Rabu, Maret 18, 2009

PIRACY IN THE STRAIT OF MALACCA

Kasus bajak laut di Selat Malaka merupakan kasus yang sukar diberantas. Meskipun telah mengerah kekuatan AL dari 3 negara untuk mengawasi selat sepanjang 900 km (setara dengan 550 mil), tetap saja kasus-kasus pembajakan terjadi. Selat ini ‘mengundang’ bajak laut karena merupakan jalur perdagangan ‘paling sibuk’. Selat Malaka merupakan satu rangkaian penting dalam jalur perdagangan modern, di samping Terusan Suez, pelabuhan-pelabuhan minyak di Teluk Persia, pelabuhan Singapura, Hong Kong, Taiwan, Pusan dan Tokyo. Dengan banyaknya pulau-pulau kecil serta hilir sungai, menjadi Selat Malaka merupakan lokasi ideal untuk bersembunyi dan menyergap kapal dagang.
Dilihat dari sejarah, kasus pembajakan di Selat Malaka bukan sebagai ‘way of life’ akan tetapi sebagai alat politik. Pada abad 14, seorang pangeran asal Kerajaan Sriwijaya: Parameswara dengan bantuan Suku Orang Laut berhasil menguasai Semenanjung Malaka berikut dengan Selatnya dan mendirikan Kesultanan Malaka. Kesultanan ini memainkan peran penting dari abad 15 sampai dengan abad 19 di kawasan Asia Tenggara. Para penjajah dari Eropa: Portugis, Belanda dan Inggris, berusaha untuk mendekati pihak kesultanan dan mencoba mengambil untung dari kedekatan dengan sultan. Dengan adanya ‘jalur rempah-rempah’ (Spicy Road) dan ‘jalur sutra’ (Silk Road) membuat kondisi pembajakan di laut semakin marak.
Pada tahun 1830, kawasan Asia Tenggara dikuasai oleh Inggris dan Belanda. Kedua negara tersebut sepakat untuk memberantas bajak laut serta membuat garis demarkasi yang membatasi kedua daerah koloni. Perjanjian tersebut dikenal dengan nama: Anglo-Dutch Treaty. Garis demarkasi ini masih dipakai oleh Indonesia dan Malaysia sebagai batas kedua negara tersebut.
Now
International Maritime Bureau (IMB) mencatat bahwa kejahatan bajak laut di Selat Malaka merupakan kejahatan laut yang menonjol dengan memberikan kontribusi 40% (110 kasus) dari total kejahatan bajak laut dunia di tahun 2004. Dari 40% tersebut, kawasan Indonesia memberikan ‘kontribusi’ terbanyak terjadinya pembajakan dengan 93 kasus, sementara Malaysia dengan 9 kasus dan Singapura dengan 8 kasus. Menurut IMB, mayoritas bajak laut merupakan WNI. Hal ini terjadi karena AL Indonesia ‘lemah’ dalam menjaga wilayahnya, mengingat lemah dalam persenjataan.
IMB membagi bajak laut ‘modern’ dalam tiga kelompok: kelompok bajak laut yang mencari keuntungan. Kelompok bajak laut yang terkait dengan sindikat kriminal dan kelompok bajak laut ‘terrorist’ yang memiliki motivasi politik tertentu. Kelompok bajak laut yang mencari keuntungan, biasanya mencari target yang mudah dengan cara merampok kapal dan mengambil harta benda ABK. Kelompok bajak laut yang terkait dengan sindikat kriminal, biasanya melakukan operasi dengan penuh perencanaan serta didukung dengan kemampuan, koordinasi serta dana yang kuat. Kelompok ini biasanya mencuri kargo dan menyandera ABK untuk ditukar dengan ransum makanan. Kelompok bajak laut ‘terrorist’ melakukan upaya serupa dengan kelompok ‘kriminal’, namun tujuan membajak kapal lebih pada upaya mencari dana untuk kegiatan ‘terrorist’-nya.
Pada tahun 2004, tiga negara: Indonesia, Malaysia dan Singapura melakukan kerja sama patrol AL di Selat Malaka. Tujuan patrol ini adalah untuk mencegah dan mengurangi kasus bajak laut. Untuk ke depan, Singapura berniat untuk mengundang ‘kekuatan’ internasional untuk membantu dalam pengamanan kawasan ini. Ide ini ditentang oleh Indonesia dan Malaysia.
Pada tahun 2006, AL dan ‘coast guard’ India memberikan bantuan pengamanan dengan memberikan bantuan ‘kekuatan’ kapal perang serta membangun pangkalan UAV di kepulauan Andaman dan Nicobar.

Salam…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar