Minggu, Maret 22, 2009

PERJALANAN SEORANG SINTONG PANJAITAN



JUDUL: Sintong Panjaitan - Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando
PENULIS: Hendro Subroto
TERBIT: Maret 2009
Cetakan: keempat – Maret 2009
PENERBIT: Penerbit Buku Kompas
Halaman: 522 + xxx







Selama dua minggu, penulis menyatroni sebuah toko buku besar di bilangan Matraman, Jakarta untuk mencari buku ini dan akhirnya tadi malam (21/3), berhasil mendapatkannya. Buku ini sudah mendapatkan ekspose yang luar biasa semenjak hari pertama terbit. Bahkan pada launching buku ini, beberapa stasiun TV meliput secara langsung acaranya. Apa sich yang membuat buku ini heboh?
Unofficial biography
Seperti yang ditegaskan oleh Pak Hendro Subroto, penulis buku ini, buku ini bukan merupakan otobiografi maupun biografi dari Letjen (Purn) Sintong Panjaitan. Hendro Subroto adalah wartawan ‘perang’ kawakan yang sangat dekat dengan ABRI/TNI. Sebagai jurnalis TVRI, beliau terjun langsung meliput ke kawasan ‘perang’. Beberapa peristiwa ‘penting’ ia liput secara langsung: konfrontasi dengan Malaysia di Serawak, operasi penumpasan DI/TII di Sulseltra, termasuk meliput langsung tewasnya Kahar Muzakar, pengangkatan jenazah para jenderal di Lubang Buaya pada G30S, juga meliput operasi penumpasannya di Jateng, operasi jelang Pepera Irian, operasi Seroja di Tim-Tim. Liputan ‘perang’ di luar negeri yang pernah dilakukan adalah perang Vietnam, perang Kamboja, perang perbatasan Vietnam – Cina, perang sipil di Sudan Selatan tahun 1986, dan perang teluk tahun 1991. Dari pertemuan selama meliput ‘perang’ di dalam negeri inilah, Hendro Subroto mengenal Sintong Panjaitan.
Lahir pada tanggal 4 September 1940 di Tarutung dengan nama Sintong Hamonangan Panjaitan. Ia anak ketujuh dari sebelas bersaudara. Semula ia tertarik untuk mengabdi menjadi prajurit AURI. Ketertarikan pada AURI, karena ia tertarik akan ‘kehebatan’ pesawat Tjotjor Merah (P-51 Mustang) AU Belanda pada perang kemerdekaan. Selepas SMA, ia mendaftar ke AAU dan dinyatakan diterima dengan syarat harus operasi amandel. Setelah operasi, ternyata panggilan masuk pendidikan tidak muncul. Sebenarnya ia sudah dipanggil kembali, namun surat panggilan tersebut disembunyikan oleh ibunya. Sambil menunggu panggilan dari AURI, Sintong mengikuti tes masuk Akademi Militer Nasional (AMN) dan diterima sebagai taruna pada tahun 1960. Ia lulus dengan urutan 38 dari 117 taruna pada tahun 1963.
Kemudian mengikuti sekolah dasar kecabangan infanteri dan selanjutnya ditempatkan sebagai perwira pertama di Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD). Sambil menunggu untuk ikut sekolah para komando, sebagai syarat kualifikasi anggota RPKAD, ia ‘dimagangkan’ menjadi danton pada Yonif 321, Brigif 13, Kodam Siliwangi. Bersama Yonif 321 ini, ia terjun dalam penumpasan DI/TII di Sulseltra dengan sandi ‘operasi kilat’. Pada Februari 1965, ia masuk sekolah para komando dan lulus enam bulan kemudian. Nyaris diterjunkan ke Sarawak untuk memandu sukarelawan, namun keburu terjadi G30S.
Pada awal penumpasan G30S, Sintong terlibat aktif. Ia bersama anggota peletonnya, berhasil merebut Gedung RRI Pusat, pengamanan pangkalan Halim Perdanakusuma, dan menemukan ‘kuburan’ korban penculikan di Lubang Buaya. Kemudian ditugaskan ke daerah Jateng untuk menumpas G30S serta para petinggi PKI yang kabur ke daerah ini. Daerah Jateng merupakan basis PKI ‘terkuat’ karena hampir semua pejabat militer ‘level atas’ di daerah ini berhasil dibina oleh PKI.
Pada awal tahun 1967, Sintong ditugaskan ke Irian Jaya dalam rangka Pepera. Penugasan di daerah ini dijalani sampai dengan awal tahun 1970. Pada akhir tahun 1972, ditugaskan di Kalbar dalam rangka penumpasan PGRS/PARAKU. Ikut serta dalam perencanaan operasi linud dalam rangka ‘merebut’ kota Dili pada Desember 1975, namun karena suatu hal tidak dapat ikut serta. Meskipun diawal integrasi Tim-Tim tidak ikut dalam operasi Seroja, karena mengikuti Seskoad, namun ia termasuk ‘akrab’ dengan daerah Tim-Tim.
Sukses dalam operasi pembebasan sandera ‘Woyla’, membawanya menjadi Komandan Grup 3/Sandiyudha di Kariango, Makassar. Pada saat reorganisasi ABRI pada tahun 1985, ia ditugaskan komandan jenderal pasukan elit AD. Dengan berat hati, ia melakukan ‘perampingan’ dan merubah Kopasandha menjadi Kopassus. Sukses dengan reorganisasi Kopassus, ia menjadi Danpussenif dan ditugaskan untuk melakukan pembenahan organisasi. Pembenahan organisasi Pussenif berjalan sukses dan Ia dipromosikan menjadi Pangdam IX/Udayana, posisi komando terakhir yang dijabatnya dalam lingkup TNI, sebelum terjungkal akibat peristiwa 12 November 1991.
Mei 1998
Kerusuhan Mei 1998 mendapat perhatian khusus dari Sintong Panjaitan. Pada bab ini, ia menceritakan bagaimana keterlibatan serta peristiwa sebelum dan sesudah peralihan kekuasaan. Sebagai penasehat ‘militer’ Habibie, sebuah fungsi yang telah dijalaninya semenjak tahun 1994, ia banyak memberi masukan pada Habibie pada saat-saat peralihan. Ia yang mengusulkan pada Habibie, agar dapat memberikan pernyataan guna menenangkan masyarakat akibat kerusuhan 13 dan 14 Mei 1998.
Ia mempertanyakan sikap Jenderal Wiranto, yang saat itu menjadi Menhankam/Pangab, yang ‘meninggalkan’ Jakarta untuk menjadi inspektur upacara serah terima Pasukan Pemukul Reaksi Cepat (PPRC) di Malang pada tanggal 14 Mei 1998. Kepergian ke Malang diikuti oleh hampir petinggi ABRI. Sampai saat ini, tidak ada kejelasan mengapa hampir semua petinggi militer malah terkesan ‘cuek’ atas kerusuhan yang terjadi. Wiranto pun sering kali menghindar dan apabila terpaksa menanggapi masalah ini, terkesan ‘melempar’ tanggung jawab pada Pangdam Jaya.
Sintong mempertanyakan mengapa Inpres no. 16/1998 tentang pembentukan Komando Operasi Kewaspadaan dan Keselamatan Nasional (KOPKKN), sejenis Kopkamtib pada awal era orba, tidak dijalankan oleh Wiranto. Sintong berpendapat seharusnya Wiranto mundur dari jabatannya karena menolak menjalankan perintah dari Presiden selaku panglima tertinggi. Bagi Sintong, disiplin prajurit tidak dilaksanakan oleh Wiranto karena menolak perintah atasan dan sudah sepatutnya mundur.
Sintong juga mempertanyakan peran Prabowo pada masa peralihan tersebut. Mengapa ia tidak berusaha keras untuk membela Soeharto, yang notabene mertuanya? Padahal Ia punya ‘kekuatan’ untuk dapat tampil membela mertuanya. Akan tetapi justru, ia bergabung dengan ‘gerakan reformasi’, yang membuatnya dimusuhi oleh keluarga Cendana. Prabowo, melalui ‘antek’-nya: Mayjen Kivlan Zein (Kas Kostrad waktu itu) dan Mayjen Muchdi PR (Danjen Kopassus), merekayasa surat dari Jenderal Besar AH Nasution agar dijadikan KSAD. Prabowo mengetahui bahwa Habibie sangat hormat pada Pak Nas. Sintong mempertanyakan peran Mayjen Muchdi PR yang menurutnya janggal. Mengapa Danjen Kopassus mau menerima perintah dari Pangkostrad (Prabowo), padahal Kopassus dan Kostrad berkedudukan sejajar?
Sintong juga memberikan klarifikasi tentang pergantian jabatan Prabowo, dari Pangkostrad menjadi Dansesko ABRI. Putusan pergantian tersebut diputuskan oleh Habibie dan disampaikan langsung ke Wiranto. Klarifikasi ini dirasa perlu karena seolah-olah merupakan tindakan balas dendam Sintong karena pemecatan sebagai Pangdam Udayana akibat peristiwa 12 November 1991. Menurut Sintong, Mabes ABRI belum pernah menyampaikan laporan resmi tentang peristiwa 12 November 1991, namun Presiden sudah memberikan ‘hukuman’ terlebih dahulu. Dasar ‘hukuman’ tersebut berdasarkan laporan dari Prabowo dan Letkol Sjafrie Sjamsoeddin. Sjafrie Sjamsoedin, pada peristiwa 12 November 1991, menjabat sebagai Wadan Satgas Intel Kolakops Tim-Tim. Anehnya, Sjafrie berhasil lolos dari ‘hukuman’, sementara atasannya, Kolonel Binsar Aruan (Dan Satgas Intel Kolakops Tim-Tim) justru dicopot. Seharusnya Sjafrie juga ikut bertanggung jawab atas peristiwa tersebut.
Sintong mengeluhkan ‘sikap buruk’ Prabowo yang tidak sopan terhadap presiden. Prabowo datang menghadap Presiden dengan senjata lengkap pada tanggal 22 Mei sore hari. Sintong khawatir terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Oleh karena itu, ia melucuti senjata Prabowo. Selain itu, sikap Prabowo ‘menawar’ jabatan KSAD, tidak mencerminkan sikap seorang prajurit. Oleh karena itu, ia memastikan Prabowo dicopot dari jabatannya paling lambat sebelum matahari tenggelam. Jabatan Pangkostrad kemudian dikuasakan pada Mayjen Johny Lumintang, yang mencatat ‘rekor’ memegang jabatan tersebut ‘hanya’ enam jam!!
12 November 1991 versi Sintong
Sintong Panjaitan mulai menjabat Pangdam IX/Udayana sejak 12 Agustus 1988, dimana Tim-Tim merupakan salah satu daerah yang menjadi tanggung jawabnya. Pada awal masa jabatannya, ia mengubah sifat operasi militer di Tim-Tim dari operasi tempur ke operasi territorial, yang lebih murah. Peralihan sifat operasi militer ini membawa hasil keamanan yang kondusif, sekaligus menjadi awal malapetaka 12 November 1991. Pada tahun 1990, Tim-Tim dinyatakan wilayah ‘terbuka’ sama dengan wilayah lainnya. Keterbukaan ini dimanfaatkan oleh Parlemen Portugal untuk berkunjung ke Tim-Tim. Kunjungan ini direncanakan sekitar bulan Oktober - November1991.
Kunjungan tersebut akhirnya batal karena sikap ‘arogan’ Parlemen Portugis, yang tidak menghormati Indonesia serta Portugis ‘mengundang’ wartawan Internasional untuk bergabung dalam delegasi. Tidak sepantasnya Portugis berlaku seperti itu. Kunjungan ini akhirnya batal karena tidak mencapai titik temu dengan pihak Portugis.
Kunjungan delegasi Portugis sebenarnya akan dimanfaatkan oleh para pendukung kemerdekaan untuk unjuk gigi, namun niatan ini gagal. Pada tanggal 28 Oktober 1991, terjadi perkelahian antara pendukung pro-integrasi dengan pendukung kemerdekaan yang menyebabkan tewasnya pendukung dari kedua belah pihak. Prosesi penguburan pendukung kemerdekaan pada tanggal 12 November 1991 itulah pemicu terjadinya peristiwa Dili tersebut. Pada saat peristiwa tersebut, Sintong sedang mengikuti rapat di Akmil, Magelang dan keesokan harinya langsung terbang ke Dili dan mengambil alih komando militer yang ada.
Pemerintah membentuk Komis Penyelidik Nasional (KPN) untuk menyelidiki masalah ini. Sementara Mabes ABRI membentuk Dewan Kehormatan MIliter (DKM) sebagai counterpart. Pada tanggal 13 Januari 1992, KSAD mencopot 6 petinggi yang dianggap bertanggung jawab, termasuk Sintong Panjaitan.
Sintong mempertanyakan kinerja serta rekomendasi yang ternyata tidak pernah dilaporkan ke Presiden. Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, Presiden ‘bertindak’ terlebih dahulu berdasarkan laporan Prabowo dan Sjafrie Sjamsoeddin.
Coup d’etat Maret 1983
Tidak seperti Jenderal M. Jusuf yang berusaha menutupi peristiwa ini, Sintong Panjaitan justru malah membukanya. Jika pada buku biografi Jenderal Jusuf, hanya disebut tindakan seorang ‘perwira muda’ yang melemparkan isu adanya upaya kudeta oleh Benny Moerdani dkk, maka pada bukunya, Sintong menunjuk ‘hidung’. Secara terbuka, Ia menunjuk Prabowo sebagai pelempar isu tersebut.
Prabowo berniat menculik Benny Moerdani dkk yang diisukan akan melakukan kudeta. Asumsi Prabowo adalah Benny Moerdani ‘memasukkan’ senjata canggih ke Indonesia. Padahal persenjataan tersebut akan disalurkan ke pejuang Mujahidin Afganistan. Senjata-senjata tersebut merupakan ‘bantuan’ Indonesia, yang dibeli dari Israel dan Taiwan. ‘Bantuan’ ini juga sebelumnya telah diberikan pada pemerintah Kamboja untuk memerangi Khmer Merah serta Laos. Sintong memandang cara Prabowo mirip dengan cara Letkol Untung para Jenderal korban G30S. Tuduhan tersebut tidak terbukti.
Dampak dari peristiwa ini adalah Prabowo seolah ‘dendam’ pada semua orang yang tidak berpihak kepadanya, termasuk Sintong.
Penculikan Mahasiswa 1998
Menanggapi masalah penculikan mahasiswa tahun 1998, Sintong sangat menyayangkan tindakan yang ambil oleh Prabowo. Ia boleh mengambil tindakan apabila dirasa mengancam keamanan, namun harus dilaporkan pada atasan dalam hal ini KSAD dan Pangab. Prabowo tidak pernah melaporkan tindakan ini, sebagaimana pengakuannya pada Dewan Kehormatan Perwira (DKP).
Tim penculik yang bersandi ‘mawar’ berasal dari detasemen 81. Sebagai pendiri detasemen 81, Sintong merasa terpukul akan kenyataan ini. Ia merasa Prabowo ‘mengorbankan’ Mayor Bambang Kristiono selaku pimpinan tim mawar. Pada persidangan di mahkamah militer, tidak pernah terungkap siapa dalang yang memerintahkan tim mawar ini. Ia tahu persis, bahwa tidak mungkin tim mawar bertindak tanpa ada komando dari atas.
Satu hal menarik dari penulis, beberapa korban penculikan tim mawar ini malah bergabung dan menjadi caleg dari partai-nya Prabowo: Gerindra. Ah.. di dalam politik, tidak ada ‘musuh’ atau ‘teman’ sejati… yang ada kepentingan pragmatis…. Wahai bung-bung korban penculikan, dimana ‘air liur’ cacianmu dulu? Apakah kau telan lagi air liur itu?...

Salam…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar