Minggu, Maret 22, 2009

PAMTAS: TERAS INDONESIA

Daerah perbatasan Indonesia selama ini kurang mendapat perhatian lebih dari pemerintah. Hal ini diakibatkan pandangan sentralistik pembangunan, sejak jaman orla sampai jaman pemerintah era reformasi saat ini. Daerah perbatasan dianggap sebagai daerah ‘halaman belakang’ (backyard) Indonesia, sehingga tidak heran bahwa pembangunan di daerah-daerah perbatasan sangat tertinggal.
Peristiwa ‘hilang’-nya Sipadan-Ligitan merupakan tamparan keras bagi kita bahwa kita harus mulai memperhatikan daerah-daerah perbatasan. Kita harus belajar dari pengalaman ini dan mulai menjadikan daerah perbatasan sebagai ‘teras’.
Kesenjangan di Daerah Perbatasan
Kurangnya perhatian dari pemerintah atas daerah perbatasan menyebabkan adanya kesenjangan ekonomi yang semakin tajam dengan negara tetangga. Hal ini terjadi pada daerah-daerah yang berbatasan dengan Malaysia, Filipina dan Singapura. Sebagai contoh adalah perbatasan Indonesia dengan Malaysia. Di sepanjang daerah kontinental perbatasan dengan Malaysia, dapat dilihat perbedaan mencolok antara masyarakat yang tinggal di daerah perbatasan. Akses serta infrastruktur yang bagus, yang disediakan Malaysia, sangat kontras dengan akses serta infrastruktur yang dibangun oleh Indonesia. Malaysia menyadari potensi ekonomi di beberapa daerah perbatasannya sangat tinggi, terutama untuk sektor minyak dan gas. Oleh karena itu, perlu adanya pertahanan yang kuat untuk menjaga aset bangsa. Pembentukan Askar Wataniah serta Maritime Enforcement Agency (MEA) merupakan bentuk ‘keseriusan’ Malaysia dalam menjaga daerah perbatasan. Askar Wataniah merekrut warga perbatasan untuk menjadi tentara penjaga perbatasan. Secara diam-diam banyak juga WNI yang bergabung dengan pasukan ini. MEA merupakan pasukan ‘coast guard’ yang baru dibentuk sekitar tahun 2007 untuk memperkuat pertahanan di laut Malaysia.
Kesenjangan ekonomi serta terbatasnya ‘kekuatan’ Indonesia dalam menjaga perbatasan, membuat semakin marak illegal fishing, illegal logging, illegal labor serta berbagai penyelundupan lainya. Daerah Nunukan, Tahuna, Batam, dan Dumai merupakan daerah-daerah yang ‘terkenal’ sebagai daerah rawan penyeleundupan. Hal ini sudah barang tentu hilangnya potensi devisa Indonesia.
Keterbatasan infrastruktur dan sarana wilayah merupakan poin penting yang selama ini terlupakan, sehingga relatif terisolir dan diberi status ‘daerah tertinggal’.
Tidak Serius
Pemerintah Indonesia tidak serius menggarap masalah daerah perbatasan. Setelah lebih setengah abad baru mengeluarkan Keppres no. 44/1994 tentang Badan Pengendalian Pembangunan Kawasan Perbatasan, yang diketuai oleh Menhankam. Tahun 1997 dikeluarkan Peraturan Pemerintah no. 47/1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), yang menetapkan kawasan-kawasan andalan termasuk diantaranya adalah daerah perbatasan.
Kedua aturan tersebut mandul. Keppres no. 44/1994 tidak menghasilkan sesuatu apapun bagi pembangunan kawasan perbatasan, bahkan tidak memiliki konsep sama sekali. Ditengarai penerbitan Keppres tersebut justru digunakan sebagai ‘legalisir’ kelompok-kelompok tertentu untuk mengeksploitasi sumber daya alam di daerah perbatasan. PP no. 47/1997 hanya sebatas PP semata dan tidak ada tindak lanjut dengan aturan-aturan yang lebih operasional. PP ini seolah tenggelam dengan gegap gempita reformasi yang terjadi pada tahun tersebut.
Bentuk ketidak seriusan pemerintah adalah tidak adanya koordinasi antar instansi dalam penanganan daerah perbatasan. Hampir semua instansi merasa mempunyai wewenang dan tanggung jawab mengelola daerah perbatasan.
Setelah 10 tahun lebih tidak ada kejelasan aturan dalam penanganan daerah perbatasan, keluarlah UU no. 43/2008 tentang Wilayah Negara. UU tersebut pada intinya mengatur batas-batas Indonesia dengan negara lain, pembentukan lembaga nasional dan daerah yang mengatur masalah kebijakan serta adminstratif masalah wilayah negara serta peran serta masyarakat dalam pengembangan kawasan perbatasan. UU ini lahir ditengah gegap gempita pemilu serta ‘kejar setoran’ DPR untuk memenuhi target Prolegnas 2008. UU ini juga masih mengatur garis besarnya saja. Perlu ada tindak lanjut untuk membuat juknis agar dapat dilaksanakan. Penulis khawatir, dengan adanya pemilu berkepanjangan ini akan membuat pemerintah lupa untuk membuat PP sebagai bentuk juknis dari UU tersebut.

Salam…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar