Sabtu, Januari 31, 2009

BIOTERRORISM

Senyap tapi sangat membahayakan. Itulah yang bisa menggambarkan tentang bioterrorism. Senyap karena biology agent (seperti bakteri dan virus) yang dijadikan senjata ini, tidak terlihat secara kasat mata dan berkeliaran secara bebas di sekitar kita tanpa kita sadari. Sangat berbahaya karena sangat mudah untuk mendapatkannya (jika tahu cara “mendapatkan” &“mengolahnya”), murah dan efektif. Sebuah studi menyebutkan bahwa, dengan daya pemusnahan 50% per kilometer hanya memerlukan biaya USD 1, sementara untuk penggunaan senjata konvensional dengan daya pemusnahan yang sama, memerlukan biaya USD 2000. Studi lain menyebutkan bahwa 100 kg Antraks (yang merupakan sejenis bakteri) mempunyai kekuatan dua kali lipat dibandingkan dengan 1 megaton nuklir. (1)

Bioterrorism didefinisikan sebagai upaya terorisme dengan menggunakan virus, bakteri, dan mikrobiologi lainnya, sebagai senjata guna menimbulkan pandemik serta kematian bagi manusia, hewan dan tanaman. Teror yang dilakukan dapat melalui udara, air dan makanan. Senjata biologi menjadi pilihan karena:

> Relatif tidak mahal

> Mudah diproduksi

> Relatif mudah dibawa (removable)

> Masa inkubasinya diketahui, sehingga dapat diperkirakan kapan “meledak”nya.

> Sukar diketahui oleh “lawan” karena “lawan” harus mendapatkan “korban” dulu dari senjata biologi yang disebar, diteliti dan baru dapat dilakukan tindakan membasmi biological agent-nya.

> Dengan senjata biologi, tidak mudah untuk mengetahui siapa yang menyebarkan biological agent.

> Beberapa virus dan bakteri, sampai saat ini belum ditemui anti virus atau anti bakteri-nya.

Penggunaan mikrobiologi sebagai senjata sudah sangat lama digunakan. Sejarah mencatat beberapa penggunaan mikrobiologi sebagai senjata. Pada sekitar tahun 590 sebelum masehi, tentara Athena menggunakan mikrobiologi untuk menaklukkan kota Kirrha. Tentara Romawi menggunakannya dalam berbagai pertempuran di sekitar tahun 130 sebelum masehi. Selain itu juga, kerajaan Mongol menggunakan mikrobiologi sebagai senjata dalam berbagai pertempuran di Asia dan di Timur Tengah.

Pelarangan penggunaan mikrobiologi sebagai senjata, pertama kali disepakati oleh beberapa negara Eropa pada tahun 1675, yang dikenal dengan perjanjian Strasbourg. Diperbaharui pada tahun 1874, di Brussel, diperbaharui kembali pada tahun 1899 dan 1907, di The Hague, Belanda. Pasca perang dunia I, ditanda tangani perjanjian Versailles pada tahun 1919. Perjanjian Versailles diperbaharui dengan Perjanjian Washington pada tahun 1922, meskipun perjanjian tersebut ditolak Perancis. Pada tahun 1925, ditanda tangani Perjanjian Genewa, yang merupakan perjanjian yang berlaku secara internasional yang menyatakan pelarangan penggunaan senjata biologi dan kimia. Namun pada perjanjian ini, tidak menyebutkan pelarangan produksi, penyimpanan maupun penjualan. Pada tahun 1972, ditanda tangani perjanjian khusus pelarangan penggunaan Biologi (Biological Weapon Convention atau BWC) sebagai senjata. Perjanjian tersebut meyebutkan pelarangan pengembangan, produksi maupun penyimpanan senjata Biologi. Dua negara Super Power dunia pada waktu itu, AS dan Uni Sovyet, berbeda pendapat mengenai perjanjian ini. AS menolak ikut dalam perjanjian itu. Uni Sovyet ikut menanda tangani perjanjian tersebut, meskipun secara diam-diam masih melakukan pengembangan dan memproduksinya (2). Perluasan dari Perjanjian Genewa adalah pelarangan penggunaan senjata kimia, yang tertuang dalam Chemical Weapons Convention pada tahun 1993.

AS baru setuju menanda tangani serta meratifikasi Perjanjian Genewa dan BWC pada tahun 1975. Meskipun telah setuju dengan perjanjian tersebut, secara rahasia AS masih terus mengembangkan dan memproduksi senjata berbahan mikrobiologi tersebut. Ditengarai pendirian laboratorium militer AS di Mesir, Indonesia, Kenya, Peru dan Thailand, merupakan bagian dari upaya AS dalam pengembangan dan memproduksi mikrobiologi sebagai senjata. Di Indonesia, laboratorium ini dikenal dengan nama Naval Medical Research Unit No 2 atau dikenal dengan NAMRU 2. Laboratorium ini sempat diributkan oleh pemerintah Indonesia karena beroperasi secara “gelap” di Indonesia dan akhirnya ditutup (3). Meskipun secara diam-diam masih mengembangkan dan memproduksi senjata biologi, AS justru paling sering menuduh negara lain yang melanggar BWC. Dengan menuduh negara lain melanggar BWC, menunjukkan AS menerapkan standar ganda pada dirinya, dimana disatu sisi AS memainkan peran sebagai “orang bersih” sementara di sisi lain ia bermain kotor.

Kiprah AS ini terkuak dengan adanya serangan 9/11 dan disusul dengan peristiwa Amerithrax. Peristiwa 9/11 mendorong AS untuk lebih protektif terhadap keamanan dan pertahanan di dalam negeri. Apalagi lebih dipicu lagi dengan peristiwa Amerithrax, dimana kasus ini baru diungkapkan ke publik pada tahun 2008 (4). Disetujuinya PATRIOT ACT oleh kongres AS dan disahkan oleh Presiden Bush pada tanggal 26 Oktober 2001, mendorong AS untuk memperkuat keamanan dan pertahanannya. Pada konferensi review BWC ke 5 yang diadakan pada November – Desember 2001, AS menolak hasil konferensi tersebut karena dianggap tidak sesuai dengan kepentingan AS.

Guna menghadapi serangan biologi, AS mengeluarkan undang-undang bioterorisme yang dikenal dengan nama Bioterrorism Act, pada bulan Juni 2002. UU ini mengantisipasi masuknya biological agent ke dalam negeri AS. Yang paling berpengaruh atas UU ini adalah industri makanan dan minuman, dimana dengan ketatnya peraturan ekspor ke AS akan menjatuhkan industri tersebut.

Salam…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar