Minggu, Februari 22, 2009

TIMOR-TIMUR: SANG OPORTUNIS


Mario Viegas Carascalao adalah gubernur ketiga provinsi Timor Timur selama berintegrasi dengan Indonesia. Pria kelahiran Baucau, 12 Mei 1937 adalah putra pasangan Manuel Viegas Carascalao, Orang Portugis yang dibuang ke Timor Portugis dan berprofesi sebagai pedagang kopi, dengan Marcelina Guterres, asli Timor Portugis. Dengan status sebagai keturunan Portugis, ia relatif mudah mendapatkan pendidikan. Perlu diketahui bahwa pendidikan di Timor Portugis pada waktu itu, hanyalah diberikan pada orang-orang keturunan Portugis dan campurannya. Mario kecil menamatkan SD dan SMP di Dili, kemudian meneruskan pendidikan setingkat SMA di Lisbon, Portugal. Setelah lulus SMA, ia meneruskan Instituto Superior de Agronomia di Lisbon dan selesai tujuh tahun kemudian dengan gelar insinyur. Selanjutnya meneruskan sekolah ke Universidade Tecnica de Lisboa, untuk mendapatkan spesialis kehutanan tropis. Tahun 1970, Ia mudik ke Timor Portugis dan langsung didaulat sebagai Kepala Dinas Pertanian dan kehutanan Timor Portugis.

Gonjang-ganjing politik di Portugal, ditandai dengan perubahan politik yang cenderung kiri serta kondisi perekonomian Portugal yang morat-marit, mendorong Portugal untuk ‘memberikan’ kemerdekaan kepada koloni-koloninya, termasuk Timor Portugis. Untuk menyikapi perubahan politik ini, Mario beserta saudaranya Manuel dan Joao mendirikan União Democrática Timorense (UDT). Partai UDT yang berdiri pada tanggal 11 Mei 1974 adalah parpol pertama yang didirikan di Timor Portugis. Anggota parpol ini sebagian besar adalah pegawai negeri pada pemerintah kolonial Timor Portugis, para tuan tanah, para pemuka agama Katolik dan orang-orang anti-komunis. Partai UDT ini menyuarakan kemerdekaan atas Timor Portugis. Untuk menghadapi pemilu lokal pada tanggal 13 Maret 1975, UDT bergabung dengan FRETILIN, yang berhaluan komunis. Penggabungan kedua partai ini membuat mereka berhasil memenangkan pemilu.

Pada tanggal 11 Agustus 1975, FRETILIN melakukan kudeta dan memaksa Gubernur Timor Portugis, Mario Lemos Pires, untuk memberi keputusan memerdekakan Timor Portugis. Namun Pires menolak memberi keputusan dan menunggu perintah dari Portugal. Akibat pengambil alihan kekuasaan secara sepihak, terjadi kerusuhan antar warga Timor Portugis. Kerusuhan semakin memuncak, setelah FRETILIN mendeklarasikan kemerdekaan secara sepihak. Upaya deklarasi ini ditolak oleh Portugal, AS, Australia dan Indonesia.

Melihat kondisi ini, sebagian pemimpin UDT termasuk Mario ‘menyeberang’ ke kubu partai yang berniat untuk integrasi dengan Indonesia. Pemimpin UDT lainnya, termasuk saudara Mario, Joao Carascalao, keluar dari Timor Portugis dan menjadi pelarian politik di luar negeri. Selama menjadi pelarian politik, Joao Carascalao, tetap membawa bender UDT, yang menginginkan kemerdekaan Timor Portugis.

Bersama-sama partai yang berniat integrasi ke Indonesia, mereka membuat deklarasi ‘Balibo’, yang kontroversial itu. Disebut kontroversial, karena konsep telah dibuat di Pulau Bali dan para pemimpin yang menyatakan integrasi hanya tinggal tanda tangan saja. Kontroversial lainya adalah terkait dengan deklarasi ini, lima wartawan asal Australia tewas pada saat meliput deklarasi tersebut. Dengan deklarasi ini, Indonesia mempunyai alasan untuk ‘masuk’ ke wilayah Timor Portugis pada tanggal 7 Desember 1975.

Setelah Timor Portugis berintegrasi dengan Indonesia dan menjadi Timor Timur, Mario ditarik ke Deplu dan menjadi anggota delegasi Indonesia ke PBB. Kemudian di tahun 1980, ia diangkat sebagai minister counsellor pada perwakilan tetap RI di PBB. Posisi ini dilakoni selama dua tahun. Pada tahun 1982, Ia ditunjuk menjadi Gubernur Provinsi Timur Timur yang ketiga. Mario adalah gubernur terlama menjabat posisi tersebut (dua kali masa jabatan), terhitung selama masa integrasi dengan Indonesia. Pada akhir masa jabatannya yang kedua, Ia menggalang ‘massa’ dan mendesak agar Ia diperbolehkan untuk menduduki posisi Gubernur Tim-Tim untuk periode ketiga. Upaya ini ditolak oleh pemerintah pusat serta ‘menunjuk’ Abilio Jose Osorio Soares, seorang tokoh integrasi, sebagai penggantinya. Selain itu pula, Mario Viegas Carascalao ‘gagal’ mengantisipasi peristiwa 12 November 1991, yang membuat Indonesia ‘kehilangan muka’ di dunia internasional.

Sempat terlunta-lunta tanpa posisi yang tidak jelas di Deplu, akhirnya ia berhasil ‘membujuk’ Ali Alatas, Menlu RI pada waktu itu, untuk memberinya ‘pekerjaan’. Mario ditunjuk sebagai Dubes RI di Rumania. Setelah selesai masa tugas sebagai dubes, Ia kembali ke Indonesia dan diangkat menjadi anggota DPA untuk periode 1998 – 2001. Kedekatannya dengan Habibie, membawanya menjadi salah satu anggota ‘tim penasehat’ Presiden. Diduga, Mario mempunyai andil dalam ‘mempengaruhi’ Habibie untuk ‘melepas’ Timor Timur. Karena semenjak awal menjadi Presiden RI, Habibie berniat untuk ‘melepas’ Tim – Tim. Habibie juga merasa tidak punya ‘ikatan’ dengan integrasi Tim – Tim, karena pada awal integrasi Tim – Tim, Ia masih sibuk dengan mainan barunya, yakni IPTN. Gosip lain yang sangat santer menyebutkan, Habibie berambisi untuk mendapatkan Nobel Perdamaian, mengikuti Uskup Belo dan Ramos Horta. Dengan mendapatkan Nobel, paling tidak citra dirinya tidak terlalu rusak, setelah di dalam negeri, citranya ‘hancur’.

Setelah citra sebagai oportunis sempat terkubur dan berhasil dipoles dengan citra positif selama menjadi pejabat ‘penting’, Mario kembali menunjukkan tabiat oportunisnya. Perubahan politik Indonesia serta adanya ‘dukungan’ dari John Howard, PM Australia yang sering dijuluki anjing pudel Presiden Bush, membuat ia berubah arah. Ia bersama saudaranya Manuel Carascalao, secara pelan-pelan mulai menyuarakan kemerdekaan. Secara diam-diam bergabung dengan CNRT, kumpulan asosiasi politik yang menginginkan kemerdekaan Timor Timur. Akibat tindakan ‘pengkhianatan’ itu, kelompok pro-integrasi marah kepadanya. Mario pun kabur ke Macao kemudian ke Portugal, meninggalkan tugasnya sebagai anggota DPA (1)

Setelah Timor Timur berubah menjadi Timor Leste karena telah merdeka, ia pun muncul bak ‘pahlawan kesiangan’. Secara terang-terangan Ia mengecam Indonesia yang telah ‘menjajah’ Timor Leste selama 24 tahun. Padahal Mario (dan juga saudaranya Manuel) banyak mendapatkan ‘madu’ selama integrasi dengan Indonesia. Betul-betul oportunis!!!..

Salam…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar