Minggu, Maret 22, 2009

PAMTAS: SIPADAN – LIGITAN

Mahkamah Internasional (International Court of Justice atau ICJ) pada tanggal 17 Desember 2002 memutuskan Malaysia adalah pemilik sah Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Dari 18 juri, 17 juri menyatakan pulau-pulau tersebut dimiliki Malaysia, sementara 1 juri menyatakan pulau-pulau tersebut milik Indonesia. Keputusan ini tentu menjadi tamparan keras kita akan ketidak seriusan dalam mengurusi daerah perbatasan. Menurut press release ICJ, dalam persidangan-persidangan yang dilakukan, para juri menolak menggunakan materi hukum yang disampaikan oleh kedua negara. Kaidah pembuktian yang digunakan adalah ‘continuous presence, effective occupation, maintenance and ecology preservation’. Dengan penggunaan materi tersebut, dapat dimengerti mengapa para juri memenangkan Malaysia. Faktanya, Malaysia telah membangun beberapa prasarana pariwisata di pulau-pulau tersebut. Inilah bukti ketidak seriusan Indonesia dalam mengelolanya (1).
Proses Sengketa
Kasus Sipadan-Ligitan ini muncul pada tahun 1969, dimana tim teknis landas kontinen kedua negara membicarakan batas dasar laut kedua negara. Pada peta Malaysia, pada waktu itu, kedua pulau tersebut tertera sebagai bagian wilayah Indonesia. Konyolnya, pada lampiran Perpu no. 4/1960 yang menjadi pedoman tim teknis Indonesia, kedua pulau tersebut tidak tertera. Dengan temuan tersebut, Indonesia merasa berkepentingan untuk mengukuhkan Sipadan-Ligitan. Malaysia, yang menyadari kelalaian Indonesia, langsung mengklaim dua pulau tersebut dengan sejumlah alasan, dalil hukum dan fakta. Karena tidak menemui titik temu, maka kedua pulau tersebut diberi status quo. Pada tahun 1989, kedua pulau ini kembali dibicarakan oleh kedua pimpinan negara: Presiden Soeharto dan PM Mahatir Muhamad.
Pada tahun 1992, kedua negara sepakat menyelesaikan masalah ini secara bilateral yang diawali dengan pertemuan pejabat tinggi kedua negara. Hasil pertemuan pejabat tinggi menyepakati dibentuknya Komisi Bersama (Joint Commission atau JC) dan Kelompok Kerja (Joint Working Group atau JWG). Serangkaian pertemuan JC dan JWG tidak membawa hasil. Pada tahun 1997, disepakati bahwa sengketa ini dibawa ke ICJ. ICJ resmi bersidang sejak 2 November 1998. Kedua negara memiliki kewajiban untuk menyampaikan posisi nya melalui ‘Written Pleading’ kepada ICJ pada tanggal 2 November 1999, diikuti dengan ‘Counter Memorial’ pada tanggal 2 Agustus 2000 dan ‘reply’ pada tangal 2 Maret 2001. Proses selanjutnya adalah ‘Oral Hearing’ dari kedua negara bersengketa pada tanggal 3 sampai dengan 12 Juni 2002. Untuk menghadapi dan menyiapkan materi tersebut, Indonesia membentuk satgas khusus yang terdir dari beberapa institusi: Deplu, Depdagri, Dephan, Mabes TNI, Departemen ESDM, Dishidros TNI AL, Bupati Nunukan, beberapa pakar kelautan dan hukum laut internasional. Dirjen Pol Deplu dan Dubes RI di Belanda ditunjuk sebagai LO di ICJ serta menunjuk Tim Penasehat Hukum Internasional. Total anggaran untuk melakukan persidangan ini adalah Rp 16 M (1).
Lesson Learn
Ketika Indonesia memutuskan jajak pendapat di Tim-Tim, banyak kalangan memperkirakan hasilnya seri antara pro-integrasi dengan pro-kemerdekaan. Namun kenyataan berkehendak lain, sebanyak kurang lebih 76,5 % penduduk Tim-Tim lebih memilih merdeka. Demikian pula dengan kasus Sipadan-Ligitan, banyak pengamat memperkirakan Indonesia menang tipis, atau paling tidak Pulau Sipadan menjadi milik Indonesia. Namun kenyataannya berkata lain, Indonesia kalah telak. Dari dua kasus ini, diduga ada pihak ‘ketiga’ yang bermain dan merugikan Indonesia.
Materi ‘continuous presence, effective occupation, maintenance and ecology preservation’ memberikan citra ‘buruk’ Indonesia dalam mengelola kawasan terluarnya. Apalagi dengan tidak adanya keseriusan dalam pengelolaan daerah perbatasan.
Beberapa pulau yang berapa di perbatasan Indonesia ‘diminati’ oleh beberapa negara tetangga. Pulau Nipah ‘diminati’ oleh Singapura. Pulau Rondo ‘diminati’ oleh India, Pulau Miangas sudah mulai dicoba diklaim oleh Philippina. Negara-negara tersebut besar kemungkinan menggunakan materi ’continuous presence & effective occupation’ yang sukses diterapkan oleh Malaysia, untuk dapat ‘merampok’ pulau-pulau tersebut dari Indonesia.
Antisipasi
Pembangunan infrastruktur menjadi agenda utama dalam pembenahan daerah perbatasan. Perlu segera dikeluarkan PP sebagai bentuk aplikasi dari UU no. 43/2008 agar dapat segera dirancang konsep pemberdayaan daerah perbatasan. Posisi penduduk harus dijadikan subyek pembangunan. Pembangunan infrastruktur juga harus ditunjang dengan pembangunan IPOLEKSOSBUD HANKAM.
Perlu pemetaan berkala sebagai bagian dari penegasan batas wilayah negara. Hal ini perlu untuk menjaga pertahanan serta pembangunan yang berkesinambungan. Perlu pelibatan aktif Bakosurtanal, Dittopad dan Janhidros-AL, yang selama ini menjadi ujung tombak pemetaan kawasan nasional.
Pendirian markas dan pangkalan pertahanan TNI pada wilayah sepanjang perbatasan, dimana hal ini menjadi bukti eksistensi Indonesia.
Pemberian subsidi serta kebijakan ekonomi khusus untuk masyarakat, termasuk aparat yang bertugas pada wilayah perbatasan. Dengan adanya subsidi ini, paling tidak dapat menggerakkan perekonomian masyarakat setempat.

Salam…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar