Rabu, Maret 18, 2009

PIRACY: IN MODERN AGE

Pada jaman modern ini, istilah ‘piracy’ dibedakan atas dua medium: ‘seaborne piracy’ untuk pembajakan di laut dan ‘airborne piracy’ untuk pembajakan pasawat udara. Istilah ini digunakan untuk membedakan jenis pembajakan serta tindakan yang diambil untuk mengatasinya.
Seaborne piracy atau pembajakan di laut telah menjadi isu internasional. Diperkirakan setiap tahunnya 13 sampai 16 Milyar Dollar AS hilang akibat pembajakan di laut. Adapun kawasan pembajakan di laut yang angker pada saat ini adalah Samudera India, sekitar pesisir pantai Somalia, Selat Malaka dan Perairan Singapura. Selat Malaka dan Perairan Singapura memiliki nilai penting dan dijaga oleh banyak negara timur jauh, selain Indonesia, Malaysia dan Singapura, sebagai penjaga utama. Diperkirakan lebih 50 ribu kapal dagang melewati Selat Malaka.
Aspek Hukum
Bajak laut menjadi catatan tersendiri dalam perkembangan hukum internasional. Tindakan kejahatan bajak laut diusahakan menjadi konsep universal yang diterima oleh semua negara dan menjadi sebuah kejahatan kemanusiaan (hostis humani generis).
Kebanyakan kejahatan bajak laut terjadi di luar teritori suatu negara, sehingga menyulitkan dilakukan penerapan hukum suatu negara. Hanya negara asal kapal bajak laut tersebut yang dapat memberikan hukuman atas tindakan kriminal yang telah dilakukan (extra territorium jus dicenti impune no paretur)
Hukum Laut internasional atau The United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) merupakan hukum laut pengganti dari konsep ‘Freedom of the Sea’ yang diberlakukan semenjak abad 17. Di awal abad 20, beberapa negara berkepentingan untuk memperluas klaim wilayah negaranya. Beberapa isu terkait dengan klaim ini adalah perlindungan atas sumber daya mineral, melindungi nelayan dan melindungi dari polusi, baik polusi air, laut dan udara. Pasca Perang Dunia II, banyak negara berlomba-lomba memproteksi wilyahnya. AS memperluas kontrol atas sumber daya alam selain wilayah kontinental. Antara tahun 1946 sampai 1950, Argentina, Chile, Peru dan Ecuador mengklaim hak atas 200 mil laut. Beberapa negara lain mengklaim hak atas 12 mil laut wilayahnya.
Pada tahun 1967, 25 negara masih menggunakan batas 3 mil laut dari garis pantai sebagai batas wilayah negaranya. 66 negara menggunakan batas 12 mil laut sebagai batas negara dan 8 negara menggunakan batas 200 mil laut sebagai batas negara. Indonesia melalui UU no 43 tahun 2008 menggunakan batas 200 mil laut sebagai klaim atas wilayah Indonesia (1).
Menurut UNCLOS tahun 1982 artikel 101, ‘maritime piracy’ didefinisikan sebagai:
Tindakan illegal dengan kekerasan atau menahan atau tindakan merusak, yang dilakukan oleh ABK atau penumpang dari sebuah kapal laut atau pesawat terbang ‘swasta’, dan dilakukan:
-Pada laut lepas, baik terhadap kapal laut maupun pesawat terbang, atau terhadap orang dan property yang ada pada kapal laut ataupun pesawat terbang.
-Melawan sebuah kapal laut, pesawat terbang dan property pada suatu tempat di luar wilayah hukum suatu negara.
Melakukan tindakan partisipasi dalam suatu operasi (militer) atas suatu kapal atau sebuah pesawat, yang menyebabkan terjadinya sebuah tindakan pembajakan.
Tindakan apapun yang sejenis dengan apa yang telah disebutkan pada point sebelumnya.
Kehidupan Bajak Laut
Dalam beberapa cerita klasik, digambarkan bajak laut sebagai pemberontak, cerdas secara tim dan tidak birokratif. Selalu digambarkan dengan bendera Jolly Roger yang terkenal dan dikibarkan ketika akan melakukan pembajakan.
Pada kenyataannya, para bajak laut hidup dalam kemiskinan dan mati muda. Meskipun demikian, mereka mengembangkan sistem demokrasi secara terbatas. Kapten kapal dan kepala logistik (Quartermaster) dipilih dari ABK yang ada. kapten kapal merupakan orang yang jago ‘tempur’ dan dapat dipercaya. Kepala logistik, pada saat tidak ada ‘pertempuran’, dapat dianggap sebagai pemimpin kapal kedua setelah kapten kapal.
Hasil jarahan sebagai bajak laut kebanyakan adalah makanan, air, miras, senjata, atau pakaian. Hal lain yang mereka curi adalah barang rumahan seperti sabun. Tidak seperti dalam cerita klasik, mereka tidak pernah menguburkan hasil jarahannya.
Para bajak laut mengembangkan sistem hierarki pada sistem pembagian hasil jarahan. 50% dari hasil jarahan dikuasai oleh kapten kapal. Sisanya dibagi untuk ABK ‘first mate’, ‘ship master’ (navigator, tukang kayu, boatswain dan penembak), dan ‘plank owner’ (para pemilik saham kapal bajakan).
Para bajak laut beroperasi di negara-negara berkembang, dimana hanya memiliki kekuatan AL yang lemah dan berdekatan dengan jalur perdagangan. Pada akhir Perang Dingin, organisasi bajak laut semakin berkembang, karena keterbatasan anggaran AL serta meningkatnya perdagangan. Bajak laut modern sering kali terhubung dengan sindikat kriminal dan beroperasi dalam kelompok-kelompok ‘kecil’. Bajak laut terdiri ‘tim penyerang’ (4 sampai 10 bajak laut) dan ‘tim pendukung’ (sekitar 70 bajak laut)
In the Next
Seperti telah diungkapkan sebelumnya, pembajakan di laut telah menghilangkan sekitar 13 sampai 16 Milyar Dollar AS per tahun. Pantai sekitar Somalia menjadi salah satu ‘hot spot’ yang sudah sangat mengkhawatirkan dan mengganggu jalur perdagangan yang melewati area tersebut.
Contoh kasus yang masih hangat adalah pembajakan MV Faina yang terjadi pada tanggal 25 September 2008. Kapal roro yang mengangkut persenjataan untuk Pemerintah Kenya, diserang oleh sekitar 50 bajak laut Somalia. Para pembajak ini menyebut dirinya ‘Central Regional Coast Guard’, membajak kapal tersebut dan meminta uang tebusan. Setelah 5 bulan disandera, kapal tersebut dibebaskan pada tanggal 5 Februari 2009 dengan tebusan sebesar 3,2 Juta Dollar AS. Pada pembajakan ini, terlihat pembajak sudah menggunakan peralatan dan senjata modern seperti hand-phone satelit, speedboat, assault rifles, shotgun, pistol, mounted machine gun, RPG dan grenade launcher.
Untuk mengatasi masalah bajak laut di wilayah pantai Somalia, dibentuk Combined Task Force 150 (CTF-150). CTF-150 merupakan koalisi multinasional satgas AL dari beberapa negara dengan basis di Djibouti. Negara-negara yang turut berpartisipasi dalam satgas ini: AS, Inggris, Kanada, Denmark, Perancis, Jerman, Pakistan, Australia, Italia, Belanda, Selandia Baru, Portugal, Spanyol dan Turki. Bagi AS, operasi ini merupakan bagian dari Operation Enduring Freedom – Horn of Africa (OEF-HOA). Sementara Uni Eropa melakukan koordinasi antar negara anggotanya untuk tergabung dalam satgas ‘Operation Atalanta’.
Di Selat Malaka, International Maritime Bureau (IMB) melaporkan semakin meningkatnya serangan bajak laut yang terjadi. Menurut catatan, dari 251 kejadian, 70 kejadian terjadi di perairan Indonesia. Kapal tanker minyak dan gas menjadi sasaran paling popular dengan 67 kali serangan. Dengan semakin meningkatnya serangan bajak laut di Selat Malaka, diduga negara-negara yang memiliki kepentingan dengan Selat Malaka seperti Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Australia dan Cina, telah mengirimkan ‘tim bayangan’ untuk mengawal kapal-kapal dagang mereka. Apalagi sebagian dari negara tersebut memiliki doktrin pertahanan 1000 mil laut. Krisis ekonomi yang terjadi saat ini akan mendorong semakin maraknya kasus bajak laut di Selat Malaka. Apabila tidak dapat diatasi oleh AL dari tiga negara: Indonesia, Malaysia dan Singapura, bukan mustahil akan mengundang negara-negara yang selama ini hanya mengirimkan ‘tim bayangan’, mengirimkan kekuatan tempurnya ke Selat Malaka.

Salam…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar