Minggu, Januari 18, 2009

ASKAR WATANIAH

Isu perekrutan WNI untuk menjadi Askar Waniah muncul pada rapat dengar pendapat komisi I DPR dengan KSAD, Jenderal Agustadi Sasongko, pada tanggal 11 Februari 2008. Ketua kelompok kerja panitia anggaran Komisi I DPR, Happy Bone Zulkarnaen mengangkat masalah ini setelah mendapatkan informasi dari Pangdam VI Tanjung Pura, Mayjen George Robert Situmeang, pada saat kunjungan kerja di akhir tahun 2007. Yang dicemaskan oleh komisi I DPR adalah adanya kemungkinan kontak fisik, maka yang terbunuh justru warga negara Indonesia yang nota bene menjadi Askar Wataniah. Ali Ngabalin, salah seorang anggota komisi I DPR sangat meyakini adanya WNI yang menjadi Askar Wataniah.

Askar Wataniah adalah tentara cadangan AD Malaysia yang secara formal dibentuk pada tahun 1958. Jika dipadankan dengan Indonesia, Askar Wataniah ini mirip dengan Hansip/Linmas namun lebih terorganir. Terdiri dari 3 resimen “full duty” (seri 300) dan 16 resimen “reserve” (seri 500), serta didukung dengan korps banpur: kavaleri, baterei artileri, sandi, zeni, polisi militer, intelijen, elektronik & mekanik. Dukungan juga untuk korp minpur: korp logistik, Jihandak (EOD), dan kesehatan.

Sumber dari Media Indonesia menyebutkan perekrutan ini dibutuhkan untuk memperkuat pertahanan perbatasan. Sebanyak 44 pos perbatasan milik Malaysia yang ada saat ini akan dikembangkan menjadi ratusan pos. Untuk pengembangan ini, Malaysia membutuhkan sekitar 40 ribu orang lagi untuk memperkuat Askar Wataniah. Perekrutan ini lebih diutamakan pada warga di perbatasan, karena mereka telah mengenal wilayah serta banyak di antara mereka memiliki KTP ganda (Indonesia dan Malaysia). Penguatan ini juga untuk mendukung kekuatan pertahanan Malaysia yang telah ada.

Isu ini kontan mengangkat rasa nasionalisme serta kebencian atas Malaysia, yang sering dipelesetkan “Maling sia”. Kebencian ini karena Malaysia “merebut” Pulau Sipadan – Ligitan serta mencoba “mengambil” kebudayaan Indonesia sebagai kebudayaan Malaysia pada berbagai promosi pariwisatanya. Isu ini membuat pemerintah pusat bak kebakaran jenggot. Menko Polhukam memerintahkan Menhan dan Mendagri untuk meneliti permasalahan ini. Menhan selaku ketua bersama Komite Umum Perbatasan Malaysia-Indonesia (General Border Commitee/GBC Malindo) untuk menjernihkan masalah ini, sementara Mendagri diminta untuk berkoordinasi dengan pemda – pemda di sekitar perbatasan untuk mendalami kasus ini. Panglima TNI juga meminta Pangdam VI Tanjung Pura untuk juga meneliti kasus ini serta mengklarifikasinya.

Yang membuat isu ini menjadi ‘panas’ adalah pernyataan Menko Polhukam yang pagi-pagi sudah menyatakan meragukan laporan tersebut sebelum adanya laporan lengkap dari lapangan. Pernyataan meragukan laporan tersebut juga datang dari Kepala BIN pada saat yang bersamaan. DPR meragukan keseriusan BIN dalam menangani masalah ini. Dari daerah perbatasan, para wakil rakyat juga bersuara keras. Mereka justru meragukan laporan komisi I DPR dan menantang komisi I DPR untuk melihat kondisi yang ada. Pangdam VI/Tanjung Pura yang baru, Mayjen Tono Suratman, juga membantah adanya WNI yang menjadi Askar Wataniah. Bantahan juga disampaikan Kedubes Malaysia di Jakarta. Melalui penjelasan Dubes Dato’ Zainal Abidin Zain dan Atase Pertahanan Kolonel Ramli, bahwa untuk menjadi Askar Wataniah haruslah warga negara Malaysia. Malaysia tidak pernah dan tidak akan pernah merekrut warga negara asing untuk pembela negara Malaysia.

Bantahan-bantahan itu akhirnya membuat masalah ini menguap begitu saja. Apalagi kemudian muncul isu tentang Menkes vs WHO dan Menkes vs NAMRU, yang muncul pada pertengahan Maret dan April 2008.

Terlepas dari ketiadaan penyelesaian dengan tidak ada pernyataan dari DPR bahwa kasus ini selesai, penulis melihat hal menarik dari kasus ini yaitu masalah perbatasan. Selama ini masalah perbatasan kurang diperhatikan oleh pemerintah pusat. Kalaupun muncul masalah mengenai perbatasan ini, lebih banyak dipolitisir yang pada akhirnya tidak menyelesaikan masalah. Kasus Sipadan-Ligitan adalah salah satu bentuk ketidak seriusan pemerintah pusat selama ini dalam mengurusi masalah perbatasan. Seperti yang kita ketahui, Indonesia kalah argumentasi dalam Mahkamah Internasional dan diharuskan menyerahkan Sipadan Ligitan kepada Malaysia. Selain Sipadan – Ligitan, Malaysia nampaknya menjadi Ambalat menjadi target berikutnya untuk direbut. Apalagi di kawasan tersebut ditemukan cadangan minyak yang cukup lumayan.

Belajar dari hilangnya Sipadan Ligitan, nampaknya pemerintah pusat belajar banyak dari kasus tersebut. Buktinya, TNI mulai meningkatkan kekuatannya di kawasan perbatasan yang panjangnya hampir dua kali pulau Jawa. TNI AD secara bertahap membentuk 2 Brigade infanteri pasukan territorial untuk mengawasi perbatasan. Selain itu juga, dalam pengembangan organisasi ke depan, kodam VI/Tanjung Pura akan dipecah menjadi dua, kembali seperti kondisi sebelum pertengahan tahun 80-an. TNI AL juga membangun Lantamal di Mempawah, Kalbar dan Sangatta, Kaltim serta membangun organisasi pendukungnya seperti pasukan marinir dan pasukan katak. TNI AU juga tidak kalah, jika dibandingkan dengan TNI AD dan TNI AL. TNI AU mulai mengembangkan lanud di Putussibau, Kalbar serta Tarakan, Kaltim. Di samping itu pula, peningkatan kualitas lanud Pontianak, Palangkaraya, Banjarmasin dan Balikpapan.

Dari daerah pun muncul suara untuk pengembangan propinsi Kalimantan Utara (Kaltara). Beberapa kabupaten dan kota yang berbatasan langsung dengan Malaysia, yang mengusulkan hal ini. Tujuan pembentukan ini agar daerah perbatasan dapat ditangani lebih serius lagi. Pemda – pemda yang mengusulkan pembentukan ini adalah Pemkab Nunukan, Pemkab Bulungan, Pemkab Malinau, Kota Tarakan dan Pemkab Tana Tidung, yang baru bergabung setelah disahkan oleh DPR menjadi sebuah kabupaten baru.

Perlu adanya “political will” yang kuat untuk memperhatikan wilayah-wilayah perbatasan. Kinerja kementrian kelautan serta kementrian pembangunan daerah tertinggal perlu dioptimalkan lagi sehingga dapat memperhatikan wilayah-wilayah perbatasan ini. Kendala SDM dan anggaran seharusnya lebih diperhatikan. Selain itu juga, perlu adanya penegakan kedaulatan di bidang ekonomi, politik, sosial dan budaya, sehingga kebanggan atas merah putih tidak luntur.

Salam…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar