Satu hal yang perlu diperhatikan oleh kita adalah penerapan politik naturalisasi Singapura melalui program Foreign Talent (FT). Program ini pada awalnya merupakan inisiatif Asosiasi Tenis Meja Singapura untuk ‘membeli’ pemain asing berbakat untuk membela bendera Singapura pada berbagai even olahraga. Program ini terbukti sukses, dimana tim tenis meja Singapura mulai disegani di kawasan Asia Tenggara.
Program serupa juga diterapkan oleh PSSI-nya Singapura, FAS, dengan nama Foreign Sport Talent (FST). Program ini dijalankan setelah FAS melihat kesenjangan di tim nasional, dimana regenerasi pemain tidak berjalan baik. Untuk mengisi kesenjangan itu, FAS melihat bahwa ‘membeli’ pemain asing dan menaturalisasinya adalah jalan ‘pintas’ yang paling baik. Program ini mulai dijalankan pada tahun 2002. Program ini tidak hanya ditujukan untuk pemain yang sudah ‘jadi’, akan tetapi juga dapat diterapkan untuk pemain U-21 ke bawah. Artinya apabila Singapura melihat ada pemain ‘bagus’ di bawah usia 21 tahun, maka dapat dilakukan proses naturalisasi untuk itu. Maka tidak heran, Timnas sepakbola Singapura makin mengkilat dan disegani di Asia Tenggara berkat para ‘legionnaires’.
Kesuksesan penerapan Foreign Talent Program di dua bidang olahraga tersebut, membuat KONI-nya Singapura, NSA, mendorong untuk menerapkan pada bidang-bidang olahraga yang lain. Kontribusi FT
Keberhasilan ini juga ternyata juga dipantau oleh pemerintah. Pemerintah membuat berbagai kebijakan dan insentif untuk menarik FT. Kebijakan FT sangat berbeda perlakuannya dengan foreign worker. Pemerintah mendefinisikan FT adalah orang asing yang memiliki kualifikasi professional yang diharapkan dapat memberikan kontribusi pada kemajuan Singapura. Mereka berhak mendapatkan fasilitas-fasilitas yang jauh lebih baik dibanding dengan foreign worker. Sementara untuk kategori foreign worker adalah pekerja yang memiliki sedikit atau sama sekali tidak memiliki keahlian serta kebanyakan bekerja pada sektor manufaktur, konstruksi dan domestic service. Pemerintah Singapura memberikan kemudahan-kemudah untuk FT, sementara itu untuk foreign worker, Singapura telah memperketat masuknya kategori pekerja ini. Berdasarkan data statistic 2006, perbandingan antara foreign talent dengan foreign worker adalah 1 banding 6 (2).
Kebijakan pemerintah Singapura dalam rekrutmen FT, di satu sisi membuat ‘pure’ Singaporean merasa terancam. Meskipun Pemerintah Singapura telah menerapkan sistem “P, Q, R & S” dalam rekrutmen FT sebagai upaya pembatasan, namun tetap tidak mengurangi rasa terancamnya ‘pure’ Singaporean. Keluhan-keluhan seperti FT bekerja lebih keras dan bersedia dibayar ‘murah’, adanya FT merusak ‘struktur’ penggajian yang menyebabkan ‘pure’ Singaporean dengan terpaksa ikut sistem dan bersedia dibayar murah sama dengan FT.
Tidak selamanya FT memberikan ‘efek’ baik. Sebagaimana di awal pembahasan kita yaitu FT di bidang olahraga, ternyata banyak dikeluhkan terutama dengan ‘attitude’ FT. Organisasi olahraga yang merekrut FT banyak dikritik. Organisasi olahraga dianggap mengabaikan masalah pembibitan olahragawan dan lebih suka merekrut FT sehingga mendapatkan sukses ‘instant’. Beberapa olahragawan FT yang sebelumnya direkrut oleh Singapura ‘balik kampung’ seperti: Egmar Goncalves yang kembali ke Brazil, Mirko Grabovac yang kembali ke Kroatia, Zhang Xueling (atlet tenis meja) dan Xiao Luxi (atlet bulutangkis) telah kembali ke Cina. Atau tindakan indisipliner dua pesepakbola asal
Apa yang kita dapat ambil pelajaran dari kasus ini? Kebijakan ‘short-cut’ Singapura ternyata malah ‘menyengsarakan’ masyarakat itu sendiri. Pemerintah Singapura lebih mementingkan kepentingan ‘ekonomi’ semata ketimbang kepentingan masyarakat. Sehingga apapun namanya demi kepentingan ‘ekonomi’, maka kepentingan masyarakat ‘asli’ dapat diabaikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar