Banyak Singaporean menganggap negaranya mempunyai kondisi mirip dengan Israel. Berdasarkan kesamaan sejarah, kita bisa membanding kemiripan antara Israel dan Singapura:
Imigran Yahudi datang dari Eropa, atas ‘undangan’ Inggris, datang ke Palestina di awal tahun 1900-an dan kemudian menjadi penduduk ‘asli’. Imigran Cina dari Cina Selatan, atas ‘undangan’ Inggris, datang ke Temasek (nama Singapura sebelumnya) pada tahun 1800-an dan kemudian menjadi penduduk ‘asli.
Setelah pembentukan Israel tahun 1948, kaum Yahudi ‘menggantikan’ peran Arab secara sosial dan budaya. Setelah Singapura ‘merdeka’, kaum Cina ‘menggantikan’ peran Melayu secara sosial dan budaya.
Israel, dengan dukungan AS, membelanjakan banyak ‘uang’-nya di bidang militer ketimbang bidang lainnya. Singapura, dengan dukungan AS, membelanjakan banyak ‘uang’-nya di bidang militer ketimbang bidang lainnya.
Israel memandang mayoritas tetangganya yang Muslim-Arab sebagai ‘ancaman’. Singapura memandang mayoritas tetangganya yang Muslim-Melayu sebagai ‘ancaman’.
Israel, dengan dukungan AS, dapat berbuat semena-mena terhadap bangsa Palestina dan bangsa Arab lainya. Singapura, dengan dukungan AS, dapat berbuat semena-mena terhadap bangsa Melayu.
Sebagaimana Israel, Singapura diapit oleh dua negara ‘Muslim’: Indonesia dan Malaysia, dan memiliki riwayat hubungan ‘buruk’ dengan kedua negara tersebut. Dengan Malaysia, ketika bergabung dengan Federasi Malaysia, Singapura merasa ‘diperas’ dan ‘dianaktirikan’. Merasa diperas karena Singapura diminta untuk membantu negara bagian Sabah dan Serawak, karena dianggap ‘negara kaya’, padahal di dalam negeri, Singapura masih banyak mengalami kesulitan ekonomi. Dianaktirikan karena Federasi Malaysia memberlakukan kebijakan bumiputera, yang berupaya mengedepankan orang Melayu. Singapura, yang lebih 70% penduduknya adalah keturunan Cina, merasa terpinggirkan. Setelah terjadi bentrok beberapa kali antara etnis Melayu dan etnis Cina, maka pada 9 Agustus 1965, Lee Kuan Yew, Perdana Menteri Singapura, memutuskan keluar dari Federasi Malaysia dan menyatakan diri merdeka.
Hubungan dengan Indonesia juga banyak mengalami pasang surut. Pada konfrontasi dengan Federasi Malaysia, Dua anggota KKO (saat ini Korps Marinir) meledakkan bom dan tertangkap. Pemerintah Indonesia, di era awal rezim Suharto, telah mencoba melobi pemerintah Singapura untuk dapat melepas kedua orang tersebut, namun tidak berhasil. Akhirnya kedua anggota KKO tersebut dihukum mati oleh pengadilan Singapura. Sampai dengan tahun 80-an, hubungan Indonesia – Singapura ‘mesra’.
Setelah ‘kekuatan’ ekonomi dan militer Singapura ‘tampak’ lebih kuat di awal 90-an, maka Singapura dapat menunjukkan sikap ‘agresi’-nya. Singapura secara diam-diam ‘membeli’ pasir dan batu granit dari ‘pasar gelap’ Indonesia, sehingga beberapa pulau kecil di propinsi Riau ‘hilang’. Selain itu, seringkali kapal-kapal Singapura berbendera negara lain, membuang limbah berbahaya di pulau-pulau dan perairan di sekita Riau kepulauan. Para koruptor yang lari ke Singapura ‘dilindungi’ dengan baik dan malah ‘menyandera’ dan ‘ditukar’ dengan permintaan wilayah untuk latihan militer melalui perjanjian ‘DCA’ yang menghebohkan beberapa waktu lalu. Mampu mengontrol ‘angkasa’ Indonesia dengan sangat detail. Bahkan konon kabarnya, pada latgab TNI 2008 di Kepulauan Natuna, AU Singapura ‘berhasil’ melakukan ‘jamming’ selama 30 menit, sehingga antar peserta latgab tidak dapat berkomunikasi satu sama lain… :’(
Hubungan dengan Israel sudah dirintis semenjak awal berdirinya Singapura. Model AB Singapura (SAF) dibentuk identik AB Israel (IDF), sehingga menjadi kekuatan tangguh di kawasan Asia Tenggara. Kerja sama militer ini kemudian ditingkatkan menjadi hubungan ‘resmi’ melalui hubungan diplomatik pada tahun 1968.
Saat ini, hubungan Singapura dengan Israel telah menjadi hubungan yang ‘sangat erat’. Kerja sama antar dua negara berlangsung di semua bidang. Di bidang militer, Singapura bekerja sama dengan Israel, mengembangkan beberapa persenjataan berbasis NCW. Singapura tertarik untuk ‘membeli’ satelit mata-mata buatan Israel: Ofeq. Di bidang perindustrian, Singapura dan Israel membentuk SIIRD, dimana pengusaha di masing-masing negara dapat mencari partner dalam RND atau menjadi investor. Di intelijen, konon kabarnya Mossad menjadikan Singapura menjadi salah satu ‘pangkalan utama’-nya untuk kawasan Asia. Terkait dengan hal itu, mungkin saja hal tersebut menjadi alasan mengapa BIN untuk mendirikan ‘sekolah intel’ di Batam, karena Batam dengan Singapura itu ‘sepelemparan batu’ dan mengingat hubungan ‘erat’ yang telah terjalin lama antara BAKIN/BIN dengan Mossad. Baca buku ‘Intel’-nya Ken Conboy, mengenai kerja sama intelijen serta buku ‘Menari di Angkasa’-nya Marsekal Djoko Poerwoko, mengenai kerja sama militer Indonesia dengan Israel.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar