Selasa, Februari 17, 2009

SINGAPORE - UNDER SIEGE?

Setelah merdeka pada tanggal 9 Agustus 1965, para pemimpin Singapura menyadari bahwa mereka adalah "little red dot in a sea of green", sebuah sebutan dari mantan Presiden Habibie. Mereka mengembangkan siege mentality karena kondisi geografi serta ketidak percayaan dari dua tetangga dekatnya, Indonesia dan Malaysia, akibat dari pertikaian di masa lalu. Peletakan visi sebagai negara ekonomi maju harus diimbangi dengan kekuatan pertahanan yang tangguh. Oleh karena itu, mereka segera membangun kekuatan pertahanan yang tangguh dengan dengan mencari model yang sesuai dengan kondisi Singapura. Model yang sesuai adalah model pertahanan Israel dan Swiss. Mereka akhirnya lebih memilih Israel karena telah teruji dengan berbagai krisis dan gempuran negara Arab.

Model pertama yang ditiru dari Israel adalah wajib militer bagi setiap lelaki warga negara Singapura. Setiap warga yang telah berusia 18 tahun, wajib mengikuti militer selama 2 tahun penuh dan mengabdi di Singapore Armed Forces (SAF), Singapore Police Force (SPF), atau di Singapore Civil Defence Force (SCDF). Dengan mengikuti wamil, diharapkan setiap warga selalu siap menghadapi setiap ancaman terhadap negara. Selain itu, dengan wamil, memupuk rasa persatuan. Untuk angkatan pertama, mereka mendapat pelatihan dari para instruktur militer Israel dan merupakan angkatan pertama dari Singapore Armed Forces Training Institute (SAFTI).

Pada tahun 1967, Singapura mulai membangun industri pertahanan dengan mendirikan Sheng-Li Holding Company, yang memproduksi small arms, mortar, dan amunisi artileri. Pada tahun 1989, perusahaan tersebut direstrukturisasi dan masuk dalam BUMN Teknologi (ST Engineering).

Strategi pertahanan yang dilakukan di awal kemerdekaan adalah lebih mengedepankan masalah diplomasi. Perbaikan hubungan dengan Indonesia dan Malaysia, menajdi anggota persemakmuran, PBB dan non blok, ikut mendirikan ASEAN dan bersama 4 negara lainnya membentuk kerja sama pertahanan dengan nama Five Power Defence Arrangements (FPDA).

Pada tahun 1984, Singapura memperkenalkan konsep Total Defense yang terdiri dari lima pilar yaitu: Military Defence, Civil Defence, Economic Defence, Social Defence, dan Psychological Defence. Kelima hal ini menggambarkan aspek pertahanan masyarakat dan menginformasikan pada masyarakat, bagaimana mereka dapat terlibat dalam pertahanan negara. Pembahasan mengenai total defense dapat dilihat lebih lanjut pada pembahasan sebelumnya.

Selain melakukan kerja sama FPDA, Singapura juga bekerja sama dengan AS dalam hal militer, terutama penggunaan dan menempatkan pasukan pada pangkalan militer. AS dapat menggunakan Paya Lebar Airbase, Sembawang, dan Lanal Changi. Sebagai gantinya, Singapura dapat menggunakan dan menempatkan pasukan di Cannon Air Force Base (New Mexico); Grand Prairie (Texas); McConnell Air Force Base (Kansas); Marana (Arizona); dan Luke Air Force Base.

Dalam lingkup kerja sama FPDA, Singapura juga menempatkan pasukan di beberapa fort atau pangkalan asing seperti di Oakey Airbase dan Pearce Airbase (keduanya di Australia), RMAF Butterworth, Penang (Malaysia); Sungai Akar Camp dan Lakium Camp, Temburong (keduanya di Brunei); Shoalwater Bay Military Training Area, Australia. Pada tempat-tempat ini, Singapura menempatkan satuan detasemen latihan, yang mengelola pelatihan bagi tentara Singapura.

Selain itu, Singapura juga menempatkan detasemen latihan di BA 120 Cazaux Airbase (France), Taiwan, Selandia Baru, Thailand, India dan Afrika Selatan.

Sebagai antisipasi dengan model pertempuran masa depan yakni Network-Centric Warfare, maka SAF mengembangkan 3rd Generation Fighting Force (3G SAF), yang mengintegrasikan matra darat, laut dan udara dalam satu koordinasi pertempuran dan dapat saling mem-back-up satu sama lain. Teknologi yang dikembangkan antara lain: ACMS, PRIMUS, Bionix II, MATADOR, PEGASUS, SAR 21 dan Formidable-Class Stealth Frigate. Latihan gabungan untuk pemantapan penerapan 3G terus dilakukan dengan kode sandi Exercise Forging Sabre yang dilakukan di AS dan kode sandi Exercise Wallaby yang dilakukan di Australia.

Pengembangan militer Singapura ditangani secara serius serta didukung oleh budget yang besar. Secara konsisten, Singapura menyisihkan 19% budget-nya untuk pengembangan militer atau sekitar USD 7 M (data 2007). Indonesia saja ‘hanya’ menyisihkan dana sekitar USD 4,7 M (data 2008). Anda bisa bayangkan, untuk menjaga seluruh wilayah Singapura yang luasnya hampir sama dengan luas DKI Jakarta, diberi budget satu setengah kali lipat budget militer Indonesia. Militer Indonesia dengan budget yang ada, harus menjaga wilayah 6000 kali lipat luas wilayah Singapura!!!… that’s way, militer Indonesia sering kedodoran dalam menjaga wilayahnya… :’( … hmm… apa para anggota DPR tahu mengenai hal ini? I doubt that… :’(

Dengan berbagai kemajuan serta kemampuan militer yang luar biasa, masih layakkah mereka ‘merasa terkepung’ (under siege)?

Salam…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar