugal, Spanyol dan Turki. Bagi AS, operasi ini merupakan bagian dari Operation Enduring Freedom – Horn of Africa (OEF-HOA). Sementara Uni Eropa melakukan koordinasi antar negara anggotanya untuk tergabung dalam satgas ‘Operation Atalanta’.
Di Selat Malaka, International Maritime Bureau (IMB) melaporkan semakin meningkatnya serangan bajak laut yang terjadi. Menurut catatan, dari 251 kejadian, 70 kejadian terjadi di perairan Indonesia. Kapal tanker minyak dan gas menjadi sasaran paling popular dengan 67 kali serangan. Dengan semakin meningkatnya serangan bajak laut di Selat Malaka, diduga negara-negara yang memiliki kepentingan dengan Selat Malaka seperti Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Australia dan Cina, telah mengirimkan ‘tim bayangan’ untuk mengawal kapal-kapal dagang mereka. Apalagi sebagian dari negara tersebut memiliki doktrin pertahanan 1000 mil laut. Krisis ekonomi yang terjadi saat ini akan mendorong semakin maraknya kasus bajak laut di Selat Malaka. Apabila tidak dapat diatasi oleh AL dari tiga negara: Indonesia, Malaysia dan Singapura, bukan mustahil akan mengundang negara-negara yang selama ini hanya mengirimkan ‘tim bayangan’, mengirimkan kekuatan tempurnya ke Selat Malaka.

Salam…

PIRACY: CORSAIR

Corsair adalah privateer Perancis yang berasal dari pelabuhan St Malo dan berlokasi di pantai utara semenanjung Brittany. Para corsair mendapat reputasi sebagai ‘swashbuckler’, yaitu jago pedang yang tangguh, suka membuat rebut (noisy) dan sombong (boastful), membuat istilah corsair merupakan kata lain yang lebih romantik atau flamboyan untuk kata privateer atau pirate. Bajak laut dari Afrika Utara sering kali disebut ‘Turkish Corsair’.
Istilah ‘Corsair’ berasal dari surat tugas dari Raja Perancis: ‘Lettre de Course’ (‘racing letter’ berarti surat penugasan ‘berkompetisi’). Race atau la course, merupakan bentuk efimis dari upaya ‘menghancurkan’ atau ‘membajak’ kapal dagang lain. Corsair diperintahkan untuk menyerang kapal-kapal dari negara-negara ‘musuh’ Perancis serta memberi pajak pada Perancis. Apabila tidak memberikan pajak, maka kapal tersebut dapat diserang, meskipun dari negara ‘netral’.
Para Corsair dimanfaatkan oleh kementerian AL Perancis untuk mendapatkan uang. Aktifitas Corsair ini melemahkan musuh-musuh Perancis. Salah satu negara yang menderita adalah Inggris, dimana mengalami kerugian besar dari tahun 1688 sampai 1717.
Hubungan antara Corsair dengan negara tergantung pada siap pemimpin armada Corsair tersebut. Kelihaian pemimpin armada Corsair menentukan seberapa besar ‘pendapatan’ dari hasil pembajakan. Semakin lama, Perancis semakin mendikte dan mengontrol ‘pendapatan’ para Corsair. Akibatnya jumlah Corsair semakin lama semakin berkurang dan secara resmi dinyatakan dilarang pada pertemuan di Paris tahun 1856, yang dihadiri oleh negara-negara ‘super power’ pada waktu itu: Austria, Inggris, Rusia, Prussia, Perancis, Portugis, Swedia, Denmark, Belanda, dan Swiss.
Menurut catatan sejarah, kegiatan pembajakan para Corsair ini telah dimulai semenjak abad pertengahan. Tujuan mereka adalah untuk pemenuhi kebutuhan ekonomi yang sulit pada waktu itu. Catatan Jean de Chatillon, seorang pendeta di St Malo di tahun 1144, menyebutkan bahwa St Malo merupakan daerah ‘tak bertuan’ dan banyak dihuni oleh para pencuri dan penjahat. Motto mereka ‘Neither Breton, nor French, but from Saint Malo am I’. Kota Saint Malo berkembang menjadi pelabuhan komersial yang penuh aktifitas perdagangan.

Salam…

PIRACY: BUCCANEER

Kata Buccaneer berasal dari bahasa Arawak ‘Buccan’, yang berarti wadah kayu tempat pengasapan daging. Istilah ini berasal dari kebiasaan pelaut yang ada di kawasan Karibia, dimana mereka membawa daging asap sebagai makanan dalam pelayarannya. Kata tersebut kemudian diartikan dalam bahasa Perancis: ‘boucan’ dan julukan untuk pemburu daging untuk diasapkan di daerah Hispaniola (Sekarang Haiti dan Republik Dominika) adalah ‘boucanier’. Istilah tersebut dialih bahasakan ke bahasa Inggris: ‘buccaneer’. Istilah ‘buccaneer’ kemudian meluas dan menjadi sinonim untuk ‘pirate’.
Yang menjadi pembeda dengan ‘pirate’ adalah memiliki armada kapal besar dan hanya beroperasi di kawasan Karibia saja. Mereka lebih fokus penyerangan pada koloni-koloni dan kapal-kapal dagang Spanyol, Perancis dan Belanda.
Budaya Buccaneer
Selama seratus tahun sebelumn revolusi Perancis, kapal-kapal buccaneer berlayar secara bebas, setara dan penuh persaudaraan di bawah satu aturan, meskipun hanya berlaku untuk ABK kulit putih. Pada kapal buccaneer, nakhoda dipilih dari ABK yang ada. ABK yang menentukan jalur perjalanan dan kapal apa saja yang akan diserang.
Hasil ‘rampok’ dibagi atas 5 atau 6 bagian. ABK biasanya tidak memiliki sistem penggajian regular, yang diistilahkan ‘no purchase, no pay’. Para buccaneer memiliki ‘esprit de corps’ yang kuat. Bagi yang terluka pada ‘pertempuran’, disediakan semacam asuransi yang dapat membantu mereka untuk sembuh.
Terkadang mereka membebaskan budak kulit putih, apabila ditemukan pada kapal yang diserang dan menjual kembali budak kulit berwarna.
Buccaneer dari daerah Tortuga, suatu daerah di Karibia, ‘hidup’ dengan pasangan sejenis, dimana hubungan ini disebut ‘matelotage’ dan orang-orang yang menjalin hubungan ‘matelotage’ disebut ‘matelots’. Matelot berbagi tempat tidur, property, makanan dan hal-hal lain.
Aksi
Buccaneer biasanya menggunakan kapal kecil untuk menyerang orang-orang Spanyol. Penyerangan biasanya dilakukan pada malam hari. Buccaneer memiliki kemampuan menembak jitu dan mampu menembak cepat. Buccaneer memiliki reputasi sebagai ‘cruel pirates’ dengan membunuh secara kejam ‘korban’, meskipun ‘korban’ sudah lemah atau terluka.
Ketika buccaneer menyerang kota, mereka tidak melakukan secara frontal seperti AL pada umumnya. Mereka melakukan penyerangan secara diam-diam, dan melakukan serangan mendadak dan cepat.

Salam…