Sabtu, Januari 31, 2009

BIOTERRORISM DI INDONESIA

Isu Bioterrorism belum ditangani secara serius oleh pemerintah Indonesia. Padahal Indonesia sudah ikut menanda tangani perluasan dari Protokol Genewa, yaitu Biological Weapon Convention (BWC) pada tahun 1972, namun baru diratifikasi oleh pemerintah melalui Keppres no 58/1991. Perluasan dari Protokol Genewa, yakni Chemical Weapon Convention (CWC), dimana Indonesia telah menanda tanganinya pada tahun 1993 serta di ratifikasi melalui UU no. 6 tahun 1998.

Bioterrorism sangat berbahaya karena sifatnya yang tidak kasat mata, sulit dideteksi, namun dalam jumlah yang sedikit saja dapat menimbulkan berjangkitnya wabah penyakit menular, yang bersifat pandemi. Senjata biologi sulit dideteksi karena gejala-gejala awalnya sama seperti gejala awal timbulnya penyakit biasa, sehingga saat korban sudah parah barulah diketahui. Untuk penanggulangannya secara menyeluruh akan membutuhkan upaya dan biaya besar.

Dephan dalam buku putihnya (terbit tahun 2003 dan 2008) tidak memasukkan bioterrorism sebagai ancaman serius. Yang dipandang ancaman serius oleh Dephan, ancaman – ancaman “fisik” serta ancaman ideologi, yang merupakan ancaman “klasik” yang tidak berubah dari jaman orla. Padahal ancaman bioterroism di KBRI Canberra pada tahun 2005 (lihat pembahasannya tentang serangan ini pada bagian tulisan lain) merupakan ancaman serius dan tidak dapat dipandang sebelah mata lagi dan secara tidak langsung kita sudah berhadapan dengan bioterrorism. Bentuk lain dari ancaman bioterrorism adalah flu burung, dimana sampai saat ini, Indonesia merupakan “penyumbang” korban terbanyak di dunia.

Pasca peristiwa 11 September 2001, dimana AS mengeluarkan USA PATRIOT ACT serta disusul dengan keluarnya Bioterrorism Act, justru lebih direspon oleh Departemen Perdagangan dan Departemen Pertanian. Kedua departemen ini memiliki kepentingan karena pasar ekspor untuk produk-produk hasil pertanian dan makanan olahan, akan diperketat dengan aturan Bioterrorism Act dan mengancam para eksportir UKM. (1)

Depkes mengantipasi bioterrorism dengan mengadakan lokakarya nasional di lingkungan Depkes, dengan tujuan meningkatkan sistem surveillance, monitoring dan informasi kesehatan masyarakat. (2)

Menko perekonomian menugaskan Menristek untuk membentuk suatu badan otoritas nasional, yang mengatur regulasi tentang bahan kimia dan biologi. Badan ini akan diketuai oleh Menristek dan beranggotakan Depperindag, Deptan dan Depkes (3). Setelah pergantian pemerintahan, pada tahun 2005, Kementrian Negara Riset dan Teknologi (KNRT) merintis kembali dengan melakukan diskusi panel kesiapan Indonesia dalam menghadapi bioterrorism (4). Seperti kisah “klasik” birokrasi Indonesia, ganti pimpinan maka ganti kebijakan. Dari penelusuran penulis di situs KNRT, tampaknya tidak ada tindak lanjut dari diskusi panel yang telah dilakukan.

Masalah Bioterrorism sudah menjadi masalah serius yang harus ditangani bersama oleh semua pihak di pemerintahan. Perlu adanya kesatuan visi dan gerak dalam penanganan masalah ini, karena bioterrorisme tidak dapat ditangani oleh satu-dua instansi saja. Perlu adanya kewaspadaan dini serta tanggap darurat untuk penanganan bioterrorism, yang perlu diwujudkan dalam National Bioterrorism Preparedness and Response.

Pembentukkan suatu badan otoritas nasional yang telah diwacanakan sebelumnya perlu ditindak lanjuti kembali. Badan ini nantinya akan mengatur regulasi penggunaan bahan biologi dan kimia, mengkoordinasikan antar instansi terkait dalam penanganan masalah ini, melakukan pengawasan atas bahan, proses, pengawasan laboratorium serta tenaga ahlinya dan tempat penyimpanannya (stockpile). Selain itu apa dan bagaimana Biosecurity dan Biodefense, menjadi wewenang badan ini.

Peningkatan kemampuan serta pengetahuan serta pengembangan organisasi dan SDM yang dapat menangani masalah ini. Sejauh ini, berdasarkan penelusuran penulis, baru TNI AD (kompi Nubika – Zeni), Paspampres dan Gegana-Polri(?) yang memiliki kemampuan untuk penanganan bioterrorism. Perlu adanya kerja sama dengan pihak perguruan tinggi untuk peningkatan kemampuan, pengetahuan. Di samping itu juga, perguruan tinggi diharapkan mampu menghasilkan tenaga ahli yang dapat menangani masalah ini ke depannya. Kerja sama dengan pihak luar negeri, baik kerja sama antar negara, perguruan tinggi luar negeri serta badan-badan internasional perlu ditingkatkan. Beberapa negara yang tergabung dalam NATO dan EU secara aktif dan periodik melakukan latihan penanganan bioterrorism dengan sandi Atlantic Storm.

Karena secara alami bioweapon ada di sekitar kita, maka perlu ada pengetahuan “dasar” guna mengantisipasi berkembangnya biology agent. Pengetahuan “dasar” ini seharusnya sudah dimasukkan dalam kurikulum sehingga paling tidak mengetahui bagaimana antisipasinya.

Salam…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar